Politik adalah hal yang sangat dinamis. Sebagai warga negara yang baik maka kita masyarakat Indonesia, terutama kalangan muda yang akan membentuk Negara Pancasila kita atau bahkan mengubah dunia harus mengamati bahkan kawathir akan gejolak politik di Indonesia.

Selama 71 tahun kita berbangsa dan bernegara, selama itu seperti kata Abdur kita adalah perahu tua yang berlayar tanpa arah. Hal ini seharusnya menjadi sebuah fakta yang mengkawathirkan bagi kita semua. Sudahkah kita sebagai bangsa Indonesia mengerti tentang negara yang ideal? sudahkah kita masyarakat mencoba mencapai NKRI yang sempurna?

Plato dalam bukunya The Republic berbicara tentang negara yang ideal. Sebuah negara dan masyarakat yang terbagi menjadi tiga bagian. Ruler, Soldier dan People. Plato berargumen bahwa sebuah negara yang ideal adalah negara yang memiliki dan menjalankan sistem ini dengan sempurna.

Ruler adalah manusia-manusia yang akan memimpin sebuah negara dalam cakupan memberi keputusan dan mengatur jalannya pemerintahan maka Plato berbicara bahwa mereka, orang-orang yang akan menjadi pemimpin ini harus mempunyai sebuah virtue yaitu wisdom atau dalam bahasa Yunani-nya sophia.

Seorang atau sekelompok pemimpin yang ideal bagi Plato adalah mereka yang mempunyai kapasitas untuk memahami ralitas secara utuh dan seimbang (impartial) lalu mengambil keputusan akan hal tersebut. Marilah kita berkaca kepada masa lalu, apakah pemimpin-pemimpin kita sudah bijak dalam segala putusannya atau mereka memutuskan bahwa kebajikan adalah apa yang mengenyangkan perut mereka dan mengisi rekening bank mereka?

Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat yang ke-16, dengan lantang mengatakan, “Government of the people, by the people, for the people, shall not perish from the earth.” Bukankah hal ini yang seharusnya menjadi acuan bagi para pemimpin? Bukankah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat adalah hakiki negara demokratis?

Pemimpin yang bijak seharusnya menolok keputusan dan kebijakannya dengan hal ini. “Apakah hal ini yang menjadi kepentingan rakyat saya?” Itulah yang DPR, MPR dan segala infrastruktur politik tidak lakukan. Pemimpin-pemimpin negara ini belumlah ideal, mereka belum bijak dalam segala putusannya.

Struktur yang ke-2 dalam buku Plato adalah Soldier. Soldier ini adalah orang-orang yang mempunyai virtue keberanian. Mereka adalah oang-orang yang melindungi negara dari ancaman eksternal maupun internal. Mereka harus memiliki kesediaan untuk melaksanakan perintah mereka dalam menghadapi bahaya tanpa memperhatikan risiko pribadi. Sebuah kesediaan melindungi dan melayani negara adalah hal ideal yang seharusnya para polisi dan tentara NKRI miliki.

Tetapi kita lihat dalam prakteknya para pelindung ini masih sangat jauh dari ideal. Orang-orang yang kita percayakan dengan tugas melindungi dan melayani masyarakat ini bukanlah malah menyalahgunakan kekuasaan yang kita berikan.

Etikus terkenal Erich Fromm pernah berkata, “I love, therefore I am.” Fromm mengubah konsep Descrates tentang “Cogito ergo sum.” Sebagai masalah eksistensi manusia. Bahwa cinta adalah jawaban dari seluruh masalah eksistensi manusia. Terlepas dari apakah Fromm benar, konsep ini adalah sebuah konsep yang indah yang seharusnya dipegang oleh para pelayan dan pelindung negara. Bahwa mereka mengabdi karena cintanya terhadap negara.

Praktiknya para oknum-oknum hukum ini tidak punya cinta terhadap negara yang mereka layani tetapi cintanya terletak di kertas-kertas warna-warni yang dicetak oleh negara. Pelayan dan pelindung negara kita sangat jauh dari ideal.

Struktur yang ke-3 dan yang paling penting adalah People. Kita sebagai masyarakat adalah orang-orang biasa, para petani, pedagang, pekerja kantoran, para businessman, para konglomerat dan mahasiswa-mahasiswi STF Driyarkara.

Plato berargumen bahwa People adalah orang-orang yang percaya dan mengikuti para pemimpinnya tanpa melibatkan kepentingan pribadinya. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang sederhana. Sebuah masyarakat yang ideal adalah sebuah masyarakat yang mampu mengsubordinasi keinginan pribadi untuk tujuan yang lebih tinggi.

Hal ini sangatlah penting untuk kita sadari, bahwa terkadang apa yang lebih baik untuk negara bukan lebih baik untuk kita. Realitas ini sangat relevan terutama bagi para konglomerat dan pengusaha-pengusaha yang “mengatur” kebijakan pemerintah agar kepentingannya tercapai dan mengorbankan kepentingan masyarakat dalam prosesnya.

Fakta ini harus kita anggap serius, kita sebagai masyarakat seharusnya menghargai, percaya dan mengorbankan keinginan kita agar kebahagiaan maksimal dapat tercapai. Kita seharusnya berkaca pada buku John Stuart Mills tentang utilitarianisme, sebuah konsep bahwa apa yang moral adalah apa yang mencapai kebahagiaan terbanyak.

Konsep ini seharusnya kita pegang bukan hanya sebagai prinsip masyarakat kita tetapi sebagai tolok ukur dan kendali yang sangat baik untuk menilai pemerintah, para pelayan dan pelindung negara maupun kita sendiri. Sudahkah masyarakat NKRI memegang teguh prinsip itu? Mengorbankan kepentingan individual untuk kebahagiaan sesama?

Janganlah dulu kita megkritik dan menjelekkan orang lain. Kita seharusnya berkaca kepada diri sendiri dahulu, apakah kita telah hidup sederhana untuk kepentingan bersama? Sepertinya pertanyaan ini penting untuk dipikirkan. Kira-kira begitulah bunyinya....