Pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta kerja sebagai upaya penyederhanaan aturan hukum atau biasa disebut Omnibus Law (RUU Omnibus Law Cipta Kerja) menjadi diskursus pro dan kontra di kalangan masyarakat. Konsep Omnibus Law ini sering digunakan di berbagai negara hukum yang menggunakan sistem common law.
RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang berupaya menyederhanakan 79 UU dan 1.288 Pasal, dengan 11 klaster yakni, penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan kawasan ekonomi khusus (KEK).
RUU tersebut jika disahkan adalah perbaikan aturan pada Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No.32/2009 tentag Perlindungan dan Pengelolaan Linkungan Hidup (PPLH), serta Undang-Undang No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) (Mongabay.com, 2020).
Pemerintah dan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat telah rampung membahas Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja. Baleg dan pemerintah bahkan akan langsung mengambil keputusan tingkat I atas RUU tersebut. Berdasarkan keterangan Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, pada Sabtu (3/10/20) (Tempo.co, 2020).
Bekerjanya dengan cepat kekuatan legislasi menimbulkan pertanyaan oleh masyarakat sipil. Apakah pemerintah dan legislator betul-betul mewakili kepentingan konstituen, atau malah sebaliknya. Memunggungi cita-cita demokrasi dan pembagian kekuasaan yang menjadi tujuan dasar bernegara, tulisan ini akan merefleksikan tentang Omnibus Law, menguatnya oligarki, dan saat yang sama menjadi anomali dalam demokrasi Indonesia.
Omnibus Law Menguatkan Oligarki
Berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil, organisasi lingkungan, organisasi HAM, gerakan masyarakat adat, sosial, buruh-buruh dan lainnya ikut protes. Beberapa hal yang dianggap mendukung kerusakan lingkungan yang sistematis seperti tidak diiwajibkannya AMDAL termasuk Komisi AMDAL yang tidak terbentuk, kemudian limbah B3 di mana membuang limbah B3 boleh dibuang perorangan dan perusahaan di sungai, laut, terus ke tanah tanpa harus izin ke Pemerintah.
Serta, hal yang sangat krusial terkait tanggangung jawab mutlak (strict liability) pemerintah untuk menjerat korporasi pembakaran hutan dan lahan yang diatur dalam pasal 88 Undang-Undang No.32/2009, individu dan koorporasi tersebut tak perlu membuktikan bahwa bagaimana lahan hutan terbakar dan siapa membakar (Mongabay.com, 2020).
Pada konteks kritik luas RUU Omnibus Law Cipta Kerja, sejumlah pasal berpotensi menghapus perlindungan hak, merepsesi HAM warga negara, khususnya terkait dengan hak-hak sipil dan politik dan ekonomi, sosial dan budaya. Serta berkenaan dengan penegakkan hukum bagi perusak lingkungan yang lemah. (Wiratraman, 2020).
Eksistensi Pemerintah dan Legislator seolah merintangi tujuan dasar dari didirikannya yang diatur berdasarkan UUD 1945, yaitu melindungi segenap kepentingan warga, serta memastikan perlindungan hukum HAM warga negara terjamin dan dilindungi, namun justru membela kepentingan pemodal yang menguasai sektor-sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Jeffry A.Winters (Winters, 2012) menegaskan bekerjanya oligarki, yang terdiri dari kekuatan pemerintah yang memiliki otoritas dalam memberikan izin serta ditopang oleh investasi yang rakus dengan tujuan untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya tanpa keberpihakan pada menjaga kelestarian lingkungan, kemudahan investasi, dan menegasikan hak-hak dasar warga negara, bahkan jika harus dilindungi oleh perundang-undangan sekalipun.
Begitu rawannya proses perizinan, semuanya bermuara dari proses politik berbiaya mahal. Hadirnya Pemerintah dan Legislator dengan segala macam kewenangannya sebenarnya berasal dari mandat rakyat. Jika kemudian kewenangan tersebut disalah-gunakan, justru akan menjadikan negara di bawah kooptasi pemodal.
Leichenko & O’Brien dalam bukunya berjudul “Environmental Change and Globalization: Double Exposures” mengingatkan perlunya model asasemen yang terintegrasi, antara investasi dan dampak degradasi dan kerusakan lingkungan yang bertujuan agar kebijakan yang diterapkan bertujuan untuk melindungi lingkungan hidup, melindungi hak warga negara, dan pembangunan berkelanjutan perlu diarus-utamakan. Bukan membuat paradigma kebijakan oleh investor gelap (Leichenko & O’Brien, 2008) yang menunggangi kepentingannya pada RUU Omnibus Law Cipta Kerja
Anomali Demokrasi Menjadi Lumrah
Demokrasi yang dilaksanakan melalui pemilihan langsung yang diselenggarakan dengan biaya mahal akan berpotensi besar untuk menciptakan korupsi legislasi. Aspinall & Berenschot dalam bukunya Democracy for Sale (Aspinall & Berenschot, 2017) memberikan gambaran mengenai reproduksi politik klientinisme yang akan melahirkan pemimpin yang berwatak korup.
Melalui kroni kekuasaannya akan menghalalkan segala cara agar mendapatkan keuntungan dari proses kepemimpinan politik yang dilakukan. Sehingga tidak mengejutkan sebenarnya apa yang dilakukan oleh Pemerintah dan Legislator yang dihasilkan dari pemilihan yang korup.
ICW bahkan memberi penjelasan tentang bahanya demokrasi yang dijalankan dengan “nyawa” dari praktik tersebut adalah praktik koruptif. Maraknya mahar politik dan jual-beli rekomendasi partai politik, hingga pengaruh aktor-aktor politik nasional untuk mendelegasikan calonnya di daerah sebagai benih dari korupsi serentak (ICW, 2018).
Sehingga tidak mengejutkan apabila terjadi anomali demokrasi dan memperberat agenda menguatkan demokrasi dan memberangus praktik korup. Serta, apabila dipaksakan untuk disahkan RUU Cipta Kerja, akan menjadi preseden buruk dalam demokrasi di Indonesia.
Omnibus Law dan Anomali Demokrasi
RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi potensi yang sangat besar untuk melanggengkan praktik kerusakan lingkungan hidup dan pemenuhan HAM warga negara. Sehingga, tidak ada alasan yang menguatkan bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini untuk segera disahkan, karena tidak ada kepentingan warga negara sedikit-pun yang diwakili dalam pembahasan Undang-Undang Sapu Jagat tersebut.
Masyarakat sipil juga tidak dapat berharap sepenuhnya terhadap kinerja pemerintah dan legislator yang tidak mewakili kepentingan mereka. Maka dari itu, solidaritas warga negara, mulai dari buruh, aktivis lingkungan, serta masyarakat-masyarakat lain yang terdampak sekiranya akan menjadi kunci untuk menghalau proses pengesahan Omnibus Law tersebut, dan mengingatkan kepada Pemerintah dan Legislator bahwa demokrasi di Indonesia telah dikhianati!