Akhir Juli kemarin menjelang Agustus, di masjid dan surau, para pengurus rumah ibadah itu mengimbau agar bendera merah putih dipasang sejak 1 Agustus hingga akhir bulan. Barangkali hal yang sama juga dilakukan di gereja dan rumah ibadah lainnya.
Biasanya imbauan datang dari bupati/wali kota setempat dalam rangka peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Para wali Kota dan bupati mendapat instruksi dari gubernur dan seterusnya secara hierarki.
Bagaimana nasib imbauan tersebut? Tidak dilaksanakan sesuai keinginan para pemangku jabatan. Rakyat cenderung mulai memasang bendera ketika satu atau dua hari sebelum 17 Agustus.
Di Aceh ketika konflik masih berlangsung, Agustus merupakan bulan menakutkan. Para aparat negara mengharuskan memasang bendera merah-putih sementara GAM melarangnya. Bisa dibayangkan sendiri bagaimana dilema yang dirasakan rakyat Aceh pada saat itu.
Begitu pula ketika hari jadi GAM (4 Desember), pemasangan bendera menyebabkan rakyat dalam dilema. Perseteruan kedua gang bersenjata itu pada akhirnya diselesaikan pada 15 Agustus 2005. Tapi kini konflik bendera kembali terjadi setelah Mendagri membatalkan Qanun No 3 tahun 2013 tentang bendera Aceh.
Negeri kita memang senang berkonflik soal simbol. Mulai dari simbol negara sampai simbol-simbol keagamaan. Kalau Aceh-Jakarta berkonflik bendera, di tempat lain ada yang ketakutan dengan simbol kiri maupun PKI. Ada juga yang berdebat soal kebaya dan cadar.
Konflik yang gak peting bagi jutaan rakyat Indonesia yang masih sering merasa lapar. Konflik yang gak penting bagi anak-anak yang makin lama kian terancam oleh para predator seksual. Konflik simbolistik makin membodohi orang-orang pintar bahkan dengan gelar akademik segudang.
Sementara substansi bernegara makin jauh panggang dari api. Ketika negeri lain sudah membicarakan kemungkinan tempat tinggal lain selain bumi, kita masih mengurus listrik yang padam tanpa pemberitahuan. Negara yang salah atau tidak diurus?
Pemadaman listrik yang terjadi di Indonesia bahkan di pusat kekuasaan bukan sepenuhnya salah PLN. Ingat, PLN merupakan BUMN yang artinya ada kementerian di atasnya.
Direksi PLN juga dipilih bukan dilotre di pasar Tanah Abang. Para menteri juga bukan dilotre. Demikian pula dengan presiden dan wakilnya, mereka dipilih.
Siapa yang pilih mereka? Ya kita. Melalui pemilu, kita pilih presiden dan wakilnya. Memilih presiden berarti kita telah menyerahkan segala urusan kenegaraan padanya. Ia kemudian memilih para menteri dan seterusnya hingga jabatan terendah.
Pemadaman listrik harusnya tidak diikuti padamnya semangat kemerdekaan. Sebagai manusia merdeka, kita punya hak dan pemerintah memiliki kewajiban memenuhi hak tersebut. Pemilihan menteri dan pengurus BUMN harusnya dilakukan jiwa merdeka.
Mereka yang mengurusi hajat orang banyak haruslah berintegritas, bukan dipilih karena deal politik, nepotisme, maupun kolusi. Dampaknya bisa disaksikan sendiri pada saat ini. Jakarta dan Jawa baru merasakan apa yang sudah sejak lama dirasakan daerah di luar Jakarta dan Jawa.
Ketika sarang kekuasaan terusik, kompensasi segera dibicarakan. Bagaimana dengan daerah lain di luar sarang kekuasaan? Ah, disuruh bersabar dan ikhlas. Padahal pemadaman listrik berakibat lunturnya rasa nasionalisme daerah-daerah lain di luar pulau Jawa.
Lalu salahkan rakyat di daerah memadamkan semangat kemerdekaan mereka. Buat apa pasang bendera merah-putih di depan rumah, tidak ada semangat itu di kawasan yang listriknya padam karena kelalaian pengurus BUMN. Meski BUMN dimodali oleh mereka.
Jika semangat kemerdekaan tak padam, nasionalisme tinggi. Tidak perlu pemko atau pemda mengimbau, rakyat pasti pasang sendiri bendera merah-putih di awal Agustus hingga akhir bulan.
Tapi rakyat terlalu sering dikhianati elite, terlalu sering diabaikan hak-haknya.
Padamnya listrik jangan hanya dipahami sebagai soal teknis. Namun dampak dari padamnya itu yang harus dimaknai para elite negara.
Begitu gelapnya jiwa-jiwa manusia Indonesia ketika semangat kemerdekaan padam. Mereka kehilangan nasionalisme bahkan negeri hanya dianggap tempat numpang berak dan kencing.
Padamnya listrik harus menyadarkan Jokowi. Jangan lagi pilih pembantu berdasarkan koalisi parpol, kedekatan dengan parpol, tapi tak becus urus negara. Jokowi tak boleh sepenuhnya menyalahkan PLN karena dirinya juga punya andil.
Memangnya kepala PLN yang pilih saya? Kan Anda sebagai presiden mengetahui soal siapa yang pilih kepala PLN dan dengan persetujuan presiden.
Harusnya sebagai kepala negara Jokowi juga minta maaf. Tidak perlu akting marah di depan kamera. Tidak usah niru gaya Ahok atau Risma, bro.
Harusnya, sebelum ditetapkan, Anda tanyakan sebagaimana Anda tanya di depan kamera kemarin. Harusnya proses tanya-jawab itu dilakukan sebelum kepala PLN menjabat. Ditanya berapa kekuatan listrik kita, apa yang dilakukan jika terjadi ini dan itu. Akting marah-marah gak penting dilakukan, apalagi di depan kamera.
Harusnya Jokowi marah pada diri sendiri. Marah karena semangat kemerdekaannya telah lenyap, terlalu banyak bohir politik yang menekan. Terlalu banyak bohir yang mengintervensi.
Ketika padam listrik dan rakyat teriak, semua berlagak bak pahlawan. Padahal mereka ikut andil menjadikan PLN atas buruknya kinerja PLN. Termasuk para bohir menyalahkan PLN, seolah-olah mereka tak bersalah.
Periode kedua nanti, Jokowi harus merdeka, jangan jadi boneka. Semangat kemerdekaan harus dinyalakan kepala negara. Salah memilih menteri berakibat salah memilih pengurus BUMN.
Semoga semangat kemerdekaan Jokowi tidak padam sebagaimana padamnya listrik. Jika kepala negara padam semangatnya, konon lagi rakyat Indonesia?