Dalam beberapa kesempatan, saya sering kali memperhatikan nuansa nasionalisme di perkampungan yang tampak begitu asli (nasionalismenya). Rasa kebangsaan yang harus terus dan layaknya terus terjaga serta dijadikan panduan dalam mengembangkan konsep-konsep nasionalisme untuk beberapa tahun ke depan. Sebuah konsep yang bisa menjadi landasan paradigmatik dalam rangka menjadikan ajaran warisan founding father bangsa ini ke arah yang lebih membumi dan aktual.
Kita mungkin sulit untuk membayangkan, bahwa konsep nasionalisme sejauh ini mungkin hanya jadi sekedar jargon bahkan kedok untuk menunjukkan seolah kecintaan terhadap nusa dan bangsa. Onani wacana dilakukan di seminar, work shop, talk show dan forum diskusi lainnya seputar nasionalisme, hingga melupakan fakta dilapangan terutama daerah yang jarang tersentuh oleh rentetan seminar dan beragam jenisnya itu.
Perspektif nasionalime atau cinta tanah air dengan rasa persatuan di desa-desa terpencil begitu sederhana namun sangat modern dan realistis. Aplikasinya benar-benar berjalan, dengan lahirnya kerukunan dan kerja sama multi-level antar sesama umat beragama. Agak berbeda dengan realitas di kota yang jargon nasionalime dengan mudah temukan di berbagai simposium, namun kerukunan antar umat beragama rentan terimbas isu SARA yang menyulut konflik.
Situasi politik dan pesta demokrasi kebebasan, telah melahirkan beragam goncangan yang cukup memprihatinkan. Sebuah realitas yang sangat miris mengingat nuansa konsep nasionalisme di kota begitu antusias diwacanakan. Sementara di pedesaan yang masih belum tersentuh oleh tetek bengek teori itu, nasionalisme bergerak secara kultur, melahirkan fakta nasionalisme yang begitu nyata.
Nasionalisme Mandul
Kontradiksi dua fakta di atas, dapat kita cari celah masalahnya pada mandulnya konsep nasionalisme saat ini. Onanni wacana seputar nasionalisme yang terjadi di perkotaan merupakan bukti bahwa sejauh ini aktualisasi teoritis belum mampu memberikan kontribusi terhadap pembentukan masyarakat yang damai dan kebal terhadap isu rasis. Kesan elitis masih terlalu dominan hingga menghambat terbumikannya konsep nasioanalisme ke garis akar rumput.
Hal ini terbukti, karna simposium nasionalisme masih saja melibatkan akademisi serta aktivis-aktivis elit yang lebih senang dengan tatanan teori-sentris. Tidak adanya aksi-aksi lapangan yang secara pro-aktif menjajaki tiap jengkal kasus rasis dan upaya resolusi konflik yang terus mengancam.
Kemandulan ini terjadi karena beberapa kemungkinan. Salah satunya adalah tidak ditemukannya sebuah kerangka paradigmatik dalam upaya membumikan nasionalisme ini sebagai sebuah sistem pembangunan masyarakat secara kultur maupun struktur. Nasionalisme sejauh ini hanya dicitrakan sebagai sebuah pola pandang yang harus diterapkan dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan di tengah pluralitas ras, agama dan bahasa yang ada di Indonesia.
Pola persatuan dan kesatuan secara teoritis telah selesai di Indonesia, faktanya paling tidak adalah masih utuhnya identitas negara hari ini bersama kompleksitas suku dan agamanya. Kalaupun ada gerakan-gerakan masa yang mencoba merongrong persatuan dengan sendirinya berhadapan dengan mayoritas masa yang memiliki cita-cita persatuan sebagai warna dominan di negeri ini.
Dan perlu juga diketahui, bahwa gerakan-gerakan sempalan yang mengancam keutuhan NKRI selama ini merupakan wujud dari mandulnya nasionalisme selama ini. Orientasi paradigmatik yang belum berubah telah melahirkan konsep nasionalisme yang sia-sia. Paradigma sempit nasionalisme yang hanya mengenai keniscayaan persatuan di dalam pluralitas komponen bangsa menjadi tidak bermakna apa-apa jika pembangunan multi level tidak menjadi agenda penting.
Lahirnya konflik yang berakar dari SARA merupakan sebuah bukti kekecewaan rakyat terhadap ketidakmerataan pembangunan di negeri ini. Serta rangkaian koreksi rakyat yang belum bisa terpenuhi secara maksimal oleh pemerintah. Akibat logisnya adalah, lahirnya beragam gerakan aspiratif yang mencoba mengoreksi bangsa dengan mengusung nalar partikular, karna gerakan ini menganggap bahwa pemerintah tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana mestinya dalam mengatur pembangunan.
Kiranya jelas sudah, bahwa kebuntuan nasionalisme kita akibat mandeknya epistemologi. Pembicaraan nasionalisme yang hanya berkutat pada tataran opini seputar persatuan dan kesatuan jelas tidak melahirkan apapun kecuali teori seputar integritas kebangsaan. Karna persatuan serta beragam derivasinya hanya akan tercapai bila pembangunan multi level terealisasi dengan baik. Jika tidak, maka nasionalisme hanya akan menjadi jargon belaka.
Reorientasi Nasionalisme
Kali ini saya hendak mengajak kaum elit untuk memperhatikan nuansa nasionalisme konkrit sekaligus paling relevan yang berkembang secara kultur di pedesaan. Penjelajahan ini menjadi begitu penting mengingat akar kemandulan nasionalisme di negeri ini adalah karna terlalu asiknya kita bermain dalam poros yang tidak produktif dalam pembangunan bangsa.
Saya sering teringat pada sebuah kalimat sederhana setengah kocak terkait nasionalisme sewaktu diberi kesempatan untuk menghadiri sebuah seminar kepemudaan yang diadakan oleh Lazuardi Birru pada tahun 2013 lalu di Ci Bubur, Jakarta Timur. Seorang pemateri –enah siapa gerangan- mengeluarkan sebuah statement sederhana, kocak sekaligus kritis. Bahwa “nasionalisme tanpa nasi, tidak bermakna apa-apa”. Dalam struktur terma saja, kata nasionalisme bisa dipisah menjadi dua kata nasi dan onal. Tanpa ada terma pertama yang kedua tidak memiliki makna alias sia-sia.
Di pedesaan, masyarakat tidak membutuhkan ulasan radikal seputa nasionalisme. Mereka menerapkan nasionalisme sebagai sebuah tradisi yang mengakar dengan kuat. Persatuan begitu kental dalam balutan solidaritas antar agama yang begitu tinggi. Nasionalisme bergerak secara kultural serta memberikan sumbangsih pada membudayanya tradisi gotong-royong, tenggang rasa dan sebagainya. Nyaris tidak ada konflik dan persitegangan yang berbalut rasis di pedesaan, semuanya bergerak apa adanya.
Namun, meskipun nasionalisme sudah dipraktekkan dengan baik oleh mereka, tetap saja pembangunan infrastruktur banyak sekali yang belum mereka peroleh. Problem ekonomi masih menjadi masalah yang sentral dan belum tersentuh. Mereka bekerja dengan seadanya tenaga dan segenap kreatifitas yang dimiliki tanpa mengetahui pertarungan ekonomi global yang banyak menyengsarakan mereka. mereka juga tidak tahu menahu seputar dinamika birokrasi yang keberadaanya telah memberikan implikasi negatif atau positif terhadap kondisi ekonomi mereka.
Fakta di atas mengabarkan bahwa nasionalisme bagi mereka tidak sepenting sesuap nasi. Nasionalisme telah bekerja aktif dalam tataran kultur bangsa Indonesia. Tradisi gotong royong dan sebagainya merupakan bukti konkrit bahwa nasionalisme secara tidak sadar telah membentuk nalar persatuan bangsa Indonesia sejak dulu hingga hari ini.
Masyarakat perkotaan, dalam spektrum region yang lebih kecil seperti gang-gang, tradisi gotong royong dan solidaritas masih terus dijaga. Hal ini menunjukkan bahwa nasionalisme tidak membutuhkan puluhan simposium dan seminar yang menggerus anggaran negara untuk acara tersebut. Masyarakat hanya perlu direfleksi agar nalar nasionalisme ini lebih tajam dan semakin produktif.
Lompatan Paradigmatik Nasionalisme
Fakta-fakta sebagaimana dipaparkan secara sederhana di atas telah meniscayakan lahirnya pergeseran paradigma nasionalisme yang lebih faktual-produktif untuk konteks Indonesia hari ini. Pergeseran yang berupaya membawa nafas baru bagi cita-cita sekaligus fakta persatuan yang dapat memproduksi sebuah gerakan pembangunan multi level yang lebih baik. Pergeseran yang berupaya memaknai nasionalisme sebagai konsep vital dalam membentuk masyarakat yang berdikari dalam berbagai hal. Nasionalisme yang tidak hanya berputar dalam masalah persatuan yang “lompong” dan tidak produktif.
Sudah waktunya akademisi yang tercerahkan, aktivis yang memihak terhadap amanat penderitaan rakyat serta politisi yang masih memiliki idealisme untuk mulai selangkah lebih maju dalam rangka menjadikan nasionalisme sebagai sebuah agenda penting untuk membangun dan merefleksi potensi masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik.
Dengan menjadikan nasionalisme sebagai nalar pemersatu potensi bangsa, dimungkinkan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan yang selama ini terus diharapkan oleh masyarakat di seluruh negeri. Sudah waktunya merumuskan sebuah strategi dalam rangka merealisasikan nilai-nilai nasionalisme yang lebih rasional ke depannya. Nasionalisme yang pro-aktif terhadap pembangunan multi-sektor nusa dan bangsa.