Tindak kriminal yang telah dialamatkan pada Novel Baswedan pada Kamis subuh, 11 April 2017 itu, memang telah mampu untuk hampir membutakan matanya. Namun tidaklah demikian yang terjadi dengan mata batin dan nuraninya. Keberadaannya kian tajam, bening, dan cemerlang seiring memburamnya pandangan mata fisiknya.

Dengan menyadari keraguan yang timbul pada dua orang oknum polisi itu, yakni Ronny Bugis dan Rahmad Kadir yang telah menyerangnya, ditambah dramatisasi proses persidangan yang terkesan hanya sebagai formalitas, menjadikannya kian mantap untuk memaafkan dan meminta pelaku tersebut dibebaskan saja.

Saran Pak Novel untuk pembebasan atas dua terdakwa ini jelas bukan tanpa alasan. Sebab dengan menghafal bukti fisik para pelakunya yang sama sekali jauh berbeda dari imajinasi kuatnya, ditambah alasan mereka yang terlalu mengada-ada, kian menahbiskan bahwa pelaku hanyalah sebuah utusan dari pihak tertentu untuk menjalankan peran sebagai pesakitan.

Dalam permainan catur, kita sering kali menjadikan prajurit sebagai anggota yang harus terlebih dahulu dijalankan. Posisi utama prajurit tersebut yang berada di garda terdepan menjadikan mereka sebagai anggota paling siap untuk terlebih dahulu dikorbankan. Meski hal itu bukanlah cara mutlak untuk meraih kemenangan, namun setidaknya dengan mengorbankan prajurit dapat dijadikan sebagai langkah efektif untuk meminimalisasi dampak kerugian.

Pemain catur yang dapat bermain dengan elok akan mampu mengorbankan prajuritnya demi menjatuhkan ratu dari kerajaan yang lain. Skema itulah yang kini terjadi pada pertarungan catur antara KPK dengan para koruptor di negeri ini.

Pak Novel seakan telah terjatuh dari bidaknya dan kehilangan daya jelajahnya. Namun lawan tampaknya lupa bahwa Pak Novel masih memiliki senjata pamungkas yang teramat berbahaya, yakni ketajaman mata batin. Senjata yang jelas tak akan mungkin mereka miliki sebab tak mampu berpuasa dan bertirakat dari tamak kekuasaan dan materi dunia.

Mata batin Pak Novel ini jauh lebih tajam daripada mata fisiknya. Dengannya, ia akan mudah untuk mengenali siapa kawan dan siapa lawannya. Dan dengan mata batin itu pula ia akan mampu menggerakkan seluruh elemen bangsa ini, yakni para pejuang yang masih memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap hukum dan keadilan.

Keberadaan Pak Novel saat ini mengingatkan saya pada seorang tokoh dalam dunia pewayangan, yakni Basudewa Kresna. Melalui kisah wayang kita telah memahami bahwa Basudewa Kresna telah mampu mengantarkan para Pandhawa untuk meraih kegemilangan dalam perang Barathayudha, tanpa perlu mengangkat senjata andalannya, Cakra Sudarsana.

Dalam perang itu, Basudewa cukup membantu para Pandhawa dengan menggunakan ketajaman mata batinnya sesuai janji yang akan ia tunaikan pada para Kurawa sebelum peperangan. Selama peperangan berkecamuk, ia hanya duduk tenang sebagai kusir Arjuna sambil berperan sebagai ajudan sekaligus penasehat perangnya saat menghadapi lawan-lawan yang teramat tangguh.

Pada waktu itu, Arjuna harus menandingi kesaktian kakeknya, Resi Bisma yang berkemampuan untuk menentukan sendiri ajalnya—selama ia tidak ingin mati, maka ia tidak akan mati. Ia harus menaklukkan Karna, kakak tirinya, yang jauh lebih jenius dan bertalenta dibandingkan dirinya. Kemudian ia masih harus menumpas gurunya sendiri, Resi Drona, yang jauh lebih berpengalaman dibanding dirinya.

Arjuna ditambah para Pandhawa jelas bukanlah apa-apa dibandingkan ketiga pendekar dunia tersebut. Ibaratnya, kekalahan mereka tinggal menunggu waktu dan telah ada di depan mata mereka. Namun, keberadaan Sri Kresna dalam kelompok mereka menjadikan jalan cerita berubah haluan.

Keberadaannya yang hanya duduk-duduk sambil tersenyum manis sebagai kusir Raden Mas Janaka merupakan ancaman serius bagi Sengkuni yang tak pernah mampu sekalipun untuk membaca strategi perangnya.

Bagi Sengkuni, keberadaan Kresna adalah jaminan kemenangan dalam setiap peperangan meski ia hanya duduk-duduk sambil berebahan. Sehingga ia tak henti-hentinya mengutuk keponakannya, Duryudhana yang dulu tidak mau memilihnya sebagai mitra berperang namun justru memilih tentara perangnya yang bersenjata lengkap.

Alasan Duryudhana untuk lebih memilih para tentara dari Kresna ini pun sebenarnya cukup masuk akal. Lantaran sedari dulu ia sangat meragukan kemampuan sosok mantan penggembala yang hanya hobi tidur itu. Baginya memilih Kresna tak ubahnya dengan mendeklarasikan kebodohan dirinya.

Namun, bagi Sengkuni jelaslah tidak demikian. Menurut nalarnya, mana mungkin ada seseorang yang berani mendermakan seluruh kekuatan dan armada tempurnya secara cuma-cuma jika ia bukanlah orang sakti mandraguna. Dan dari perang Barathayudha itu pun kita sudah dapat mengetahui, pendapat siapa yang paling benar antara Sengkuni dan keponakannya, Duryudhana.

Posisi sebagai Basudewa inilah yang saat ini diperankan oleh Pak Novel yang akan mendidik para Pandhawa bangsa sehingga mereka tidak gegabah dalam melangkah dan mampu berpikir jernih melalui bimbingan mata batinnya.

Sebagai bukti awal atas kesaktian Pak Novel ini adalah dengan fakta bahwa beliau mampu dengan begitu mudahnya mengabulkan permohonan maaf dari para terdakwa yang mengaku telah mencelakai dirinya itu. Pemberian maaf yang sebenarnya telah ia berikan bahkan sebelum mereka sempat memintanya. Dalam batinnya hanya menggumam penuh kelucuan, bagaimana mungkin mereka hendak meminta maaf kepadanya jika mereka bukanlah pelakunya.

Namun baginya negeri ini sudah terlanjur menjadi negeri yang lucu, dan biarkan saja ia mengalir dengan segala kelucuannya. Biarlah para penjahat itu yang akan menguak kejahatan mereka sendiri. Dan untuk sementara waktu ini, biarkanlah mereka untuk berkontemplasi terlebih dahulu sebelum mereka pada akhirnya benar-benar berani untuk menampakkan diri di depan publik dan menyatakan sendiri kesalahannya.

Untuk mengakui kesalahan, jelaslah itu bukanlah perihal yang mudah. Apalagi ini berkaitan dengan perkara yang teramat besar yang berkaitan dengan tata hukum negara. Namun bagi Pak Basudewa, ini hanyalah sebuah langkah untuk membiarkan saja para pelaku kejahatan itu untuk menyiapkan mental mereka sebelum mereka pada akhirnya akan kalah sebagai ksatria di medan laga seperti yang terjadi pada Resi Bisma, Pendekar Karna, dan Resi Drona.

Novel (Basudewa) itu jelas menghindari kekalahan-kekalahan secara tidak terhormat dari para musuhnya seperti yang telah terjadi pada Sengkuni yang baru dapat menjumpai ajal setelah tertusuk kuku Pancanaka Bima pada lubang duburnya.

Kematian Sengkuni yang bak babi panggang itu merupakan kekalahan yang amat memalukan bagi dirinya dan merupakan kehormatan luar biasa bagi Bima sebab telah mampu menghukum perwujudan sosok yang paling culas di dunia ini. Dan sosok yang seperti ini pun ternyata akan terus ada pada generasi-generasi berikutnya.

Namun apa boleh buat, jika mereka tidak bertarung secara kesatria dalam menghadapi tuntutan hukum dan keadilan itu, barangkali itulah pilihan akhir yang akan terjadi pada para koruptor itu, yakni mereka akan mengalami kehinaan di penghujung hidupnya. Semoga hal itu bukanlah yang menjadi pilihan mereka.