Beredar kabar akan terjadi pertemuan Jokowi-Megawati-Prabowo. Kalau kita kembali ke tahun 2012 pertemuan ini sudah pernah dilakukan. Saat itu mereka bersiap-siap mengalahkan calon Gubernur DKI Jakarta yang merupakan petahana, Fauzi Bowo yang didukung SBY.
Jauh sebelumnya Megawati-Prabowo memang teman politik. Mereka pernah berpasangan pada pemilu 2009. Mereka dikalahkan SBY-Boediono dan 2012 dianggap sebagai balas dendam Megawati pada SBY melalui pilkada DKI Jakarta. Selanjutnya kita semua tahu dinamika politik, teman menjadi lawan.
Jika kini mereka kembali menjadi teman sebenarnya biasa saja. Namun mengingat rivalitas pilpres 2014 dan 2019 yang 'berdarah-darah' maka nostalgia mereka memiliki dimensi berbeda. Ibarat sepasang kekasih yang pernah saling membenci akhirnya ketemu lagi.
Sedikit canggung pasti ada. Apalagi jika Prabowo mengingat perjanjian Batu Tulis, kalau adinda Cita Citata bilang "Sakitnya Tuh Di Sini". Lagu dangdut yang dirilisnya pada tahun 2014. Perjanjian Batu Tulis (2009) sempat menjadi polemik ketika Megawati memilih Jokowi pada pilpres 2014.
Bagi Prabowo itu pengkhianatan namun PDIP membantahnya. Inilah awal mula rivalitas mereka. Polemik itu berkontribusi pada panasnya pilpres 2014, dan berlanjut season dua (2019). Kini mereka mencoba mesra kembali. Banyak yang berharap pertemuan itu dapat menurunkan suhu politik akan tetapi tidak sedikit yang ketar-ketir.
Pertemuan mereka sebenarnya kurang disukai. Dianggap dapat mengganggu atau minimal mengurangi jatah kursi menteri apabila Gerindra bergabung. Wajar bila pertemuan segitiga ini sempat diganggu dengan pertemuan 4 parpol pendukung Jokowi. Mereka mengirim sinyal kepada Jokowi maupun Megawati, tolong perhatikan kami.
Pendukung Prabowo yang militan juga kurang menyukai nostalgia ini. Bagi mereka menjadi oposisi lebih terhormat. Tentu saja sudut manusia berbeda-beda apalagi dalam politik. Dalam situasi inilah semua pihak dapat berpikir dan bersikap bijak tanpa ada yang terinjak.
Nostalgia Prabowo-Megawati bisa saja menghasilkan kesepakatan di luar dugaan. Bisa saja inilah momen paling tepat bagi Megawati melunasi janji politiknya pada Prabowo.
Jika benar itu yang dijadikan kesepakatan maka akan terjadi reposisi dan rekomposisi kabinet Jokowi-Ma'ruf. Nostalgia ini sekaligus akan menghadang ingin kembalinya SBY menguasai kepemimpinan nasional melalui Cak Imin dan kawan-kawan.
Pernyataan Cak Imin soal lebah dalam harlah PKB ke-21 dan manuver pertemuan koalisi parpol pendukung Jokowi minus PDIP adalah perlawanan secara tersirat. Cak Imin yang sebelumnya telah menjumpai SBY, dan kelihatan bernafsu menjadi Ketua MPR belum mendapat restu Jokowi.
Nostalgia Prabowo-Megawati dipastikan akan membicarakan komposisi eksekutif maupun legislatif. Inilah yang saya katakan di atas akan membuat ketar-ketir parpol pendukung Jokowi. Prabowo dianggap akan merusak skenario politik sudah disusun.
Posisi di kementerian maupun legislatif menjadi penting mengingat pilpres 2024 tanpa kandidat petahana. Jokowi terganjal aturan dan Ma'ruf Amin terganjal usia. Bahkan saat ini dirinya mengaku tidak terlibat dalam menyusun kabinet.
Itulah mengapa Jokowi harus hati-hati dalam menentukan komposisi di kementerian dan setingkatnya serta di legislatif. Pasalnya 5 tahun ke depan tidak sama dengan 5 tahun sebelumnya. Masing-masing parpol akan berlomba-lomba mempromosikan kader parpolnya.
Jokowi cukup cerdas membaca psikologis parpol pendukungnya. Ia mengambil langkah strategis agar nostalgia Prabowo-Megawati terjadi. Rembuk ini nantinya akan menuai reaksi beragam. Pada saat itulah Jokowi akan lebih mudah mengambil keputusan.
Jokowi akan memetik keuntungan dari dua orang yang memiliki pendukung fanatik itu. Dua orang yang membesarkannya dalam karir politik. Nostalgia itu bagi publik barangkali bukan hal luar biasa, bagi saya malah itu hanya dagelan politik.
Apalagi bila pertemuan hanya membicarakan siapa dapat apa. Kalau pun ada penyampaian pidato tidak ada yang baru. Hanya retorika politik belaka. Tak jauh beda dengan bualan di warung kopi maupun di sudut gedung parlemen.
Pastinya nostalgia Prabowo-Megawati tidak akan membicarakan parahnya politik identitas, intoleransi, kebebasan berpendapat maupun kejanggalan dalam berdemokrasi. Mereka lupa ada yang lebih layak dibicarakan ketimbang bagi-bagi kursi kekuasaan. Misalnya intoleransi terhadap diskusi, seminar maupun kegiatan akademis lainnya.
Pelarangan diskusi hingga pelarangan beredarnya buku yang dianggap tidak sesuai selera penguasa kerap terjadi. Demokrasi harusnya menyentuh semua ranah bukan sebatas politik. Ranah akademis kita masih belum benar-benar menerapkan prinsip demokrasi.
Bahkan kegiatan berorganisasi masih belum merasakan demokrasi yang sebenarnya. Misalnya pembubaran kegiatan yang dilakukan PRD, serta persekusi terhadap ustaz-ustaz yang dianggap pendukung khilafah, syi'ah, Wahabi masih terjadi.
Sementara elit politik tidak pernah berkomentar soal-soal itu. Mereka asik berebut kursi seperti anak-anak berebut permen. Itulah mengapa nostalgia Prabowo-Megawati tidaklah begitu penting ketika intoleransi masih subur.
Nostalgia Megawati-Prabowo lebih pantas disebut sebagai hura-hura politik. Beritanya besar namun yang dibicarakan tidak lebih besar dari pembicaraan para perangkat desa.
Namun demikian kita bangsa optimis. Anggap saja nostalgia Prabowo-Megawati sebagai bagian dari penerapan teori politik. Selamat bernostalgia Prabowo-Megawati. Ingatlah, apapun keputusan kalian rakyat tetap pemegang kedaulatan tertinggi. Jangan coba-coba khianati rakyat atau kalian akan terlaknat.