Saya sadar setiap manusia punya rasa takut. Sementara ketakutan terbesar manusia adalah kematian. Di sinilah agama muncul. Hanya agama yang mampu memberi gambaran kehidupan setelah mati.

Di sini letak permasalahannya. Tak ada satu pun manusia yang pernah bangkit dari kematian dan menceritakan bagaimana hidupnya setelah mati. Agama pun hanya menyandarkan bukti dari kitab suci. Sementara diperkirakan ada 5.000 agama di dunia. Bagaimana kita menguji kebenarannya?

Akhirnya, agama hanya menjawab dengan satu kata: iman. Iman artinya percaya. Jika ada sebuah teks agama yang mengatakan pernah ada manusia yang bisa membelah Jupiter, penganutnya wajib percaya. Tidak percaya artinya dia tidak beriman. Dan hukumannya neraka.

Kelemahan dalam sistem kepercayaan model ini adalah tak diperlukannya rasionalitas dalam berpikir. Rasional artinya berpikir secara logis dan sesuai akal sehat. Jadi, jika ada orang yang bilang bisa terbang dari Jakarta ke Planet Saturnus dalam semalam, sudah pasti orang tersebut berbohong.

Namun, tetap saja banyak orang yang percaya kabar-kabar bohong. Dua kasus yang melibatkan guru spiritual, Aa Gatot Brajamusti dan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, menegaskan hal itu. Mereka mempunyai pengikut yang banyak dan fanatik. Apa pun yang dikatakan akan dianggap sebagai kebenaran.

Dalam sebuah kesempatan, Aa Gatot pernah mengatakan bahwa dia sakti dan bisa terbang. Sementara Dimas Kanjeng mengeklaim bisa menggandakan uang.

Tanpa perlu berpikir secara mendalam pun, kita bisa mengatakan bahwa klaim-klaim mereka tidak benar. Anehnya, masih saja ada yang percaya.

Teman saya bercerita bahwa dia baru saja berdebat dengan orang yang ngotot bahwa Dimas Kanjeng bisa menggandakan uang. Orang tersebut menunjukkan bukti sebuah video YouTube di mana Dimas Kanjeng dikelilingi tumpukan uang yang sangat banyak.

Namun, saya memahami mengapa mereka mudah percaya. Karena saya pernah berada di posisi mereka. 

Bukan berarti saya percaya Dimas Kanjeng, melainkan saya percaya ada sosok supranatural, sebut saja FSM (bukan nama sebenarnya), yang selalu mengawasi dan siap menghukum saat saya membangkang perintahnya. Satu kemiripan saya saat itu dengan mereka adalah tanpa berpikir rasional, saya percaya bahwa hal itu benar adanya.

Saya sempat mengalami masalah yang sebetulnya sepele namun terasa sangat berat. Saya percaya masalah yang menimpa adalah sebuah hukuman dari FSM. 

Selama ini saya memang mengabaikannya. Saya tak pernah memujanya dan tidak menjalankan perintahnya. Saya kemudian bertobat meminta ampun kepada FSM. Hasilnya tetap sama. Dosa-dosa saya kepada FSM sudah sangat besar. Begitu pikir saya.

Masalah tersebut membuat saya kalut dan kemudian depresi. Saya menjadi orang yang linglung dan tidak semangat menjalani hidup. Bingung, takut, dan cemas bercampur menjadi satu. 

Di tengah kebingungan itu, saya kemudian menghubungi guru spiritual yang saya anggap mampu mengatasi kecemasan dan ketakutan saya. Saya hanya manggut-manggut saat guru itu mengatakan ada “makhluk” yang bersemayam di dalam tubuh. Dia kemudian melakukan ritual disertai doa-doa untuk menghilangkan “makhluk” tersebut. Saya pun tenang.

Namun beberapa hari kemudian, saya kembali linglung. Kebingungan dan kecemasan saya bertambah parah. Orang tua saya pun turun tangan. Mereka juga memanggil guru spiritual untuk menyembuhkan “penyakit” saya.

Guru tersebut juga melakukan ritual dan memanjatkan doa-doa. Dia meminta saya untuk mandi dengan air dalam botol yang sudah dibacakan doa. Saya pun manut.

Setelah proses itu berakhir, kali ini saya benar-benar tenang. Saya tidak cemas lagi. Apakah itu karena peran guru spiritual? Iya. Setidaknya saat itu saya menganggapnya demikian.

Saya mulai menata diri dan hidup normal seperti biasa. Saat itulah saya mulai banyak membaca. Setiap hari saya membaca artikel-artikel di internet. Suatu saat, saya menemukan artikel tentang orang-orang yang rasional. Orang-orang yang skeptis dan selalu berpikir logis.

Butuh waktu lama buat saya untuk mencerna keberadaan orang-orang itu. Awalnya saya takut membaca artikel itu karena masih teringat FSM yang digambarkan membenci orang-orang rasional. Ancaman hukuman masih terngiang-ngiang.

Namun saya memberanikan diri membacanya. Tak hanya itu, saya kemudian mencari forum-forum di media sosial tempat orang-orang rasional berkumpul. Di sana saya berdiskusi banyak hal. 

Setelah melalui perdebatan dan diskusi yang panjang, saya memutuskan menjadi orang skeptis dan rasional. Saya tidak takut lagi ancaman FSM. Saya menganggap sosok itu tidak ada.

Pilihan ini membuat saya tenang. Saya tidak lagi gampang menyalahkan FSM atas masalah-masalah yang menimpa saya. Saat masalah menghampiri, saya akan mencari penyelesaiannya. Tak ada lagi omong kosong. Rumus saya: Problem + Problem Solving = Solved.

Saya kemudian paham bahwa peran guru spiritual hanya sebatas sugesti. Ketenangan yang saya dapatkan saat itu lebih karena saya percaya guru tersebut bisa menyembuhkan “penyakit” saya.

Sama halnya kita percaya sebuah batu keberuntungan yang mampu melindungi kita. Kita akan membawa batu tersebut ke mana pun kita pergi. Karena saat tidak membawanya, kita yakin kesialan akan menghampiri kita.

Ada banyak masalah yang menimpa kita selama hidup. Bingung, cemas, takut adalah perasaan yang kita miliki setiap saat. Jika rasional, kita akan bisa mengatasi perasaan-perasaan itu dengan gampang.

Namun, menjadi orang rasional tidak mudah. Karena kita harus menyingkirkan dogma-dogma yang telanjur melekat sejak kecil. Dogma-dogma itulah yang menyebabkan kita sering menyelesaikan permasalahan secara tidak rasional.

Di saat itulah guru spiritual masuk. Entah kita yang mencari mereka atau mereka yang mendatangi kita. Dengan klaim-klaim yang mereka bawa, kita akan mudah memercayainya.

Kita tidak akan bersikap skeptis saat menerima informasi. Janji ketenangan dan penyelesaian masalah dari mereka akan membuat kita dengan mudah percaya. Padahal sikap skeptis diperlukan agar kita tidak mudah mengamini omong kosong.

Aa Gatot dan Dimas Kanjeng adalah guru spiritual yang celakanya hidup di zaman modern. Jika lahir di abad pertengahan, kita mungkin menganggap mereka nabi. Senjata mereka hanya omong kosong. Sayangnya, omong kosong laris di negeri ini.