Kita selalu mengenal Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia. Sejak duduk di Sekolah Dasar hal tersebut telah diajarkan kepada siswa-siswi. Kemudian kita akan mengenal tanggal 1 juni sebagai hari lahirnya Pancasila.
Hari lahirnya Pancasila tersebut berdasarkan patokan pada hari di mana Pancasila sebagai negara pertama kali dirumuskan dalam pidato Soekarno pada sidang BPUPKI. Selanjutnya, Pancasila disahkan sebagai Dasar Negara pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Sejarah Pancasila sebagai Dasar Negara tidak sesingkat itu. Mungkin kita lupa atau tidak terlalu lekat di dalam ingatan kita bahwa sebenarnya Pancasila pada tanggal 18 Agustus tersebut masihlah bersifat sementara. Saat itu Pancasila telah menjadi Dasar Negara Indonesia, tapi masih bersifat sementara dan darurat.
Hal ini karena saat itu Negara Indonesia yang baru terbentuk hendaklah memiliki Dasar Negara. Hal itu adalah sebagaimana dinyatakan Soekarno dan dibenarkan oleh Peserta sidang PPKI saat pengesahan Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia pada 18 agustus 1945.
”Nanti apabila Indonesia sudah dalam keadaan tenang dan damai, kita akan membentuk kembali Dasar Negara yang lebih baik lagi....”(hal: 36)
Hal tersebut sebelum akhirnya Pancasila resmi menjadi Dasar Negara yang tidak lagi bersifat sementara dan darurat. Dengan munculnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno, Pancasila tidak lagi bersifat sementara.
Sebelum itu, masa pada tahun 1957 sampai dengan tahun 1959 merupakan masa pengkajian kembali Dasar Negara Indonesia. Yang mana ada masa tersebut dibentuk Majelis Konstituante yang harus menentukan Dasar Negara dan Konstitusi Indonesia.
Buku Islam Sebagai Dasar Negara adalah kumpulan pidato yang disampaikan oleh Mohammad Natsir di dalam sidang konstituante untuk menentukan Dasar Negara Indonesia. Mohammad Natsir sendiri dalam pidato-pidatonya tersebut mendukung Islam sebagai Dasar Negara Indonesia.
Hal ini tidak mengherankan jika kita latar belakang pendidikan maupun politik Natsir. Untuk memahami hal tersebut, mengenai Mohammad Natsir sendiri sedikit diberikan penjelasan dalam buku ini. Kholid O. Santosa dalam pengantarnya mengatakan, “Tokoh ini telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk bangsa Indonesia dan Umat Islam dunia.”(hal: 11)
Dalam buku ini Menganggap bahwa Islam bukanlah hanya sebagai agama yang mana harus ditaati oleh semua penganutnya. Islam tidak hanya dipandang sebagai sebuah ritual peribadahan saja. Akan tetapi, Natsir mengangga Islam juga sebagai sebuah ideologi.
Sebagai sebuah ideologi, Natsir percaya bahwa ideologi Islam bisa membawa Indonesia menjadi Negara yang lebih baik lagi. Hal ini tentu tidak lepas dari identitas sebagian besar masyarakat Indonesia yang merupakan umat Islam. Dengan begitu, Natsir menganggap bahwa ideologi Islam merupakan hal yang paling cocok untuk masyarakat Indonesia.
Selain itu, Natsir juga menekankan bahwa agama Islam tidak hanya mengatur tentang hubungan manusia dengan Tuhan saja. Akan tetapi, Islam juga mengatur hubungannya antara manusia dengan manusia lainnya dimana hal tersebut mengatur entah perorangan, kelompok dan sebagainya. Dengan begitu, Islam menjadi Ideologi yang antas dan bisa digunakan sebagai Dasar Negara Indonesia.
“Islam adalah suatu agama yang hidup dalam sebagian besar rakyat Indonesia. Bukan hanya itu saja, Islam adalah ideologi. Islam bukan semata-mata satu agama dalam arti hubungan manusia dengan Tuhan, Islam mengandung dua unsur. Unsur hubungan manusia dengan Tuhan-nya, dan unsur hubungan manusia dengan makhluk. Unsur Ibadah dan Muamalah.” (hal: 88)
Buku ini mampu membuat kita membayangkan situasi perdebatan yang ada saat itu. Tampaknya ini karena isi dari buku merupakan asli isi dari pidato Mohammad Natsir saat itu. Sehingga bahasa yang digunakan merupakan bahasa pidato dimana bagaimana panasnya pidato yang disampaikan Mohammad Natsir saat itu terasa dengan penggunaan kata-katanya.
Selain itu, pemikiran yang disampaikan Natsir dalam buku ini meskipun berupa argumentasi yang digunakan untuk mendebat idologi lai sebagai dasar negara. Akan tetapi, tidak berusaha untuk menjatuhkan ideologi lain. Malah berusaha untuk merangkul ideologi lain. Hal ini mungkin karena Natsir menyadari perbedaan-perbedaan pandangan yang ada disana saat itu. Sehingga Natsir tidak memaksakan pandangannya, atak tetapi mencoba untuk merangkul pandangan lainnya.
Namun, Natsir dalam buku ini terkesan terlalu memandang agama dan sekuler sangat bertolak belakang. Hal ini tentu wajar saja terjadi untuk menegaskan argumentasinya. Natsir terlalu menganggap sekular sebagai paham yang tidak berketuhanan.
Kesan sekular bagi Natsir bukan hanya pemisahan antara kehidupan agama dan pemerintahan negara. Tapi bahkan terkesan menuduh sekuler ateis, tanpa agama. Hal ini bisa dilihat dari salah satu sub judul yaitu: Pancasila yang Sekuler, Tanpa Agama. (hal. 81-86)
Selain itu, argumentasi Mohammad Natsir juga lebih condong berupa argumen-argumen yang bersifat keagamaan. Hal ini terlihat dari begitu banyak Natsir mengutip Al-Qur’an dan juga istilah-istilah Islam. Hal ini tentu membuat kalangan bukan Islam cukup sulit untuk menerima argumentasi dalam buku ini. Islam merupakan agama yang tentunya hanya dipercaya oleh para penganutnya saja. Sedangkan penganut agama lain akan kesulitan menerima argumen itu karena mereka tidak memiliki kepercayaan tersebut.
Disaat Mohammad Natsir dalam buku ini begitu ketat dengan pandangan bahwa Islam sebagai dasar negara, kita bisa melihat pandangan lain pada Nanang Tahqiq (ed.) (2004). Nanang Tahqiq menawarkan bahwa muslim hendaklah menafsirkan ulang apa yang mustinya dilakukan dalam kancah perolitikan.
Dia memandang tidak harus ada negara Islam atau negara berlandaskan dasar negara Islam. Hal ini dinyatakan dengan adanya empat elemenyang mendukung hal tersebut yang musti ditafsirkan ulang. Hal tersebut adalah : ajaran islam, sejarah awal Islam, wacana intelektual Islam, dan negara dalam pratik politik Muslim.
Betty R. Scarf dalam Sosiologi Agama (2004), memberikan kasus yang mirip di mana agama tidak seharusnya dijadikan dasar sebuah negara. Dalam buku ini memandang bahwa perkembangan politik menuntut keras adanya universalitas pada sebagian komunitas keagamaan. Hal ini tampaknya dalam upaya untuk menyatukan berbagai pandangan keagamaan tersebut.
Selain itu, hal lain yang membuat agama tidak seharusnya menjadi dasar negara datang dari pandangan Marx dimana menurutnya agama merupakan mendukung adanya kelas dalam masyarakat. Dalam beberapa contoh bahwa para penguasa mengakui kepercayaan mereka untuk mempertahankan tatanan sosial yangtidak sama. Maka baginya “kepercayaan terhadap agama yang mendukung masyarakat berkelas pada dasarnya merupakan bukti penyerahan ketika menghadapi penindasan”(hal: 127).
Kuntowijoyo (1997) tidak menggap Pancasila sebagai tidak bertuhan sebagaimana anggapan Natsir. Kuntowijoyo memandang Pancasila sebagai Objektivikasi yang merupakan penerjemahan nilai-nilai Internal kedalam kategori-kategori objektif.
Objektivikasi ini selanjutnya bisa menghindarkan dari sekularisasi dan dominasi. Bahkan, menurut pandangan Kuntowijoyo Pancasila memiliki nilai relijius. Yaitu poin pertama Pancasila menggambarkan kekuasaan digambarkan dibawah Tuhan. “Keunikan Pancasila adalah kekuasaaan itu diletakkan dibawah Tuhan dan rakyat.”(hal: 61)
Maka saya masih tidak bisa setuju jika berkaitan dengan argumentasi isi dari buku ini bahwa Islam sebagai dasar negara. Hal ini karena secara argumentatif bahwa gagasan dasar Natsir menjadikan Islam sebagai dasar negara masih bisa terbantahkan seperti yang sudah dijelaskan diatas.
Saya lebih setuju dengan pandangan yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo tersebut. Dimana Pancasila bukanlah sebuah ideologi yang sangat sekuler. Bahkan sekuler dalam arti tidak beragama. Pancasila merupakan ideologi yang beragama, berketuhanan seperti yang tertera dalam point sila pertama yatu: Ketuhanan yang Maha Esa. Maka kekuasaan akan berada posisinya dibawah Tuhan, bukan tidak bertuhan.
Namun, saya tetap mengapresiasi Islam Sebagai Dasar Negara sebagai sebuah buku yang sangat baik dalam mengajarkan untuk berargumen secara rasional dalam mempertahankan apa yang kita yakini. Hal ini berbeda dengan yang kerap kali kita temukan hari ini.
Seringkali terjadi perpecahan, perdebatan terkait agama, ideologi dan sebagainya secara asal-asalan. Terlebih di media sosial kita bisa melihat perdebatan tanpa argumentasi yang rasional bahkan cenderung banyak penghujatan. Perpecahan juga sering menyebabkan terjadinya kekerasan yang seharusnya tidak terjadi. Buku ini juga sangat baik sebagai pengingat bahwa Pancasila sebagai dasar negara memiliki sejarah yang panjang dan berliku.
DAFTAR PUSTAKA
Natsir, Mohammad. 2014. Islam Sebagai Dasar Negara. Bandung: Sega Arsy
Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Penerbit Mizan
Scharf, Betty R. 2004. Sosiologi Agama. Jakarta: Kencana
Tahqiq, Nanang (ed.). 2004. Politik Islam. Jakarta: Kencana