Sejak merebaknya layanan transportasi dan kurir berbasis aplikasi daring, gaya kehidupan masyarakat di zaman ini sudah banyak berubah. Aplikasi transportasi daring mengubah cara orang menjalani rutinitas, cara bepergian, hingga cara untuk memenuhi kebutuhan hidup.

            Mulai dari para pekerja yang berangkat ke kantor, anak-anak atau mahasiswa yang berangkat ke sekolah, Unit Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang menjual barang atau makanan, hingga restoran dan perusahaan besar memilih untuk memanfaatkan ojek online ( ojol) atau transportasi online yang lain.

            Berbagai macam perusahaan di bidang ini yang sering kita jumpai berlalu-lalang di jalanan misalnya Gojek, Grab, Uber, Maxim, Shopee Ekspress, dll. Para pengemudi yang biasa disebut sebagai driver bisa dikatakan sebagai para buruh yang tidak menyadari dirinya sebagai buruh.

Ojol Buruh Paca-Fordisme

            Hatib A. Kadir dalam artikelnya yang berjudul “Dari Lantai Pabrik ke Ojek Online: Perubahan Makna Buruh dan Kerja” di tirto.id, menjelaskan mengenai para buruh di era “pasca-fordisme”.

            Istilah “pasca-fordisme” mengacu pada situasi di mana buruh tidak lagi bekerja dalam pengawasan penuh dari pukul 8 pagi hingga 5 sore untuk memproduksi mobil Ford. Kebebasan individu menjadi aspirasi tertinggi yang ditekankan dalam sistem pekerjaan pasca-fordisme.

            Berbeda dengan generasi buruh sebelumnya yang menjadikan kebebasan sebagai motivasi yang paling diinginkan, pekerja era ini memiliki pilihan atas hidup dan menyelaraskan pada hasrat konsumsi dan utang daripada produksi massal.

            Janji utama dari pekerjaan pasca-fordisme adalah kebebasan dan fleksibilitas. Tentu hal itu menjadi jargon yang banyak menarik minat pekerja-pekerja muda zaman ini. Pekerja tidak lagi memiliki kewajiban untuk loyal seumur hidup pada perusahaan.

            Kebebasan pekerjaan juga membongkar sistem patron-klien dan menjanjikan egalitarianisme antara pekerja dan pelanggan. Misalnya seorang driver ojol yang tidak lagi hanya memiliki pelanggan dari tetangga rumah atau kenalan yang dilayani secara reguler, melainkan bisa mendapat pesanan dari berbagai tempat secara acak.

            Para pekerja pabrik ataupun seorang guru di sekolah bisa mengambil pekerjaan ojol sebagai sampingan. Para pensiunan juga bisa mengambil pekerjaan sebagai driver ojol untuk menambah penghasilan. Driver ojol juga bisa dengan leluasa mematikan aplikasinya sewaktu-waktu jika ingin istirahat atau sedang sakit.

Penindasan Terselubung 

Perusahaan-perusahaan berbasis aplikasi daring memang telah sukses membuka lapangan kerja yang melimpah bagi para driver ojol yang disebut sebagai “mitra” mereka. Para driver dijanjikan penghasilan harian yang lumayan tinggi dan keleluasaan dalam mengatur jam kerja secara fleksibel tanpa relasi kerja yang jelas.

Di balik kesuksesan Gojek dan perusahaan ojol yang lain dalam menghasilkan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, terdapat fakta-fakta yang tidak bisa dihiraukan. Penelitian dari Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) Universitas Gadjah Mada, mengupas fenomena mengenai status “mitra” pada ojol.

Di balik janji-janji fleksibilitas lewat relasi kemitraan driver ojol dan perusahaan yang menaunginya, ternyata terdapat berbagai bentuk penindasan yang terselubung. Sistem-sistem yang sudah diatur perusahaan seperti penentuan tarif, sanksi, bonus dan algoritma yang ada, dengan halus membuat perusahaan memiliki kontrol penuh pada proses kerja ojol.

Kontrol ini tanpa disadari tidak jauh berbeda dengan yang ada pada pabrik untuk mendisiplinkan buruhnya. Hubungan kemitraan, membuat para driver tidak berhak untuk menuntut tunjangan kesehatan, upah lembur, tunjangan anak, hak libur, pesangon, hingga jam kerja yang layak pada perusahaan.

Melihat Hubungan Kemitraan

            Relasi antara perusahaan aplikasi dengan para driver adalah bentuk kemitraan. Hal tersebut juga tercantum dalam peraturan pemerintah. Dalam aturan Permenhub PM 12/2019 pasal 15 ayat 1, pemerintah menyatakan bahwa “Hubungan antara Perusahaan Aplikasi dengan Pengemudi merupakan hubungan kemitraan”.

            Kemitraan sendiri secara umum dimengerti sebagai hubungan yang setara dan adil antara dua atau lebih pihak untuk bekerja sama dalam hal tertentu atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat dan menguntungkan.

            Menurut perusahaan aplikasi, hubungan kemitraan terwujud dalam pemberian keleluasaan pada para driver untuk menentukan jam kerjanya sendiri. Nyatanya menurut penelitian dari Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) Universitas Gadjah Mada, relasi kemitraan hanyalah penyamaran dari relasi kerja pekerja buruh dengan pengusaha.

            Penyamaran relasi buruh dengan pengusaha ini bisa terjadi karena adanya beberapa faktor. Pertama, terdapat perbedaan kepemilikan sarana produksi yang jelas terlihat antara driver dengan sepeda motor dan gawainya dibandingkan perusahaan dengan aplikasi dan sistemnya.

            Ketika perusahaan menguasai aplikasi, mereka bisa secara sepihak menentukan mekanisme dan aturan yang harus ditaati oleh ojol. Untuk meningkatkan laba, perusahaan dapat mengontrol para ojol dengan berbagai kebijakan.

            Kedua, relasi tersamarkan melalui bentuk “kemitraan” membuat para driver rentan karena hubungan yang tidak konvensional antara perusahaan dan pekerja. Perusahaan aplikasi beranggapan bahwa mereka menyewakan aplikasi untuk driver sehingga tidak memiliki tanggung jawab untuk menanggung beban risiko pekerja.

Kontrol Lewat Sistem Penilaian

Kontrol penuh dari perusahaan semisal Gojek dan Grab terwujud dalam adanya sistem penilaian. Penilaian pertama adalah performa driver dalam melakukan proses kerjanya. Apabila driver sering menolak pesanan pelanggan, baik menjemput dan mengantar penumpang ataupun makanan dan minuman, mereka akan dianggap memiliki performa yang buruk.

Akibatnya driver ojol tersebut tidak dapat mengakses sistem bonus yang ada dan pendapatannya berkurang secara signifikan. Dalam beberapa kasus, para driver akan kesulitas untuk menerima pesanan meskipun tidak sering menolak pelanggan.

Maka agar akun dapat pulih kembali, driver harus mengaktifkan akun dan menerima pesanan pelanggan agar dinilai memiliki performa yang tinggi. Penilaian kedua berasal dari penilaian sepihak para pelanggan. Penilaian tingkat kepuasan disediakan aplikasi dalam skala bintang 1-5.

Semakin kecil pemberian bintang oleh pelanggan, artinya ia tidak puas dengan kinerja driver. Penilaian yang subjektif dari pelanggan ini sering kali berasal dari keegoisan pelanggan yang meminta permintaan yang sering tidak masuk akal.

Misalnya pelanggan meminta dijemput di titik yang sebenarnya tidak boleh dilewati, driver sebagai kurir salah mengantarkan barang (padahal kesalahan dari toko yang dipesan), pelanggan minta diantar ke tempat yang lebih jauh dari yang tertera di aplikasi atau juga dalam kasus antrian panjang ojol untuk membeli BTS meal yang sempat ramai beberapa waktu yang lalu.

Bentuk-bentuk kontrol yang demikian, memaksa para driver untuk memenuhi semua tuntutan perusahaan. Driver yang sering mendapatkan penilaian buruk dari pelanggan, akunnya akan dimatikan sementara atau bahkan mendapatkan Putus Mitra (PM) oleh perusahaan aplikasi.

Ketika terjadi kecelakaan kerja atau kerusakan pada gawai para driver, perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk membantu. Kerusakan pada gawai harus diatasi sendiri oleh driver mengingat kepemilikannya sebagai miliki pribadi bukan miliki kantor perusahaan.

Mengenai janji fleksibilitas jam kerja, nyatanya tidak betul-betul terjadi pada para driver. Jika jam kerja buruh pada umumnya adalah 8 jam sehari, para driver ojol dapat bekerja lebih dari 10 jam untuk memperoleh bonus.

Sistem poin dan target yang harus dikejar oleh para driver, membuat mereka layaknya dalam misi menyelesaikan permainan yang sebenarnya adalah bentuk kontrol perusahaan aplikasi. Untuk mengejar bonus, mereka kemudian malah terjebak dalam jam kerja yang sangat tinggi.

Penutup

            Penindasan yang tersamar, kalau boleh penulis katakan demikian, memang telah terjadi pada para driver ojol. Bersamaan dengan hal itu, hal yang tidak boleh kita lupakan adalah keberhasilan aplikasi ojek berbasis daring dalam melancarkan perekonomian terlebih saat pandemi.

            Para driver mungkin tidak memiliki pilihan untuk kembali menjadi ojek konvensional mengingat gaya hidup masyarakat yang sama sekali berbeda dengan era sebelum ojek online. Mencari pekerjaan lain bisa jadi akan lebih sulit.

            Penulis berharap bahwa suara-suara orang-orang yang kritis mengenai hal ini akan mengubah keadaan setidak-tidaknya memperjelas hubungan kemitraan antara ojol dan perusahaan aplikasi

SUMBER INTERNET:

https://money.kompas.com/read/2021/12/01/190851926/berkat-sinergi-dan-inovasi-dalam-pemulihan-ekonomi-gojek-raih-bank-indonesia.

https://tirto.id/dari-lantai-pabrik-ke-ojek-online-perubahan-makna-buruh-dan-kerja-gedg

https://theconversation.com/riset-empat-alasan-kemitraan-gojek-grab-hingga-maxim-merugikan-para-ojol-159832