Dari mana segalanya berasal? Apa hakikat realitas? Bagaimana tingkah laku alam semesta?
Itu adalah suatu rentetan pertanyaan yang kerap kali muncul dalam peradaban dan manusia selalu berhasrat terus mencari sebuah finalitas kebenaran. Dengan apa manusia mulai menjawab pertanyaan yang sebegitu sulit?
Pada pokok ajaran Auguste Comte tentang tiga tahap perkembangan manusia dan sifatnya tetap sebagai hukum, yaitu; (1) zaman teologis (2) zaman metafisis dan (3) zaman positif.
Masing-masing dari tahapan tersebut memiliki satu diskursif tentang kebenaran yang final akan realitas yang berbeda. Teologis dengan kuasa adikodrati, matafisis dengan konsep abstraksi dan positif dengan obsevarsi-eksperimental. Semua itu demi mencari suatu kebenaran final dari realitas.
Mengapa kita mati-matian membela atau menghendaki kebenaran final itu? Apakah dengan mencari yang benar dan meninggalkan yang salah, kita hanya akan memisahkan realitas? Begitulah pertanyaan yang muncul pada Nietzsche bagi kita yang berhasrat terus ingin mencari kebenaran.
Realitas bagi Nietzsche
Bagi Nietzsche, manusia bekecenderungan ingin membuat dunianya dalam suatu tatanan konseptual yang telah di-fixed-kan sehingga dengan itu manusia terus mencipta realitasnya sendiri.
Nietzsche sendiri -sebagai seorang filsuf kontradiktif- beranggapan bahwa realitas itu apa adanya, realitas itu kontradiktif (benar dan salah), chaos dan tidak boleh terpisahkan. Jika kita menerima atau meyakini realitas setengah-setengah dan memegang teguh nilai-nilai kebenaran, maka itu akan membunuh realitas itu sendiri.
Kaum teistik mencoba mencari pencarian terhadap kebenaran ultima dan mencoba untuk menghacurkan kekeliruan, maka hal itu akan membunuh realitas sehingga kita tidak lagi menerima realitas yang apa adanya lagi.
Sehingga dengan itu orang-orang yang tidak mampu menerima realitas apa adanya adalah orang yang membutuhkan pegangangan (kepercayaan). Merasa takut akan realitas yang paradoksal yang campur aduk sehingga manusia berhasrat untuk bersandar pada sesuatu yang diluar dari dirinya untuk terus bertahan hidup.
Sesungguhnya realitas itu chaos, beragam, kontradiktif, benar dan salah, serta perang dan damai. Namun sesuatu yang telah dikonsepkan dari representasi hasil identifikasi realitas sehingga menjadi fixed maka akan berdampak pada kekeliruan cara pandang realitas yang apa adanya.
Namun bagaimana kita harus berhadapan dengan realitas? Nietzsche menganjurkan untuk terus berada diatas permukaan dari jurang terdalam realitas. Artinya dengan menyadari adanya batas-batas pada realitas maka kita akan memperlihatkan suatu sikap kehati-hatian terhadap realitas.
Nietzsche memberi contoh bagaimana bersikap di depan kebenaran : “Oh, orang-orang Yunani! Mereka tahu bagaimana hidup. Hidup menuntut keberanian untuk berhenti di permukaan, di lipatan, di kulit luar; pemujaan kepada apa yang tampak, kepercayaan pada bentuk-bentuk, bunyi-bunyian, kata-kata, kepercayaan pada seluruh penampakan olympos. Orang-orang Yunani itu superfisial – secara mendalam!” (Kata pengantar The Gay Science).
Orang Yunani prasokratik tidak termasuk dalam dekaden karena tidak masuk dalam realitas terdalam. Mereka –orang Yunani- mentransformasikan jurang realitas terdalam pada seni (Tragedi) justru sebagai bentuk ekspresif dari pengetahuan dari realitas terdalam.
Kredo Saintisme
Bila manusia pencerah bermimpi bahwa dengan sains mereka terbebaskan dari takhayul kaum teisme dan metafisika, menurut Nietzsche itu hanyalah sekadar sebuah angan-angan. Manusia yang mengklaim dirinya pencerah masih sama gelapnya dengan kaum teis dan metfisika.
Nietzsche mengumpamakan sains sebagai sebuah cite (kota berbenteng) yang dijaga oleh polisi keyakinan. Untuk masuk ke cite saintifik maka akan digeledah oleh polisi penjaga untuk melepaskan semua keyakinan atau paling tidak merendahkan keyakinan hanya sebatas hipotesa layak uji. Karena pada cite saintifik memiliki kebenaran objektif maka semua keyakinan yang sifatnya psikologis-subjektif tidak akan diperbolehkan masuk dalam cite saintifik.
Begitulah gambaran Nietzsche terhadap sains. Yang menjadi bahan diskusi disini adalah benarkah sains terlepas dari segala bentuk kepercyaan psikologis-subjektif? Atau barangkali apa yang selama ini ditinggalkan sains merupakan bentuk kepercayaan baru?
Seperti yang telah dijelaskan diatas tentang tahap perkembangan manusia melalui tiga tahap dari filsuf positif Auguste Comte bahwa manusia telah meninggalkan bentuk keyakinan teistik dan metafisik menjadi positif dan ilmiah sehingga akan terlihat sebagai manusia yang superior.
Dalam hal ini terdapat masa perkembangan manusia, pertama manusia memerlukan kepastian dari sebab awal dan akhir di luar dari dirinya (teisme) dan kedua manusia mulai teremansipasi dari segala bentuk kepercayaan untuk menjelaskan sebab awal dan akhir lebih rasional dan objektif-eksperimental.
Kaum saintisme yang berupaya melepaskan belenggu mitos pada manusia menjadi lebih ilmiah di hadapan alam semesta dan umat manusia justru akan melahirkan mitos yang baru pula.
Sains selalu ingin mencoba mencari suatu kebanaran final dengan harga apapun yang akan di bayar. Dari sini akan terlihat bahwa sains telah meninggalkan prinsip ilmiahnya sendiri dan kembali pada kepercayaan psikologis-subjektif yang bersembunyi didalam dirinya.
Nietzsche memberikan label moral pada kaum saintisme “kehendak tidak mau salah” dan “kehendak akan kebenaran apapun harganya”. Saintisme mengambil sikap moral deontologis bahwa sains sendiri memiliki ambisi untuk mencari kebenaran karena itu suatu kewajiban.
Upaya untuk menciptkan realitas yang tidak utuh dan setengah-setengah –menolak realitas chaotik, abu-abu, plural- membuat sains masuk dalam sikap deontologis yang menyatakan “kenapa selalu ingin mencari kebenaran?” karena “sudah sehatusnya”.
Dengan begitu sains terjebak dalam sikap akan kebutuhan untuk percaya yang memanifestasikan dirinya dalam kehendak akan kebenaran.
Kaum saintisme yang selalu ingin menjawab segala bentuk pertanyaan metfisis dan psikologis dengan metode matematis dan eksperimental membuat sains menjadi serupa dengan filsafat.
Sains membutuhkan sesuatu untuk bersandar yang notabenenya kebutuhan akan sandaran itu menurut Nietzsche adalah sebuah sikap dekaden dan untuk itu mereka dapat terus melangsungkan hidupnya.
Kemajuan dominasi kehendak akan kebenara sains yang ditandai dengan hadirnya hukum alam dan teknis bukan lagi dihadapakan pada alam namun dominasi terhadap sesamanya.
Sumber:
A. Setyo Wibowo. 2017. “Gaya Filsafat Nietzsche”. KANISIUS: Yogyakarta.