Kita tak bisa bicara atas nama Tuhan sebab yang diutamakan pada masa kini adalah kemanusiaan itu sendiri. Beriman itu indah tapi berpikir untuk kebersamaan itu penting, melihat timbulnya ijtima abal-abal atas nama negara yang rupanya diisi tim sukses politik membuat publik semakin khawatir. 

Kita tak butuh ijtima sebab yang kita butuhkan adalah pemikiran bagaimana agar bangsa ini maju kedepannya. Berhentilah membawa-bawa nama Tuhan dan Agama dengan Ijtima sebab tak kan ada gunanya.

Agama tidak memiliki urusan dengan negara begitu juga dengan Tuhan, ketika manusia diciptakan Tuhan maka segala urusan bagaimana bagaimana manusia itu hidup ada pada diri setiap individu. 

Bila Tuhan menciptakan Adam dan Hawa, maka Tuhan memiliki tanggung pada triliunan generasi yang lahir setelah Adam dan Hawa. Kalau kita pakai logika ekstrem secara total memang iman yang kita miliki belum siap untuk menerima, membaca Nietzsche saja kita pada awalanya bisa sesak nafas apalagi bila kita disodorkan pemikiran anti keimanan.

Orang Jepang tidak mempercayai agama tetapi soal prinsip kemanusiaan jangan pernah ditanyakan, hape terletak di pasar Jepang misalnya ketika seseorang menjenguk balik hapenya masih ada dan tidak hilang, sementara di negara kita apalagi wilayah Medan, sepeda motor di parkir dengan diawasi CCTV saja dalam waktu 30 detik bisa hilang.

Tuhan akan terus mencipta, dan pluralisme akan terus ada yang artinya ciptaan tidak hanya satu monoton melainkan beragam dengan aneka macam bentuk. Sudah ada malaikat yang berdoa dan beribadah sepanjang waktu lalu mengapa Tuhan menciptakan manusia? 

Karena Tuhan ingin perbedaan dan tidak hanya kepastian sebab ada eksperimen yang berimprovisasi untuk menunjukkan bahwa manusia memiliki kuasa untuk menentukan langkah yang akan ia jalani.

Kita tak bisa hidup untuk mementingkan satu agama di negeri ini karena ada banyaknya keberagaman, banyaknya keberagaman menunjukkan kayanya suatu negara dari segi budaya. 

Dan orang yang sembarang memakai agama dan sembarang memakai nama Tuhan dengan mengadakan ijtima adalah orang dungu yang tak maju mempelajari Pancasila.

Jangan sampai ijtima bertopeng intoleransi terus menjalar dan menjadi penyakit di negeri ini karena akan hancur jadinya bila generasi kita ditakuti dengan dalil-dalil ekstrem yang berasal dari ego teologi semata bukan dari hasil pemikiran yang rasional. 

Ijtima tidak memiliki kedalaman pemikiran dan hanya berpura-pura membawa nama agama namun sebenarnya isinya kekerasan semua. 

Pemerintah diharapkan tegas terhadap ijtima jangan sampai tertinggal dan membiarkan paham-paham mengatasnamakan Tuhan yang rupanya menjadi peperangan hadir di negara ini. 

Indonesia butuh inspirasi dan gagasan, bukan iman yang sembarang mengatasnamakan Tuhan, sebab Tuhan telah lepas tangan dalam arti mengerti dan percaya serta sadar akan kedewasaan kemanusiaan yang ada pada diri masing-masing individu secara cerdas. 

Semakin berbeda maka akan semakin baik, dan kebaikan itu hadir dari lahirnya suatu perbedaan. Stop ijtima abal-abal dan upaya ideologi sosialisme secara utama demi lahirnya generasi cerdas nan manusiawi.

Manusia adalah ukuran bagi segala sesuatu dan waktu kita di dunia ini sangat sedikit dan berbicara perihal Tuhan adalah pemborosan waktu. 

Tidak ada waktu yang panjang dan sulitnya mencapai kesempurnaan, apalagi yang menjadi bahagia adalah ketika kita merasa suci sementara yang lain adalah kafir, pemikiran itu adalah masalah yang harus diantisipasi dan tak harus ada. 

Hentikan perasaan merasa suci dan mulai membenahi diri dengan kebaikan-kebaikan yang dasar saja, tak usah memikirkan surga dan neraka, masuklah kedalam inti kemanusiaan saja dulu yang menjadi prioritas fokus kebangsaan.

Jennifer James, dalam bukunya Thinking ini the Future Tenar, menyatakan bahwa untuk memahami masa depan atau sesuatu yang belum pernah dialami, seseorang memerlukan suatu keterampilan inti untuk memahami, yaitu dengan kesediaan melihatnya dalam perspektif.

Perspektif memungkinkan seseorang untuk berpikir jernih, dapat memilah-milah bagian yang positif dan negatif. Perspektif juga memungkinkan seseorang untuk melihat bagian-bagian dalam satu kesatuan, dan membantu untuk secara akurat menginterpretasikan berbagai masalah yang ingin diketahui. Demikian betapa perlunya perspektif dalam kehidupan kita, bukan ijtima.

Inilah dasar pemikiran yang kiranya jelas dan terang secara rasionalitas di depan mata kita. Publik kita sebaiknya jangan disodorkan dengan ijtima-ijtima sebab ijtima rentan dengan lahirnya kegaduhan, kebencian serta peperangan antara mayoritas dengan minoritas. 

Ketika kita membicarakan kebangsaan, maka bicaralah perihal kemanusiaan bukan dengan membawa ketakutan berupa azab neraka dan laknat tuhan.

Dalam hal ini kita sesungguhnya memiliki kendali terhadap rasa cemas, khawatir, dan emosi negatif lainnya, yaitu jika kita bisa mengendalikan interpretasi secara aktif. 

Dengan demikian, kita bisa menginterpretasi sebuah peristiwa secara rasional, sesuai dengan nature manusia untuk menggunakan nalar kita.

 Jika kita tidak menggunakan nalar, maka kita tidak ada bedanya dengan binatang. Bagaikan kucing yang dipegang oleh orang tidak dikenal, maka secara insting kucing tersebut berniat mencakar karena menganggap orang itu sebagai ancaman.