Sejak diciptakan mesin, berdiri pabrik-pabrik yang mempekerjakan milyaran manusia. Dalam situasi dunia yang makin apa-apa serba dibutuhkan uang itulah, bekerja adalah demi legitimasi eksistensi dimata sosial. Terlebih bila gawean tersebut menghasilkan banyak uang.

Kegiatan ekonomi berbasis industri menjamur dimana-mana. Muncul kota-kota baru, penduduk desa tersedot merantau ke pusat industri diikuti ramai-ramai meninggalkan profesi bertani. Iya, industrialisasi membuat pemuda enggan bergelut lagi dengan cangkul dan sabit.

Dunia pendidikan pun sengaja dijadikan alat doktrinasi. Pekerjaan bertani adalah ‘’hina’’, rendahan, kuno dan remeh. Siswa SD tidak ada satupun yang bercita-cita ingin jadi petani. Mereka berandai-andai ingin jadi Menteri, Presiden, Pilot, Dokter, Tentara dan guru. Hampir semuanya, tidak ada satupun yang ingin jadi Petani.

Dari pembodohan itulah, anak-anak muda jadi city oriented. Harapan hidup terbaik adalah di kota. Desa adalah masa lalu, lembah hitam yang mesti ditinggalkan dan dikubur dalam kenangan lama. Kurikulum negara dengan cerdiknya menuntut generasi muda untuk hijrah, lalu terjadilah urbanisasi besar-besaran.

Manusia yang awalnya dekat dengan keluarga, penuh gotong royong dan bertegur sapa dengan tetangga, tiba-tiba mendapati dirinya terlempar ke suasana kota. Sebuah kehidupan asing, individualis, matrealis, apa-apa diukur uang, membuat perantau tadi kesepian.

Dirinya merasa kering. Walau dijumpainya keramaian, tapi orang-orang kota sama sekali beda dengan orang desa. Mereka cuek, bodo amat, sibuk sendiri dan tidak ada waktu untuk sekedar mengenal. Bahkan perempuan di bus, yang duduk disamping seorang pemuda kampung pun mencurigai saat diajaknya bicara. Seolah tidak ada ketulusan murni dikota. Niat baik diprasangkai motif kejahatan.

Lingkungan kota membuatnya tidak lagi mengenal dirinya yang dahulu. Dia galau, hampa dan haus kebersamaan layaknya di desa. Satu-satunya cara adalah mencari kekasih. Seorang perempuan yang diharapkannya dapat menjadi sandaran saat lelah atau teman berbincang saat akhir pekan.

Hari-harinya kian sepi. Meski telah mendapat seorang kekasih yang cantik, tapi dia tetap butuh bersosialisasi dengan banyak orang.. Dia merindukan saat-saat sore di tepian sawah, bersandar diatas gubuk sembari melihat petani menggiring sapi membajak sawah. Dia ingin sekali mengulang masa-masa kecil, berlarian kesan-kemari mengejar belalang dan kupu-kupu sawah.

Penghasilannya bekerja tidak seberapa, tapi cukup untuk makan dan sedikit ditabung. Untuk memuaskan dahaga spiritualnya, dia ikut pengajian  dimasjid dekat kos-kosannya. Tapi, sejak ada Ustad muda lulusan Arab, dirinya kurang nyaman dan tak lagi mendapatkan ketenangan masjid. Isi ceramah yang dia dengar, lama-lama bernada rasis. Tak jarang ceramah berisi pengkafiran terhadap kelompok lain.

Kekeringan spiritualnya makin tinggi. Itu menyebabkan dirinya mencari ketenangan dibidang lain. Salah satunya ikut seminar motivasi. Beberapa kali dia sempatkan diri untuk ikut training dan ceramah motivasi, berharap kata-kata mutiara yang terlontar dari mulut motivator; menguatkan jiwanya. Dan benar, kebutuhan rohaninya mulai terpenuhi dengan kata-kata puitis dan bijak dari seorang motivator yang juga sering tampil di TV.

Dirinya menjadi bahagia. Meski mengeluarkan duit, itu tak mengapa. Dirinya mendapatkan apa yang selama ini dia butuhkan. Berkat kedekatannya dengan beberapa peserta lain, dia juga mencoba menjadi jamaah beberapa acara ceramah. Mulai dari ikut pengajian ormas-ormas tertentu hingga ikut kelompok jamaah yang dipimpin seorang ustad terkenal.

Belakangan dia agak kecewa, motivator yang biasa dia puja kata-katanya, tersandung skandal keluarga. Iya, Sang idola tersapu gosip penelantaran anak. Hal itu membuatnya tidak habis pikir, bagaimana mungkin, dewa kata-kata bijak yang dikaguminya dapat sedemikian jahat hingga tidak mengakui darah dagingnya sendiri. Meskipun itu hanya gosip, tetapi dirinya terlanjur kecewa.

Lagi-lagi, dia merasa tidak punya tambatan hati. Kegalauannya membuncah. Dia butuh asupan spiritual, tapi tidak kunjung terpenuhi. Sepanjang yang dia alami, ceramah-ceramah di kota banyak bernada kebencian SARA. Bahkan beberapa dakwah hanyalah kedok dari sebuah penggiringan opini politik menjelang PILKADA. Dirinya tidak mau, menjadi pendengar propaganda pengkafiran dan objek komoditifikasi atas nama agama.

Di dunia nyata, dia tidak mendapatkan spirit keagamaan yang mendamaikan. Sedang di acara-acara TV, dia hanya menjumpai acara-acara sampah.

Dia benar-benar butuh obat atas kegalauannya. Tapi alhamdulillah, disekitarnya tidak ada perekrut jihadis, yang beberapa waktu lalu di kota sebelah sempat booming dengan banyaknya pemuda galau yang berhasil dicuci otaknya, lalu dikirim ke ‘’Negara Islam’’ di Timur Tengah dan dipersiapkan untuk melakukan bom bunuh diri melawan tentara Eropa yang ‘’kafir’’.

Dia tidak bodoh. Meski hanya lulusan SMA dan buruh pabrik, akal sehatnya masih aktif. Kegalauannya tidak pernah menjadi alasan dirinya diperbudak ideologi utopis. Dirinya tidak akan pernah mau mati demi apa yang dinamakan negara bar-bar. Baginya, jihad bukanlah menyongsong kematian, tapi bergulat sekeras-kerasnya mempertahankan kehidupan yang damai dan rukun.

Dia tidak sedang frustasi. Dia hanya sedikit kecewa dengan kehidupan dan wajah keagamaan yang tidak tampan. Di rumah ibadah, dia kecewa dengan ustad-ustad impor dan misionaris kebencian. Di training motivasi, dia tertipu bahwa selama ini hanya dijadikan konsumen industri motivasi, yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebijaksanaan selain didepan kamera.

Dia juga kecewa, kekasihnya ternyata matre. Berharap pada dirinya yang lemah dengan ekspektasi terlalu tinggi, sehingga membuatnya tertekan dan ingin lari dari kenyataan.

Sekali lagi, dirinya merasa sepi. Jauh dari orangtua, tidak lagi menjumpai kekeluargaan layaknya di desa, bangun pagi pulang malam untuk bekerja, hidup seperti robot dan tidak pernah bertegur sapa dengan tetangganya. Bahkan saat sakit pun, dia mesti terbaring sendiri dan mendapati dirinya terkapar tanpa sepasang mata pun yang melihat.

TV yang diharapkannya dapat memberi hiburan, malah menjadi sarang dagelan politisi. Bahkan beberapa acara yang tayang atas nama program Islami pun, tidak lebih alat propaganda yang menyudutkan kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda.

Hidupnya penuh dengan kekecewaan. Baru beberapa hari yang lalu, teman kerjanya yang sama-sama perantau, nekad bergabung dengan para Atheis kota. Ketika wajah agama tak lagi mendamaikan dan masuk akal, pelarian terbaik adalah wilayah tanpa Tuhan. Untungnya dia masih percaya pada-Nya. Hanya saja dia kecewa, agamanya tidak lagi tampil cantik dan memesona bagi manusia yang makin rasional.

Dia berharap, pemuda kesepian sepertinya di luar sana, tidak mudah direkrut oleh kekuatan-kekuatan yang tidak yakin kalau Tuhan ada. Akibat dari makin tidak masuk akalnya wajah agama diperkotaan, membuat manusia-manusia kesepian mencari sandaran praksis dan logis, yaitu menjadi Atheis.

Dia bersyukur, kekecewaannya pada orang-orang yang sebelumnya dianggap dapat memberikan kedamaian, membuatnya sadar bahwa kekuatan terbesar dalam memberi nilai bagi kehidupannya adalah dirinya sendiri, bukan oranglain. Selain tentang dirinya sendiri, kini dia pun tidak merasa perlu lagi untuk peduli pada oranglain. Lingkungan kota telah merubahnya jadi individualis dan pribadi yang realistis.