Sejak terbongkarnya kasus hoaks Ratna Sarumpaet pada awal Oktober 2018 lalu, istilah Firehose of Falsehood (FoF) atau operasi semburan fitnah kini dijadikan acuan banyak pemerhati dan praktisi politik di negeri ini untuk bisa memahami kontestasi politik 2019.
Istilah tersebut semakin populer sejak Presiden Jokowi dan timsesnya, belum lama ini, menuduh lawan politiknya memakai propaganda ala Rusia (konsultan asing) untuk menyemburkan dusta sebanyak-banyaknya, kebohongan sebanyak-banyaknya, dan hoaks sebanyak-banyaknya, sehingga rakyat, masyarakat menjadi ragu pada pilihannya.
Meski sempat mendapat respons dari kedutaan besar Rusia di Jakarta, Presiden Jokowi mengklaim pernyataannya mengenai 'propaganda Rusia’ tidak ada sangkut pautnya dengan negara yang dipimpin Presiden Vladimir Putin. Istilah itu ia kutip dari sebuah artikel yang diterbitkan RAND Corporation, sebuah lembaga pemikir (think tank) dan analis kebijakan global bergengsi di Amerika Serikat.
Walau begitu, gayung bersambut. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi langsung mempertanyakan maksud dari ucapan Jokowi soal kelompok yang mengunakan konsultan asing.
Timses mana yang Pak Jokowi maksud? Wakil Ketua BPN, Priyo Budi Santoso menegaskan kalau tim pemenangan Prabowo-Sandi selalu mengedepankan kampanye yang santun, sesuai aturan, dan tidak setuju dengan kampanye hitam.
Apa sesungguhnya yang dimaksud Jokowi dengan propaganda Rusia dan mengapa ia merasa perlu untuk meresponsnya.
Propaganda Rusia
Artikel yang dimaksud Jokowi di atas tentu saja merujuk pada riset yang dituliskan oleh dua ilmuwan sosial terkemuka dari Rand Corporation, Christopher Paul dan Miriam Matthews, pada 3 tahun yang lalu (2016) berjudul The Russian “Firehose of Falsehood” Propaganda Model: Why It Might Work and Options to Counter It.
Dalam artikel tersebut, Paul dan Matthews menjadikan Rusia sebagai sampel riset karena negara Beruang merah tersebut ditengarai telah menerapkan teknik yang disebut oleh keduanya sebagai FoF.
Sesuai namanya, teknik tersebut utamanya menitikberatkan pada penyebarluasan informasi yang sifatnya membohongi dan memfitnah. Ini sangat berlawanan dengan kebiasaan kampanye konvensional yang menekankan pada pentingnya kebenaran, kredibilitas, dan sebisa mungkin terhindar dari kontradiksi politik.
Tekniknya adalah menyebarkan disinformasi (informasi bohong) berupa teks, video, audio, dan gambar yang diperbanyak secara masif, baik melalui siaran radio, televisi tradisional, televisi satelit, internet, dan media sosial (medsos). Teknik ini, kata Paul dan Matthews, dilakukan secara cepat, terus-menerus, dan berulang-ulang.
Untuk memuluskan propagandanya, Rusia juga diketahui memakai jasa internet troll. Jasa ini mengacu pada orang yang mengirim informasi palsu di Internet dengan tujuan untuk membangkitkan tanggapan emosional atau kemarahan dari pengguna lainnya, baik melalui ruang obrolan online/medsos, forum diskusi, isian komentar berita, dan berbagai situs lainnya.
Merujuk pada laporan Radio Free Europe/Radio Liberty, Paul dan Matthews menyebutkan bahwa ada ribuan akun palsu di Twitter, Facebook, LiveJournal, dan vKontakte yang dikelola oleh propagandis Rusia. Mereka bertugas 24 jam sehari, dan masing-masing memiliki kuota harian 135 posting komentar dengan minimal 200 karakter.
Propaganda Rusia juga melibatkan media RT (Russia Today) sebagai penyedia berita multimedia terdepan. Dengan anggaran lebih dari $300 juta per tahun, siarannya dilakukan dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Rusia, dan beberapa bahasa Eropa Timur.
Saluran ini sangat populer secara online, di mana Rusia mengklaim lebih dari satu miliar halaman telah dilihat. Jika klaim tersebut valid, itu akan menjadikannya sebagai sumber berita yang paling banyak dibuka di Internet.
Selain RT, ada lusinan situs berita lainnya yang menyajikan propaganda Rusia, tetapi tetap berafiliasi dengan pemerintah Rusia yang disamarkan.
Dengan teknik FoF yang demikian canggih dan mahal itu, menjadi tak heran jika kebanyakan dari mereka yang mengonsumsi propaganda Rusia bisa tercuci otaknya (brainwash): menjadi akrab pada disinformasi dan menerima disinformasi tersebut tanpa mempertanyakan kebenarannya lebih lanjut.
Teknik ini dinilai berhasil diterapkan Rusia pada krisis di semenanjung Krimea, Ukraina, dan Suriah. Di tempat yang berbeda, teknik itu juga dinilai efektif diterapkan dalam pemilu di Amerika, pemilu di Brasil, dan Britain Exit (Brexit).
Respons Jokowi
Merujuk pada kecanggihan teknik FoF Rusia tersebut, wajar apabila Presiden Jokowi menjadi merasa khawatir. Apalagi sejumlah kasus hoaks saat ini telah muncul dalam arena perpolitikan di Indonesia.
Pada akhir September-awal Oktober 2018, sebagaimana sudah disinggung di awal tulisan ini, warganet sempat dihebohkan oleh informasi bohong (hoaks) yang disebarkan melalui medsos terkait pengakuan salah satu timses pentingnya calon presiden Prabowo, Ratna Sarumpaet (RS) tentang pengeroyokan yang menimpa dirinya.
Belakangan RS mengaku bahwa lebam yang ada dimukanya bukan karena pengeroyokan, melainkan akibat dari sedot lemak di pipi kiri dan kanannya. Pembelaan kepada RS yang dilakukan Prabowo dan lingkaran politiknya pun berujung pada minta maaf ke publik.
Kekhawatiran Jokowi semakin bertambah dengan munculnya 10 isu hoaks lainnya, antara lain utang pemerintah, tujuh kontainer surat suara tercoblos, e-toll dari utang Cina, e-KTP palsu dari Cina, Jokowi dituduh PKI, Jokowi gunakan konsultan asing, ijazah SMA Jokowi palsu.
Ada pula hoaks sepuluh juta tenaga kerja asing (TKA) Cina, calon wakil presiden Ma’ruf Amin digantikan oleh Basuki Tjahaja Purnama, dan munculnya tabloid siluman menyerupai Obor Rakyat bernama Tabloid Indonesia Barokah.
Sepanjang kurun waktu Januari 2019 ini saja, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga mencatat setidaknya terdapat 175 hoaks yang tersebar di tengah-tengah masyarakat. Bisa diprediksi, jumlah hoaks ini akan terus bertambah seiring mendekati waktu Pilpres pada 17 April nanti.
Contoh-contoh tersebut bisa dijadikan indikasi adanya penggunaan teknik FoF dalam Pilpres 2019.
Atas alasan itulah, Andi Widjayanto (selaku Ketua Tim Cakra 19 yang bekerja untuk memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf) merasa perlu untuk merespons gerakan FoF. Menurutnya, cara paling efektif untuk menghancurkan gerakan itu adalah dengan menelanjangi bagaimana operasi itu dilakukan, dan melakukan intervensi media untuk mematikan taktik yang dipakai.
WhatsApp sudah melakukannya dengan membatasi jumlah pesan yang bisa diteruskan oleh satu akun. Facebook melakukannya dengan mematikan akun-akun Saracen yang melakukan aktivitas ilegal di platform FB.
Boleh jadi respons Jokowi dan timsesnya tersebut menjadi produktif sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan demokrasi di Indonesia dan Pilpres 2019 itu sendiri.
Namun, yang menjadi soal adalah apakah respons Jokowi dan timsesnya terhadap lawan politik yang menggunakan teknik propaganda ala Rusia (FoF) itu bisa dibuktikan kebenarannya? Jika tidak, hal ini juga akan menjadi kontraproduktif. Itu artinya, Jokowi bisa memiliki risiko politik dipersepsi publik menjadi sama hoaksnya dengan lawan politik yang ia sindir itu.