Lima tahun lalu, saat pertama kali mengikuti Basic Training, aku terpukau, kagum, bangga, dan mataku berbinar-binar melihat Tim MoT. Mereka dengan tulus dan tak kenal lelah mengelola training siang-malam tanpa henti, tanpa digaji dan tanpa dipuji.
Mereka bicara kebenaran, membahas ide-ide baru, menuntun ke jalan yang benar, dan menunjukkan betapa pengabdian pada perkaderan adalah jantung kemuliaan dalam organisasi ini.
Seiring berjalannya waktu, entah aku yang salah menilai atau kenyataan sebenarnya yang menunjukkan demikian, aku mulai melihat adanya kesenjangan. Antara ide dan wacana yang diajarkan di forum training, dalam beberapa hal, sama sekali tidak ada pijakan realitasnya di dunia nyata.
Dapat dikatakan, ada kecenderungan di mana pembahasan tentang kebenaran ternyata adalah tak lebih dari omong kosong belaka. Fenomena yang terjadi menunjukkan betapa ada suatu keadaan di mana telah terjadi perkaderan ‘’bohong-bohongan’’.
Aku masih ingat, di dalam forum training, kami diajari caranya melawan segala bentuk penindasan dan pengungkungan atas kebebasan manusia. Kami juga secara radikal diajari bagaimana hidup menundukkan diri hanya pada Allah Swt. Tunduk pada manusia atau senioritas sangat diharamkan. Menjadi kader HMI adalah manusia-manusia yang mengutamakan cinta-kasih dan kebijaksanaan di atas segalanya, termasuk kekuasaan.
Menjadi bullshit manakala omong tentang kebenaran hanya mengawang-awang di langit. Dalam momen Konfercab yang prosesnya sudah benar, misalnya, seorang kandidat yang sudah kalah sejatinya tidak punya alasan apa pun untuk memusuhi seorang pemenang. Karena satu cabang, maka sudah sepatutnya kebijakan yang dijalankan Ketua Cabang (bekas rivalnya) didukung dan disukseskan. Bukan malah direcoki, digagalkan, diganggu, dan bertindak yang mengarah ke perbuatan destruktif.
Beberapa orang yang tidak sudi dipimpin bekas rival Konfercab, ada yang memilih melampiaskan ketidakpuasan atau ketidakterimaan kekalahan dengan menduduki posisi di BPL dan menjadi seorang Master of Training (MoT). Dengan aktif di perkaderan, kekalahan politik dilampiaskan dengan berkarya di ranah pengelolaan training.
Tentu pelampiasan seperti ini sangat bagus, karena dijiwai oleh semangat kompetisi dalam berkarya. Fastabiqul khoirot. Berlomba-lomba dalam berkarya, kebaikan, dan progresivitas.
Beberapa orang yang kalah dalam konstelasi memilih menjadi oposisi dan pihak yang menjadi penyeimbang. Istilahnya menjadi korektor dan pengawal yang kritis dalam memantau segala kebijakan yang diambil oleh Ketua Cabang. Dengan menjadi oposan, menjadi pihak pengkritik, demokrasi berjalan dan kinerja Ketua dapat diiring dengan adanya pressure group tadi.
Dalam ranah perkaderan, masing-masing pihak harus menjaga betul, bahwa apa pun konfliknya dan seberapa keras pergolakan politik-ide yang berlangsung, jangan sampai menghambat, mengganggu, mereduksi, merusak atau membunuh jalannya perkaderan.
Perkaderan adalah tulang punggung organisasi. Sekali dirusak, maka beberapa periode selanjutnya pun (tahun-tahun setelahnya), kader-kader yang muncul dari dirusaknya perkaderan, menghasilkan kader-kader yang ‘’sakit’’.
Doktrin perkaderan yang aku serap, misalnya dalam Intermediate Training dan Senior Course yang kuikuti, para senior dan pembicara selalu mengajarkan pentingnya profesionalisme seorang MoT dalam ranah perkaderan. Apa pun konflik di Komisariat, Cabang, Badko, dan PB HMI, Perkaderan harus tetap jalan dan menjadi nomor satu. Padahal, kenyataannya, perkaderan pun selalu tidak bisa lepas dari politik.
Perkaderan adalah produk politik strukturalis. Bila jabatan politik organisasi dipegang oleh sosok yang concern di perkaderan dan memikirkan keberlangsungan regenerasi, tentu dunia perkaderan menjadi baik. Begitu pun sebaliknya, bila jabatan stuktural diisi oleh pribadi yang sakit, materialis, dan hobi menjual organisasi, tentu perkaderan yang terbangun tidak lebih buruk dari watak pemimpin strukturalnya.
Oleh karenanya, dilema yang terjadi di atas tentunya menimbulkan omong kosong perkaderan.
Benarkah perkaderan seratus persen bisa lepas dari konflik di cabang? Apakah MoT benar-benar steril dari sikap politis? Apakah ego merebut kekuasaan selalu lebih besar dari mengabdi pada kaderisasi? Mau jadi apa HMI ke depan bila di dalamnya terlalu banyak manusia-manusia munafik, rakus, gila jabatan, dan amoral?
Tentu aku tersinggung dengan masih banyaknya senior berusaha menyetir-nyetir adindanya yang sedang menjabat. Bahkan, tidak jarang, seorang junior yang berani menolak intervensi senior, dengan kejam hendak diputus link-nya, diboikot acaranya, diblokade akses silaturahminya, atau dimatikan jaringan pendanaannya. Semua demi satu, ''atas nama senior!''
Iya, senioritas selalu menjadi lagu lama yang memuakkan. Entah mengapa, ada saja oknum senior yang selalu merasa paling benar, paling berpengalaman, paling tahu, dan merasa berhak mengatur segala apa yang dipilih oleh junior.
Memang benar, berkat seniorlah kader-kader baru belajar berdebat, membuat surat, membangun jaringan, memimpin, berorasi, mengadakan acara, menyelenggarakan perkaderan, dan mencari pendanaan organisasi.
Tapi apakah atas jasa semua itu, kemerdekaan individu seorang junior harus dirampas? Apakah arti menjadi senior jika harus selalu minta disembah, dijilati dengkulnya, hingga diciumi pantatnya? Apakah menjadi senior berarti pula harus merasa sok paling dihormati dan perkataannya menjadi sabda yang harus langsung dijalankan oleh junior?
Jangan-jangan, di balik semua sikap sok paling senior dan berpengalaman, ada semacam kepengecutan dan ketakutan akan kondisi di mana junior melampaui senior. Jangan-jangan, sebenarnya apa yang dinamakan senior adalah tidak lebih sosok manusia yang ikut HMI duluan dan dari segi umur kebetulan lebih tua.
Jangan-jangan, yang namanya senior adalah orang yang masuk organisasi duluan, tapi bila diukur dari segi kebijaksanaan, tingkat kedalaman intelektualitas dan pemikiran, relatif sama dengan junior. Bahkan bisa jadi lebih rendah, lebih cetek dari pada kader baru yang dianggap junior.
Bila itu yang terjadi, sesungguhnya selama ini telah berlangsung kebohongan, penipuan, dan manipulasi besar-besaran yang dijalankan secara sistematis. Oleh karenanya, tentu fenomena semacam itu harus dilawan dan diperangi.
Dalam perkaderan, senior selalu bicara kemajuan dan pentingnya mencari kebenaran. Tapi sering kali, bila junior hendak maju dan melampaui senior, mengapa yang lebih tua menghalangi dan cenderung iri? Bukankah junior yang demikian sudah mengamalkan apa yang diajarkannya dulu saat pertama kali masuk HMI?
Berkat membaca buku, diskusi, berpikir, dan mencari makna hidup, mengapa oknum senior (tidak semua) mesti terganggu bila ada junior yang menyatakan kebenaran? Bukankah sikap kritis dan ke-apa-adaan menyatakan pendapat (betapa pun bertentangan dengan kepentingan senior) adalah bagian dari pembelajaran anak muda dalam mencari kebenaran yang sejati?
Bila yang dikatakan junior benar, tapi senior tidak suka karena mengancam posisi dan pengaruhnya, bukankah itu salah senior? Mengapa mesti junior yang hendak dibungkam?
Sejauh yang kita dapat di perkaderan, senior mengajarkan pentingnya menyatakan yang benar sebagai kebenaran; betapa pun pahit untuk didengar dan dirasakan. Bila di dalam forum training, senior berkoar-koar meneriakkan kebenaran, mengapa idenya sepi dan asing di alam kenyataan? Apakah sesungguhnya itu adalah bentuk lain dari kemunafikan seorang senior? Yang menganggap dirinya terhormat dan paling tahu segala hal.
Lalu, apabila yang disampaikan dalam forum training ternyata adalah kepura-puraan, apakah berarti perkaderan yang berjalan juga merupakan ke-bullshit-an paling rapi di muka bumi? Bila perkaderannya omong kosong, manusia macam apa yang dihasilkan setelahnya?
Kader HMI macam apa yang terbina bila training sebagai jantung kaderisasi mengalami pembusukan moral? Apakah mungkin pen-training-an yang dijalankan dengan kepura-puraan dapat menghasilkan pribadi yang beradab? Jangan-jangan malah biadab!