“Pusat keadilan berbasis pada hati nurani dan pikiran orisinal. Puncak keadilan bertemu kebijaksanaan. Keadilan tidak lahir dari rahim berpikir pembenci, namun tumbuh di atas keluruhan hukum dan moralitas,” kata Hazairin AR yang tampak selesai bertapa.

Malam itu kami ngopi bersama disertai alunan musik klasik “Beethoven” yang melezatkan suasana kontemplasi. Hazairin adalah aktivis yang kini bekerja sebagai penyelidik kejahatan narkotika di Badan Narkotika Nasional (BNN), Jakarta.

Dan di titik itu, lanjut Hazairin, “hati nurani menjadi cermin yang tak pernah ingkar. Hati nurani ruang bersemayam kebenaran, ia bersembunyi dari lapisan batin yang halus. Keadilan adalah anak yang lahir dari percikannya.”

“Seperti nur yang selalu memancarkan cahaya dan memberi pantulan energi positif pada sekitarnya…”, ujarnya sembari menyeruput kopinya yang sudah dingin.

Saya pun mulai meraih secangkir kopi yang masih panas, sembari meneropong suasana kebatinan penulis buku bertajuk “Nurani Keadilan: Refleksi Pribadi dan Keberagaman” itu. Hasil pergumulan spiritual Hazairin tersebut diterbitkan oleh Ruas Media, Yogyakarta (2019).

Sekeping percakapan pembuka di atas termasuk salah satu isi dari buku Hazairin (hal. 63). Jangan membayangkan buku berjumlah 248 halaman ini berisi seputar ‘Sufisme dan Tasawuf’, kendati saya merasakan ada juga sentuhan sufistik yang mewarnai isi buku ini.

Bukan pula tentang kupasan khusus ganasnya narkotika, tapi tentang “dunia lain”. Juga bukan buku bergenre ‘akademik’ yang terlampau berat. Secara kategoris, buku Hazairin semacam esai-esai yang belum usai. Catatan berharga di dalamnya sungguh relevan sebagai bahan renungan.

Hazairin menumpahkan semua pikiran, pendapat, perasaan dan pengalamannya ketika bergerak di panggung depan (front stage) maupun saat-saat bersemedi di panggung belakang (back stage). Dus, buku ini tidak saja memuat refleksi diri terhadap beragam peristiwa aktual, tapi juga kesaksian tentang seseorang yang ditemuinya, dan kelompok yang dimasukinya.

Sebagai eksponen HMI Cabang Makassar yang ikut memutar turbin reformasi di front ekstra-parlementer, barangkali Hazairin menemukan cita-cita kaum reformis saat itu mengalami kemacetan akut saat ini, akibat kelakuan sebagian politisi yang nir-moral.

Rakyat tidak dibela sepenuh jiwa. Justru rakyat dibela dalam sengkarut polarisasi politik yang membuat kita tersesak. Parade kebencian para elite yang tak lucu membuat kita lebih asyik menonton komedi Cak Lontong.

Hazairin pun menyuarakan orang-orang yang tersingkir dari mesin-mesin pembangunan, yaitu merawat anak yatim (hal. 115), “kaum marhaen” petani (hal. 241), dan warga desa yang termarginalkan di halaman belakang Indonesia.

Memang kritikan atas lakon elite politik yang amoral bukan hal baru. Namun suara-suara dan alarm harapan dari berbagai arah mata angin perlu didengar. Itulah sebabnya saya mengapresiasi karya ini untuk melengkapi khazanah kebangsaan dan kemanusiaan.

Membaca lembar demi lembar buku Hazairin menggugah saya bahwa asa memperjuangkan keadilan senantiasa mekar di kedalaman nurani banyak orang. Hazairin merangkai kata dalam tulisannya persis saat dia berbicara. Penuh kehangatan, ringan, dan sesekali jenaka. 

Keberagaman isu dan peristiwa yang menjadi refleksi Hazairin terpantul dalam bukunya. Mulai dari gonjang-ganjing politik nasional hingga pembangunan daerah. Sebagai putra kelahiran Bima-NTB, Hazairin menyiratkan pesan bahwa masih banyak PR yang mesti dituntaskan untuk mengangkat martabat kampung halaman.

Di bagian satu, Hazairin memotret tema akal sehat demokrasi. Di antaranya catatan tentang pilpres (hal. 37), yang sedang hangat saat ini. Dia juga merespons fenomena gerakan sosial berbasis agama yang menjamur pasca reformasi berdasarkan perspektif intelektualnya, sebut saja Gerakan 4 November 2016 dan Gerakan 212 yang fenomenal.

Jika di bagian satu Hazairin bergulat dengan wacana dan praxis politik maupun hukum dalam pengertian yang luas, maka di bagian dua dia membahas moralitas agama. “…berkuasa tanpa basis moral jauh lebih membahayakan dari orang yang tidak beragama.” (hal. 105). Ini keresahan Hazairin yang menarik kita telaah.

Ya. Dalam arena perebutan kekuasaan, agama kadang diletakkan sedemikian rendah, mengaku agamis tapi perilaku memalukan (korupsi, dll). Tuhan dihadirkan dengan cara yang hina, dalam arti bawa-bawa nama tuhan ke dalam lumpur kepentingan sempit laksana predator, memecah harmoni kemanusiaan.

Itulah mengapa Hazairin menyeru perlunya menyalakan kembali cahaya akal, berpikir sekaligus berzikir. Dari situ, tetes-tetes kebijaksanaan dan keadilan terpancar. Lalu membimbing kata dan laku secara tepat.

Dalam sambutan ketua MK Anwar Usman di buku ini, juga dikatakan bahwa nilai-nilai keadilan secara filosofi hanya bisa lahir dari hati yang suci dan bersih. (hal. vi).

Kemudian, kita meletakkan etika agama yang esensial sebagai landasan berpolitik. Kemampuan mengontrol diri, stop menyebarkan fitnah, berhenti menebar hoaks, dan menegakkan moral politik adalah pesan-pesan beraroma sufistik dalam bagian dua di buku ini.

Pada bagian selanjutnya, Hazairin menyoroti lanskap politik lokal. Bagian tiga tentang NTB, dan secara spesifik tentang Bima, di bagian terakhir.

Figur TGB yang ikut mewarnai peta politik nasional, fenomena “Bintang Gemilang” Zulkieflimansyah (Bang Zul), Nahdlatul Wathan dll memperkaya perspektif tentang dinamika sosio-kultur dan politik NTB beberapa tahun terakhir.

Terpilihnya Bang Zul sebagai gubernur NTB menandai tampilnya seorang intelektual cemerlang berwawasan dunia. Sebagai catatan, program beasiswa NTB yang dirintis Pemerintah Provinsi layak diapresiasi sebagai ikhtiar untuk menduniakan NTB melalui anak-anak muda Bumi Gora untuk melanjutkan studi ke luar negeri.

Kita memang harus bercakrawala dunia. Mempertarungkan gagasan-gagasan di pentas global. Bukan zamannya lagi kita berpikir chauvinistik, sektarian, dan mikroskopik.

Dalam buku “Nurani Keadilan” ini, terpotret gejala konflik kita (Bima), siapa, mengapa, dan bagaimana? (hal. 107). Dari konflik antarkampung, disharmoni antarelite, teror, dll sempat memburamkan wajah Bima. Ini sebuah autokritik dari Hazairin, dan sangat perlu agar kita menemukan solusi secara komprehensif.

Hal ini seturut kegelisahan Ketua MK Anwar Usman saat memberikan ceramah kunci pada acara launching buku ini, Maret 2019 di Bima-NTB. Intinya, Bima butuh SDM hebat melalui pendidikan berkualitas agar menjadi aktor pembangunan daerah yang progresif.

Bima menyimpan paradoks dan anomali. Di satu sisi, Bima masih dianggap terbelakang, sementara di tanah rantau seperti Jakarta, tak sedikit manusia Bima mewarnai pentas nasional. Sebut saja, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Syamsuddin Haris, Harun Al-Rasyid, Farouk Muhammad, Abdul Gani Abdullah, dsb.

Sebagai refeksi bersama, Hazairin telah membagi cerita yang inspiratif kepada kita. Saya juga berharap, agar diaspora Bima segera membangunkan Dou Mbojo dari “tidur dogmatis”. Mengutip kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer, anggaplah gejolak Bima yang semoga segera berlalu itu ibarat “badai dalam secangkir kopi”.

Biarlah semua yang lalu menjadi sejarah. Tapi kita sebagai anak zaman mesti menciptakan sejarah baru yang segar, maju dan terang. Seperti dikatakan ulama-sastrawan Buya Hamka “Biarpun seribu kapal tenggelam di lautan. Namun, cita-cita manusia tidak pernah padam.”