Dalam sebuah momen jum’atan saya sering diresahkan dengan sebuah beberapa keganjalan yang untungnya tidak mengganjal niat saya untuk melaksanakan Sholat jumatnya. Bukan karna pertanyaan konyol terkait mengapa ketika hari jumat saja orang beramai-ramai memenuhi mesjid hingga meluap keluar teritori.
Kali ini gangguan itu datang dari mesjid-mesjid yang seiring berjalannya waktu semakin penuh menyesaki gang-gang sempit, pinggiran-pinggiran jalan raya sampai pemukiman setengah remang-remang. Yang mengganggu bukanlah tertuju pada bangunan megah atau kumuhnya atau lebar sempitnya tempat ibadah umat muslim itu.
Bertaburannya mesjid pada perkembangan berikutnya menyisakan sebuah problem semakin sedikitnya umat muslim yang menyempatkan diri minimal untuk sekedar membasuh muka apalagi sholat. Masjid nyaris bisa dipastikan penuh jika ada ritual mingguan seperti sholat jumat atau majlis ta’lim yang dipadati oleh ibu-ibu lanjut usia. Sedangkan rutinitas wajib lima kali sehari bisa dipastikan hanya diisi oleh segelintir orang yang –bisa jadi- karna lagi melintasi lokasi itu dan mumpung dekat.
Pembangunan mesjid besar-besaran serta renovasi kolosal banyak dilakukan secara membabi buta. Masjid-masjid yang sudah terlihat kusam dengan besi-besi setengah karat karna dimakan hujan, segera diprioritaskan untuk dibangun dengan arsitektur yang nyaris menyaingi kemegahan Istana Bani Sa’ud Arab Saudi dan menara seperti burj khalifa Dubai. Kotak amal, proposal dan media pemantik sedekah lainnya mulai dijalankan. Simpatisanpun mulai bergerilya demi terselenggaranya pembangunan atau renovasi yang dicanangkan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah tujuan penyesakan mesjid hingga menusuk pemukiman-pemukiman sempit, menggerus ruas-ruas terotoar jalan umum atau fasilitas rakyat lainnya ? atau merenovasinya dengan arsitektur aduhai hingga menandingi istana raja di Timur Tengah ? apakah benar dalam rangka menampung kapasitas jamaah yang lebih banyak ? atau hanya karna lahirnya sentimen ego bila masjid di suatu daerah harus kalah megah dengan masjid di kampung sebelahnya.
Dalam beberapa kesempatan, dapat kita jumpai pembangunan masjid yang jaraknya tidak terlalu berjauhan dengan beberapa masjid yang ada di sekitar wilayahnya. Bahkan dalam satu gang, kerap kali kita jumpai ada dua masjid dengan kapasitas yang besar.
Pembangunan mesjid yang seperti ini merupakan tindakan membabi buta. Satu dari sekian efek dari bertebarnya masjid dengan jarak yang relatif dijangkau adalah timbulnya pola apatis masyarakat terhadap masjid itu sendiri. Hal ini dikarenakan fungsi dari masjid sebagai pusat sentral masyarakat sebagaimana zaman Nabi tidak terwujud.
Pada zaman Nabi Muhammad, masjid bukan sekedar tempat untuk mengerjakan sholat atau sekedar i’tikaf, melainkan juga berfungsi sebagai balai pertemuan, tempat belajar, berdiskusi dan sebagainya. Masjid menjadi lokasi strategis untuk menghimpun umat sehingga eksistensinya menjadi begitu penting bagi kemajuan pembangunan. Keberadaan masjid benar-benar berfungsi sebagai penyatu berbagai persepsi dan pencari pencerahan dari sekian masalah.
Miris yang kita jumpai saat ini, masjid hanya dipergunakan untuk melaksanakan sholat atau agenda majlis ta’lim kalaupun ada. Bahkan jika dibandingkan fungsinya kini tidak kalah dengan super market, buka dan tutupnya dijadwal.
Reduksi pada tataran fungsi juga demikian, masjid sudah tidak lagi sentral sebagaimana pada zaman Nabi. Orang-orang tidak lagi melihat kewibawan dalam masjid. Karna sudah terlalu banyaknya ditambah peraturan yang dijalankan menyerupai super market. Hingga jangan heran kalau pada akhirnya masjid sering dijadikan –maaf- sebagai WC darurat.
Sebagian di atas merupakan implikasi dari terlalu banyaknya masjid. Hingga masjid menjadi begitu murah harganya. Layaknya buah durian, dia akan mahal pada saat produktifitas pohon durian masih sedikit, namun jika banjir durian terjadi, harganya akan semakin murah.
Sesekali belajar dari teori penjual durian mungkin tidak ada salahnya untuk membangun kesimpulan terkait kondisi masjid hari ini. Bagaimanapun inilah faktanya. Efek selanjutnya adalah pemborosan dana dan hilangnya prioritas pembangunan infrastruktur akibat teralihakan oleh biaya pembangunan masjid ini.
Dalam fakta dan kondisi masjid sebagaimana di atas, sudah dapat disimpulkan bahwa pembangunan fasilitas umum yang belum terpenuhi secara maksimal selayaknya masuk ke dalam skala prioritas dari pada pembangunan masjid yang semakin banyak hanya akan menimbulkan dampak yang tidak baik terhadap masjid itu sendiri.
Sadar dan insaf akan hal ini, maka sudah waktunya umat muslim dan rakyat yang masih diberkahi kesadaran jernih untuk mereview kembali realitas pembangunan masjid secara membabi buta yang demikian.
Alangkah baiknya, jika umat muslim menjadikan kembali masjid sebagai lahan untuk meningkatkan produktifitas persatuan dan kesatuan dengan cara merevitalisasi fungsi dan meminimalisir pembangunan masjid dengan jarak tempuh yang relatif bisa dijangkau, apalagi transportasi semakin menunjang. Di mana jarak sudah tidak begitu menjadi beban.
Dengan mempertimbangkan ini semua, kiranya tidak menggalakkan pembangunan masjid sedemikian rupa bahkan ada yang sampai tidak mau kalah dengan tempat ibadah agama lain yang terlihat lebih banyak.