Judul di atas sangat menggambarkan kebingungan untuk generasi Millenial, Z, bahkan Alpha pada masa depan. Sebenarnya nenek moyang kita (bangsa Indonesia) pelaut atau petani, sih? Jawaban ini mungkin dapat dibuktikan dengan sedikit kajian penulis tentang epigrafi dan sejarah bukti peninggalan yang berupa prasasti di masa Kerajaan Sriwijaya maupun Majapahit. 

Masalah utama masyarakat Indonesia dari masa lampau hingga sekarang ialah tidak suka membaca dan tidak suka menulis. Jam untuk membaca dan karya tulis juga sangat kurang secara studi historis maupun arkeologis. 

Dampaknya ialah Indonesia menjadi tidak memiliki data arkeologis maupun sejarah yang dapat dan bisa diakui walaupun memiliki kebudayaan yang sangat luhur di masa lampau. 

Beberapa sejarah Indonesia bahkan hampir tidak diketahui karena orang-orang Indonesia tidak pernah mencatatkan kehebatannya dalam sejarah bahkan catatan-catatan yang terbaru misalkan tentang Kerajaan Majapahit. 

Kerajaan ini  salah satu kerajaan terbesar di nusantara yang ironisnya hampir tidak memiliki catatan tertulis—hanya dua kitab saja itu pun penuh dengan mitos. Tapi sebenarnya, kita punya kekayaan arkeologis maupun sejarah maritim Indonesia—pada masa lampau masih Nusantara tentu— yang sangat besar dari Prasasti Kedukan Bukit di Kerajaan Sriwijaya dam Prasasti Canggu di Kerajaan Majapahit. 

Indonesia sendiri memiliki peradaban Agung di masa lampau. Indonesia memasuki zaman sejarah di era Kerajaan Kutai yaitu ketika adanya hubungan dagang antara India dan China yang melalui Selat Malaka sehingga pada area tersebut muncul kerajaan-kerajaan bermotif hinduisme. 

Teori tentang Kerajaan Sriwijaya yang kuat dengan tradisi maritim dibuktikan dengan pusat lokasi dari kerajaan tersebut yang berada di perairan atau tepi sungai. Ini didukung dengan kekuatan dan digdaya yang sangat besar di bidang militer dengan spesifik area maritim salah satu yang terkuat dan handal serta menjadi salah satu poros maritim dunia. 

Kebudayaan yang besar ini dapat diketahui dengan ditemukannya Prasasti Kedukan Bukit di daerah Palembang sekarang. Secara rinci prasasti tersebut berisi sepuluh baris dan baris pada bagian keempat sampai baris ketuju yang isinya di antaranya, yaitu:

Baris keempat, Wulan Jyestha dapunta hyang marlapas dari minanga, baris kelima, tamwan mamawa yang wala dua laksa danan kesa, baris keenam, dua ratus cara di samwau danan jalan sariwu, baris ketuju, tlu ratus sepuluh dua manakna datang di mukha upa (n). 

Secara jelas isi prasasti ini menerangkan akan kegiatan dan tepat waktu maritim dari Kerajaan Sriwijaya secara komprehensif. Pelaut-pelaut pada masa lampau bahkan sebelum ditemukannya tulisan juga sudah berlayar mengarungi samudera di dunia.

Prasasti Kedukan Bukit dari Kerajaan Sriwijaya ini  sendiri terdiri atas sepuluh baris tulisan yang dibentuk dan dipahat pada sebuah batu kali—batuan yang berjenis batuan sedimen yang terbentuk dari pengikisan atau penghancuran batuan beku—berbentuk bundar berukuran 45 cm dengan keliling 80 cm dalam bahasa melayu kuno. 

Adapun, prasasti ini berhuruf Pallawa dalam keadaan yang baik saat ditemukan. Pada seiring perkembangannya, huruf dari Prasasti Kedukan Bukit diputihkan sehingga beberapa di antaranya sudah berubah bentuk. 

Prasasti ini juga sudah diteliti oleh Van Ronkel serta disempurnakan oleh Nicolaas Johannes Krom dalam tulisan beliau pada Hindoe Javaansche Geschiedenis pada tahun 1926 Masehi. Tulisan “Les inscriptions Malaises de Crivijaya” dan “Le Rayoume de Crivijaya” oleh George Coedes juga membuktikan bahwasanya Prasasti Kedukan Bukit ini memang ada dan menjelaskan bangsa Indonesia atau masyarakat nusantara pada masa lampau telah memiliki kebudayaan maritim yang besar dan dikenal oleh dunia. 

Ya, memang sih ada beberapa perayaan besar di masa panen yang menandakan kita juga punya kebudayaan agraris. Banyak seperti Seren Taun untuk masyarakat Jawa Barat, Methik di Jawa Timur, dan Mappadendang di Sulawesi Selatan. 

Akan tetapi tidak menutup mata bahwasanya kebudayaan maritim kita juga besar juga di masa lampau hingga sekarang.

 Hanya saja memang tinjauan atau kajian ini baru ditemukan beberapa prasasti setelah Kerajaan Kutai seperti Kerajaan Sriwijaya. Hal ini disebabkan oleh niat membaca dan menulis masyarakat Nusantara pada masa lampau teramat kecil. Dibuktikan dengan baru ditemukannya Prasasti Kedukan Bukit masa Kerajaan Sriwijaya yang Saya paparkan diatas pada tahun 1920 Masehi oleh C.J. Batenburg. Ini ditulis oleh nenek moyang kita berangka tahun 692 Masehi. 

Padahal sudah dari sebelum tahun tersebut, masyarakat suku bugis berlayar dan menjalin kerjasama atau akrab disebut “diplomasi” pada suku Aborigin di area wilayah Darwin, Australia. Ini juga membuktikan banyak spekulasi tentang negara Indonesia agraris atau maritim. 

Dengan paparan ini dibuktikan bahwasanya secara jelas, nyata, dan komprehensif Indonesia pada masa lampau—dan sudah seharusnya tetap hingga sekarang—tergambarkan dan bercorak maritim. Namun tidak menutup mata juga ada yang memiliki mata pencaharian di sektor agraris di masa lampau. Ini menandakan nenek moyang kita ada di samudera dan sebagian ada di sawah, tapi satu yang pasti laut kita selalu menjadi tolak ukur kejayaan di masa lampau hingga sekarang. Jalesveva Jayamahe, Saudaraku!