Dalam rentang waktu 21 tahun setelah jatuhnya rezim Orde Baru (Orba), kita melihat banyak sekali perubahan dalam waktu yang tidak singkat tersebut. 

Bagi beberapa orang yang melewati fase remaja dan masa-masa perkuliahan di masa pemerintahan Orba, tentu kebanyakan dari mereka akan mengatakan bahwa, hari ini, kondisi kebebasan demokrasi sudah lebih terjamin. Bagi orang-orang yang lahir pada saat rezim Orba berkuasa, tentunya kita tidak tahu-menahu bagaimana kacaunya kepemimpinan Soeharto pada waktu itu. 

Kita tidak dapat menilai secara empiris, karena apa yang kita dapatkan hanya berdasarkan akses umum yang kita miliki, seperti penelitian dan jurnal-jurnal sejarah demokrasi di internet, televisi yang juga jarang menceritakan dosa pemerintah masa lalu maupun perpustakaan kampus, cerita-cerita orang dan juga buku pelajaran yang setiap minggu diajarkan di bangku-bangku sekolah.

Namun, sebagai generasi yang terlahir pada tahun 1997, saya memiliki pertanyaan penting bagi kita semua. Apakah ada persamaan antara praktik penegakan Pancasila saat ini, dengan Orde Baru?

Mari kita berangkat dari hasil pencarian saya di internet belakangan ini. Di dalam konteks Pulau Jawa saja, menurut catatan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2016[1] menyebutkan, jika sepanjang tahun 2016 terdapat 450 konflik agraria dengan skop wilayah konflik sekitar 1.265.027 hektare dan melibatkan 86.745 KK. 

Berselang satu tahun setelahnya, KPA tahun 2017[2] mencatat terjadi adanya peningkatan jumlah konflik agraria sekitar 659 konflik agraria atau ada penambahan kasus sebesar 209 konflik, dengan skop 520.491,87 hektare dan melibatkan 652.738 KK.

Peningkatan konflik agraria terus terjadi secara signifikan. Pada awal tahun 2018, dengan meningkatnya intensitas konflik lahan, serangkaian usaha represif pun makin gencar dilancarkan dalam rangka menceraikan penduduk setempat dari lahan tinggalnya. Modus-modus represi seperti kriminalisasi, intimidasi sampai persekusi menjadi beberapa contoh nyata yang hari ini mewarnai usaha perampasan lahan.

Hal yang segera kita temui manakala memotret pemandangan yang terjadi di Surabaya[3]. Tepat di belakang kampus-kampus mentereng di kawasan Sukolilo, Anindya Joediono dan Faiq, kedua mahasiswa yang aktif terlibat dalam advokasi penggusuran kampung kota tersebut, mendapat penganiayaan dari pihak aparatur negara berupa tarikan dan pemukulan saat mengadvokasi kasus penggusuran Kampung Keputih Tegal Timur Baru (KTTB). 

Tak hanya mahasiswa, warga sekitar yang berusaha mempertahankan lahannya pun turut menjadi korban kekerasan.

Tidak perlu heran, jika kamu merupakan orang yang sering turun ke jalan atau setidaknya pernah melakukan kegiatan advokasi penggusuran, penggunaan aparatur negara dalam perampasan lahan dan ruang hidup, dengan dalih “menertibkan kawasan liar” adalah suatu hal yang wajar. Namun, tentu, penggunaan aparatur negara dalam merepresi masyarakat dan memaksanya pindah dari lahannya adalah bentuk ketidakadilan.

Bagi orang-orang yang memiliki privilege yang baik, lahir dari keluarga menengah, mungkin akan menggunakan kacamata “keindahan, ketertiban, dan kerapian kota” sebagai sudut pandang yang melegitimasi pendapat pemerintah untuk menggusur, merapikan kota dan lain sebagainya. 

Namun, kita tentu perlu melihat dari kacamata lain, sebagai masyarakat marjinal yang tidak memiliki akses terhadap kesejahteraan, dan perampasan lahan seperti ini sama artinya dengan mengakhiri hidup mereka.

Tidak hanya berhenti di kasus agraria, sorotan utama ketika kita ingin membandingkan rezim hari ini dengan rezim Orde Baru adalah tentang kebebasan berpendapat dan demokrasi.

Di tahun 1998, Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia ditandatangani untuk menjadi fondasi untuk, salah satunya, menjamin kebebasan berekspresi di Indonesia. Justru 10 tahun kemudian, di 2008, undang-undang yang balik membatasi kebebasan masyarakat dicanangkan kembali.

Undang-undang itu, yang telah mengirimkan ratusan orang ke bui dalam waktu kurang dari 10 tahun masa berlakunya, adalah UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik, atau diringkas dengan sebutan UU ITE. Sejak pertama kali dijadikan Undang-Undang pada 2008 silam, sekitar 381 orang terjerat kasus pidana UU ITE.

Berdasarkan catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)[4], para korban rata-rata terjerat pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2). 90 persen di antaranya dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik dan pengkritik kebijakan pemerintah.

Kita kemudian bingung, jika orang-orang “tua” mengatakan “Hari ini kita sudah jauh lebih baik dalam berdemokrasi dan sudah berkeadilan daripada kami dulu di era Orde Baru”. Padahal, jelas-jelas hari ini, demokrasi dan keadilan pun masih jauh dari harapan Pancasila kita, masih sangat hancur. Lantas, bagaimana kita dapat membayangkan betapa bobroknya rezim saat itu bagi orang-orang tua kita?

Apa yang tampak dari paragraf-paragraf di atas adalah kenyataan yang masih kita hadapi di era informatika ini. Nyatanya, tujuan mulia dari Pancasila sila kedua dan kelima masih belum bisa terimplementasi secara radikal, bahkan cenderung diabaikan. 

Namun, sayangnya, beberapa orang justru masih saja berkutat dalam romantisasi masa lalu dengan mengatakan “hari ini sudah lebih baik” tanpa mau untuk terus memperjuangkan dan memperbaiki apa yang masih menjadi kekurangan pada hari ini.

Tentu saya tidak bisa menafikan ada yang berubah dari rezim otoriter Orde Baru dibanding saat ini. Tetapi, tentu kita tidak bisa berpuas diri. 

Presiden kita pernah membuat janji untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM pada masa kampanyenya dulu tahun 2014. Bahkan ia membuat itu sebagai program utama di dalam Nawacita-nya. Namun, sampai hari ini, penyelesaian kasus tersebut masih berupa omong kosong belaka sampai hari ini[5]. 

Aksi kamisan yang telah berjalan 10 tahun[6] belakangan buktinya masih eksis dan berdiri sampai hari ini dalam upaya meminta negara untuk bertanggung jawab menyelesaikan kasus-kasus HAM yang terjadi di masa lalu. Walaupun demikian, kasus-kasus HAM tidak kunjung diselesaikan, bahkan pimpinan-pimpinan negara kita hari ini merupakan aktor-aktor yang diduga terlibat aktif dibalik kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu[7].

Dari narasi di atas, saya tentunya masih sangat belum puas terhadap kinerja aparatur pemerintahan hari ini dalam pengamalan Pancasila. Percuma kita memiliki Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang setiap waktu melaksanakan seminar-seminar Pancasila, tanpa mengerti bahwa tantangan terbesar bagi pemerintah hari ini bukanlah melawan atau menangkal segala bentuk ideologi radikal yang “mengancam” Pancasila seperti apa yang didengung-dengungkan oleh pemerintah. 

Tantangan terbesarnya adalah bagaimana negara kita, hari ini, bisa tegas dalam menyelesaikan kasus-kasus ketimpangan keadilan dan mewujudkan kebebasan demokrasi bagi rakyatnya. Karena tentu saja, dengan penyelesaian kasus-kasus seperti ini akan mendekatkan kita pada tujuan utama yang tercantum pada Pancasila, terutama sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Referensi:

  1. Konsorsium Pembaruan Agraria, Catahu 2016, KPA Launching Catatan Akhir Tahun 2016
  2. Konsorsium Pembaruan Agraria, Catahu 2017, KPA Launching Catatan Akhir Tahun 2017
  3. Eka, Wahyu S, Geotimes, Kisah di Balik Penggusuran Warga Pinggiran Kota Surabaya
  4. SAFEnet, [Rilis Pers] PAKU ITE Serukan Hapus Seluruh Pasal Karet UU ITE
  5. CNN Indonesia, Janji di Atas Ingkar Jokowi soal Pelanggaran HAM
  6. Tirto, Sepuluh Tahun Aksi Kamisan
  7. Merdeka, Komnas HAM Sebut Pihak Terlibat Pelanggaran HAM 98 Punya Jabatan Strategis