Masih pagi. Pak Baim sudah sampai di ladang tempatnya bekerja. Ladang yang sudah sepuluh tahun lebih ia garap. ladang itu bukan miliknya, tapi milik Haji Tabri salah seorang tetangganya. Ia hanya mengolah dan merawat ladang itu dengan cara bagi hasil. Biasanya, saat panen ia mendapat lima puluh persen hasilnya, dan separuhnya lagi untuk Haji Tabri.
Setiap hari pak Baim selalu datang ke ladang garapannya itu, meski hanya untuk sekedar membersihkan rumput-rumput liar, membetulkan saluran air agar lancar, atau mengusir burung-burung Emprit yang kerap merusak tanaman. Bahkan terkadang ia hanya duduk menghisap lisongnya sambil memperhatikan sekeliling ladang yang penuh bangunan disana-sini.
Ladang pak Baim memang berada tak jauh dari kota jakarta. Tepatnya di sebelah selatan. Dari sawahnya ia bisa menyaksikan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang. Perumahan-perumahan mewah, juga Jalan layang dan kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang di sana.
Ia teringat dulu ketika kecil, jakarta belum seramai ini. Sawah ladang masih panjang menghampar. Pohon-pohon masih banyak. Sungai di bawah jembatan layang itu masih jernih airnya, sehingga ia dengan senang mandi tiap sore menjelang bersama kawan-kawan lama yang sekarang entah sudah berada dimana.
Tapi kini sungai-sungai itu telah kotor penuh sampah. Sawah-sawah juga tinggal sedikit. Mungkin hanya milik Haji Tabri ini yang masih tersisa itupun ia dengar sudah ditawar oleh sebuah perusahaan untuk dijadikan perumahan. Baim miris hati, dari mana nanti ia akan menghidupi istri dan kedua anaknya kalau sawah Haji Tabri jadi dijual.
Pak Baim kerap bercerita sendiri pada sesuatu entah apa disekitar sawahnya itu. Seperti halnya pagi ini ia sudah berada di ladang, ia hanya ingin mengungkapkan kegelisahan kepada diri sendiri disaksikan rumput, padi, burung-burung dan matahari yang mulai tinggi dilangit siang.
“Kamu lihat Pak Baim?” tanya seekor burung yang melintas di atas ladang Pak Baim kepada pasangannya.
“Iya, kenapa?”
“Sawah yang di garapnya itu mau jadi dijual?”
“Wah, kasihan sekali, terus dia mau kerja apa?”
“Nggak tahu, padahal ia tak bisa apa-apa selain bertani. Bakal makin sedikit saja sawah di jakarta ini”
“Hmmm, pembangunan kota ini benar-benar tidak memandang kelestarian alam ya? Seenaknya saja membangun gedung, perumahan, jalan, tanpa berpikir anak cucu mereka juga perlu lahan hijau dan suasana alam yang asri!”
“Iya, payah manusia jakarta!”
“Eh, ada apa itu di bawah sana, siapa yang membawa sepotong pohon padi itu?”
“Ayo kita lihat!”
Kedua burung kecil itu turun ingin menyaksikan apa yang sedang terjadi di bawah mereka. Mereka hinggap di salah satu lampu tepi jalan kota. Mereka melihat seorang wartawan tengah mewawancarai para pejalan kaki. Menanyai mereka apakah tahu dengan pohon yang di pegang sang wartawan.
“Apakah anda tahu pohon apa ini?” tanya wartawan.
“Hmm, itu alang-alang ya? He,...” jawab seorang sambil tertawa malu karena tak tahu.
“Itu rumput liar?” jawab seorang lagi.
“Owh, itu pohon jagung kecil!”
“Itu, apa ya? Tak tahu mas! Tak pernah lihat!”
Dan dari sekian banyak orang yang ditanya, kebanyakan menggeleng-geleng tak tahu. sepertinya pohon padi itu sangat asing di mata mereka. Mereka seperti orang-orang buta yang tak tahu apa-apa.
“Dasar manusia-manusia bodoh!” kata si burung.
“Iya, tak tahu terima kasih! Mereka makan tiap hari tapi tak tahu pohon itu pohon apa”
“Hmm, itu tandanya mereka tak mengenal jatidiri!”
“Iya, Mereka itu hidup di ibu kota negara agraris, masa tak kenal dengan padi!”
“Sudahlah, ayo kita pergi!”
Kedua burung pun pergi. Wartawan itu menyudahi wawancara dengan menggelengkan kepala. Tak habis fikir, warga ibu kota sebuah negara yang dikenal dengan kesuburan tanahnya. Negara yang di sebut tanah syurga. Negara yang sebagian besar rakyatnya berprofesi sebagai petani. Orang-orangnya tak mengenal pohon padi yang jadi santapannya sehari-hari.
Wartawan itu melangkah, sembari mengingat kemarin ia melakukan liputan ke sebuah lembaga yang mengurusi tentang ekspor-impor. Ia tercengang ketika mengetahui bahwa indonesia menempati salah satu posisi atas sebagai negara peng-impor beras terbesar di dunia.
“Apa yang terjadi dengan negeri ini? Bukankah ini negara agraris?” batinnya.
Sang wartawan melangkah meninggalkan keramaian. Ia pacu sepeda motornya menuju tepi kota. Disana ia melihat seorang petani berdiam diri, di atasnya beterbangan burung-burung kecil yang bernyanyi, namun tiba-tiba dari arah gedung-gedung bertingkat muncul sebuah mesin raksasa dan sepasukan robot-robot pekerja dengan sejata-senjata modern. Mereka datang ke sawah petani tersebut. Merobohkan padi-padi yang mulai menguning, meratakan tanah, menanam batang batang beton besar dan panjang.
Ribuan belalang pun berlari terbirit mencari tempat perlindungan. Burung-burung berteriak-teriak. Pak tani kalang kabut, kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia berlari kesana-kemari hendak minta pertolongan. Tapi pada siapa? Kemana ia harus mencari bantuan? Sementara orang-orang dalam gedung tinggi itu tak ada yang peduli. Semua sibuk dengan kepentingan diri sendiri. Pak tani lungkrah, hatinya pasrah. Dalam sekejap sawah ladang itu hilang tak berbekas.