Ketidakadilan gender merupakan isu yang menarik perhatian, terutama untuk para pejuang perempuan di dunia. Masyarakat turut andil dalam menempatkan peran dan posisi perempuan maupun laki-laki di tengah budaya patriarki ini.
Seperti yang kita tahu, ketidakadilan gender ini masih banyak dirasakan oleh masyarakat. Salah satunya adalah ketidakadilan gender berupa subordinasi perempuan, yaitu anggapan atau perlakuan bahwa perempuan tidak lebih penting dari laki-laki.
Penomorduaan atau subordinasi adalah penilaian bahwa salah satu gender memiliki peran, fungsi, dan kedudukan lebih rendah dari yang lain. Hal ini banyak dikaitkan dengan perempuan, yang menjadikan peran dan posisinya lebih rendah dibandingkan peran dan posisi laki-laki.
Anggapan tersebut muncul dari konstruksi sosial-budaya yang sudah melekat dalam diri masyarakat sejak dulu. Tidak sedikit masyarakat yang menormalkan hal ini, hingga membuat keberadaan perempuan diremehkan di tengah masyarakat. Bahkan tak jarang subordinasi ini juga akhirnya terinternalisasi dalam diri perempuan.
Ada banyak kasus subordinasi perempuan dalam lingkungan sekitar kita. Namun, karena adanya labeling yang melekat dalam diri perempuan sejak dulu, kasus ini jadi tidak terlalu dipikirkan. Bahkan mungkin dalam beberapa kasus, masyarakat juga tidak menyadari jika hal tersebut merupakan bentuk subordinasi perempuan.
Misalnya saja dalam rumah tangga, perempuan dituntut mengurus keperluan domestik dan tidak diizinkan bekerja, sedangkan laki-laki yang nantinya bertugas mencari nafkah. Sehingga banyak perempuan yang mengubur cita-cita mereka untuk berkarir setelah menikah.
Dalam dunia kerja, perempuan sering kali tidak dipercaya mengemban amanah secara maksimal, karena dianggap memiliki mental dan fisik yang lebih lemah dari laki-laki. Membuat perempuan tidak bisa berkembang di tempat kerjanya sendiri, karena posisi strategis banyak di dominasi oleh laki-laki.
Selain itu, pendapat perempuan juga bukan merupakan prioritas utama untuk didengar, karena perempuan memiliki tingkat emosional yang lebih tinggi dibanding laki-laki yang cenderung rasional dalam pengambilan keputusan.
Selanjutnya dalam hal pendidikan, perempuan sering kali dianggap percuma untuk berpendidikan tinggi. Hal ini tertanam dalam diri sebagian masyarakat yang masih berpikir jika nantinya perempuan hanya akan mengurus kebutuhan rumah tangga.
Banyak perempuan yang akhirnya terdoktrin dan membenarkan pernyataan yang menganggap remeh pendidikan bagi perempuan, khususnya di kalangan pedesaan yang masih minim ilmu mengenai kesetaraan gender. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang akhirnya memutuskan untuk berhenti sekolah.
Memang tidak bisa dipungkiri jika anggapan perempuan nantinya akan mengurus rumah tangga tersebut benar, namun yang jadi permasalahannya di sini adalah pemikiran mengenai pendidikan yang dianggap tidak penting untuk perempuan.
Pendidikan tinggi sangat penting bagi perempuan maupun laki-laki untuk mengubah cara dan pola pikir. Khususnya untuk perempuan, pendidikan ini penting baik nantinya mereka akan berkeluarga atau berkarier, karena perempuan lah yang nantinya akan melahirkan generasi penerus bangsa.
Adanya pepatah 'ibu adalah madrasah pertama bagi seorang anak', hadir karena ibu lah yang memiliki lebih banyak waktu mendidik dan membesarkan si anak daripada seorang ayah. Inilah mengapa pendidikan bagi perempuan tidak bisa kita anggap remeh, karena akan berpengaruh pada kecerdasan anak.
Bukti dari studi yang dilakukan oleh Medical Research Council Social dan Public Health Science, berupa serangkaian wawancara terhadap 12.686 orang berusia 14 sampai 22 tahun. Dapat disimpulkan, jika prediktor kecerdasan anak adalah IQ ibu mereka.
Dampak Subordinasi Perempuan
Berikut ini dampak subordinasi terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat sekitar, diantaranya : Pertama, akibat dari adanya kasus subordinasi perempuan ini, masih banyak perempuan di luar sana yang tidak mendapatkan kesempatan untuk berkarya dan berekspresi sesuai dengan kemampuan mereka.
Kedua, penurunan rasa percaya diri. Subordinasi perempuan juga berpengaruh pada optimisme perempuan untuk bisa menyamakan kedudukan dengan laki-laki, karena adanya budaya patriarki yang masih sulit untuk dihilangkan.
Ketiga, perempuan rentan jadi korban kekerasan. Bisa kita lihat dari banyaknya kasus KDRT yang terjadi, karena anggapan bahwa perempuan berada di bawah laki-laki. Hal ini pastinya akan berdampak pada trauma psikologis maupun fisik.
Berdasarkan data oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KEMENPPPA) pada tahun 2022, angka kekerasan dalam rumah tangga mencapai 57,5% yang terjadi pada istri maupun anak perempuan. Selain kekerasan dalam rumah tangga, pekerja perempuan juga rentan mengalami kekerasan seksual.
Keempat, perempuan yang tidak bekerja akan ketergantungan ekonomi pada pasangannya, sehingga posisinya menjadi lemah. Hal ini juga bisa menjadi faktor penyebab adanya kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam kasus subordinasi perempuan, bisa kita lihat jika kedudukan antara perempuan dan laki-laki menjadi tidak sejajar, namun terjadi secara vertikal. Kedudukan laki-laki berada di atas dan perempuan di bawah.
Jika terus dibiarkan, ketimpangan kekuasaan antara laki laki dan perempuan bisa melanggengkan kekerasan berbasis gender, kekerasan seksual, bahkan adanya perdagangan manusia, dan juga bentuk-bentuk ketidakadilan yang bisa merugikan kehidupan korban.
Hal ini berarti kasus subordinasi perempuan di Indonesia masih menjadi suatu permasalahan serius dan membutuhkan penanggulangan khusus, agar perempuan mendapatkan keadilan serta kedudukan yang sepantasnya di tengah masyarakat.
Meskipun kasus tersebut bukanlah hal yang mudah untuk diminimalisir ataupun dihapuskan. Namun, seiring perkembangan zaman dan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan gender, diharapkan suatu saat permasalahan mengenai subordinasi perempuan ini dapat terus berkurang.