Lebaran tahun ini tidak ada yang mengulang pertanyaan sejuta umat: "Kapan menikah?" sekedar sebagai kalimat basa-basi sebelum menyantap nastar atau rengginang. Bahkan, lebaran kali ini terasa kurang kaffah karena saya tak sempat membeli setoples nastar tetapi malah punya Khong Guan berisi biskuit dan wafer yang autentik.

Sungguh lebaran yang lain dari biasanya. Sudah dua kali lebaran saya tidak pulang kampung ke Desa Nggambiran. Simbah kakung saya telah mangkat tahun lalu. Menyusul simbah putri yang sudah lebih dulu naik ke langit. Otomatis, sebagai anak tertua dalam hirarki keluarga besar, Ibu naik pangkat menjadi jujugan silaturahmi sanak saudara. 

Tanpa nastar (apalagi pacar) tak pernah menjadi masalah. Toh, saya juga malas dengan aktivitas mencari ujung selotip yang tidak menyumbang penurunan angka inflasi itu. Kehilangan terbesar justru adalah ketiadaan opor ayam yang simbah putri sajikan tiap mudik. 

Namanya di desa, ayamnya ya ayam kampung. Bukan ayam horn, lebih-lebih ayam kampus. Karena tidak disuntik dan cara makannya liberal (sisa nasi, karak kering, cacing), alhasil daging ayamnya jadi sedikit alot. Nyokot-nya butuh ekstra usaha. Tak semulus menggigit paha ayam kampus, eh maaf, maksud saya ayam horn.

Rupanya, nihilnya opor ayam itu merembet ke kehilangan-kehilangan yang lain. Dan Gusti Pangeran dengan segala keagungan-Nya mengingatkan saya di hari yang fitri ini.

Banyak perubahan begitu cepat (yang pasti bukan zodiak. Gemini yo Gemini wae, panggone keliru. Rasah neko-neko pengen dadi Virgo). Jumlah keponakan, besaran angpao, tumbuhnya kebiasaan menunduk (bukan zikir) dan sibuk dengan Youtube selebvlog, jumlah uban paman dan sepupu, sampai soal pacar baru keponakan yang masih SMP. Masyaallah.

Di skala yang kecil seperti keluarga saja terjadi banyak drama FTV. Bayangkan jika skalanya sebesar Indonesia. Apakah lebaran ini kita juga kehilangan banyak hal?

Bathara Kala begitu trengginas melahap waktu. Bulan dan tahun tiba-tiba menghilang. Yang dulu main kuda-kudaan pakai gedebog pisang, sekarang rumit ngomong politik. Hutan kayu menjadi beton. Sawah berubah mall. Gunung digerus ditata ulang jadi resort. Pedati raib digantikan hrang-hreng-hrang-hreng motor Ninja. 

Kita menamainya pembangunan, tetapi kenapa lingkungan malah terjajah? Kita merancang berbagai hal agar tampak modern, tetapi lupa cara menjadi diri sendiri.

Orang-orang pergi dan ditinggal pergi. Fidel Castro, Harper Lee, Ireng Maulana, Johan Cruijff, sampai imam besar Masjid Istiqlal, Ali Musthafa Ya'qub. Kehilangan yang malah melahirkan golongan pandai ngomong agama tanpa belajar kitab klasik. Yang berisik teriak revolusi, tapi rindu rezim diktator. Bani Smartphone yang lihai komentari beragam isu, tanpa modal disiplin ilmu.

Di situ saya ingin berkata: "Hadeeeeh."

Lebaran kali ini pun orang banyak berburu maaf lewat broadcast WhatsApp, tapi lupa memberi dan meminta maaf pada dirinya sendiri. Entah apa motifnya, yang jelas saat ini belum ada kapling untuk selebWA.

Mengapa usai menahan diri selama Ramadan, lebaran baru H+1 sudah saling curiga seperti akan diracun menantu yang zalim? Njuk poso wingi oleh opo sakjane? Mengapa maaf cuma sekedar kata, tetapi kosong?

Sebenarnya, bagi sebagian orang, yang ditakutkan saat lebaran itu bukanlah retorika "kapan nikah?", tetapi menyikapi perubahan yang tak selalu mudah dimengerti. Pada hal-hal yang dulu dekat, tapi kini terlewat. Pada kekasih yang horny berambisi jadi selebtwit.

Tiba-tiba dari luar terdengar rumah diketuk. Ketika pintu terbuka, sebuah rantang bersusun dua menghalangi wajah orang di baliknya.

"Apa ini?" tanya saya.

"Bikinan Mama. Ada lebihnya, katanya suruh antar ke sini," jawab Dhiani.

Ketika saya buka, isinya opor berkuah kekuningan. Ayam kampung. Aroma bumbu yang melempar saya ke Nggambiran 10 tahun silam. Ah, Tuhan memang pandai bercanda.