Membicarakan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang mengadu nasib di luar negeri seolah membicarakan 2 sisi yang bertolak belakang. Satu sisi membicarakan mereka sebagai pahlawan devisa yang membanggakan, tapi di sisi lain membicarakan kemirisan kita atas nasib mereka, terutama PMI yang bekerja di sektor domestik, yang banyak mendapat perlakuan tidak manusiawi dari pemberi kerjanya.
Di antara negara yang menjadi tujuan PMI mengadu nasib adalah di negara tetangga, Malaysia. Menurut BP2MI, jumlah PMI yang berada di Malaysia adalah 3 juta orang, jumlah ini kurang lebih sepertiga dari total PMI di luar negeri.
Ironinya, sekalipun Malaysia merupakan tempat tujuan terbanyak PMI bekerja, namun sejak 31 Mei 2016, Nota Kesepahaman tentang perekrutan PMI sektor domestik dari Indonesia dengan Malaysia (MoU) telah kadaluarsa. Padahal, MoU adalah salah satu perlindungan hukum penting bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.
MoU Malaysia – Indonesia yang sudah berakhir pada 31 Mei 2016 ini, baru pada awal tahun ini masuk dalam tahap penyelesaian perpanjangannya. Sementara sejak akhir Mei 2016, secara terus menerus banyak PMI berangkat ke negeri Jiran. Pemberangkatan PMI ke Malaysia baru berhenti pada Maret 2020 setelah Pemerintah Malaysia memberlakukan pengendalian pergerakan akibat Pandemic Covid-19.
Kita lalu bertanya, bagaimana kita terus memberangkatkan PMI ke suatu negara sementara MoU sudah kadaluarsa sekian lama? Akal sehat kita mengatakan, jika pemberangkatan PMI ke luar negeri tanpa cukup perlindungan hukum, tentu itu menimbulkan risiko besar kepada PMI.
Pertanyaannya, apakah keberangkatan mereka ke negeri Jiran itu karena ketidaktahuan tentang habisnya MoU? atau karena keterpaksaan yang membuat nekat walau penuh risiko?
Mungkin saja sebagian PMI yang berangkat itu tidak tahu tentang MoU. Bukan hanya tidak tahu MoU sudah kadaluarsa, tapi tidak tahu apa itu MoU. Bisa jadi untuk kelompok PMI ini, tidak penting MoU, yang penting adalah bisa bekerja dan mendapat penghasilan layak.
Terhadap PMI yang tidak tahu MoU, keberangkatannya ke Malaysia bisa dimengerti. Namun yang sulit dimengerti adalah, keberangkatan mereka ke Malaysia sejak akhir Mei 2016 itu sebagian besar adalah PMI resmi, yang mendapat ijin dari pemerintah, melalui prosedur resmi.
Kalau pemerintah kita memberikan ijin kepada mereka untuk bekerja di Malaysia, padahal pemerintah pasti sudah tahu bahwa MoU sudah kadaluarsa, bagaimana pertimbangannya ketika memberikan Ijin? Bukankah Pemerintah lebih tahu tentang risiko warga negaranya bekerja di negeri orang jika MoU sudah tidak valid?
Kita tentu mengerti bahwa memperpanjang MoU itu bukanlah hal sederhana. Memperpanjang MoU pasti harus melalui proses negosiasi antar 2 negara yang membuat kesepakatan. Jika salah satu pihak tidak sepakat atas hal yang akan diperjanjikan maka menyelesaikan MoU bisa memakan waktu lama.
Kalau pembahasan MoU dengan Malaysia membutuhkan waktu lama, kenapa sejak Mei 2016 tidak dihentikan saja pemberangkatan calon PMI hingga MoU selesai ditandatangani? Bukankah Pengiriman PMI ke luar negeri tanpa ada MoU yang berlaku berarti pemerintah bisa dianggap membiarkan nasib PMI dalam risiko amat besar.
Sebagai buktinya, banyak peristiwa buruk terjadi pada PMI di sana, seperti penyiksaan fisik, gaji tidak dibayar sampai beberapa tahun, perdagangan orang antar majikan dan perlakuan tidak adil lainnya terjadi.
Sudah bertahun lamanya, Malaysia terus membutuhkan tenaga kerja Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Tenaga kerja Indonesia banyak digunakan di sektor Perkebunan dan juga sektor rumah tangga.
Saat ini sangat sulit dan mahal bagi Malaysia untuk memperoleh tenaga kerja sektor tersebut di pasar tenaga domestiknya. Oleh karena itu, dalam hal ini baik Indonesia maupun Malaysia berada pada posisi saling membutuhkan.
Dengan latar belakang tersebut, maka logikanya perundingan MoU dapat diselesaikan dalam tempo yang tidak terlalu lama. Tinggal pemerintah kita serius melakukan diplomasi dan negosiasi yang mumpuni sehingga MoU yang menjadi sarana perlindungan PMI di Malaysia itu dapat diperoleh.
Masalah lain yang juga pelik dari keberangkatan PMI ke Malaysia adalah PMI yang berangkat semata-mata karena desakan kebutuhan dan didukung permainan para calo tenaga kerja.
PMI yang berangkat karena desakan kebutuhan, alasan utamanya karena lapangan kerja di tanah air belum cukup tersedia, atau hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Bagi kelompok ini, jalan menuju negeri Jiran, tidak hanya dilakukan secara legal, tapi juga menempuh jalan illegal.
Nasib PMI illegal di Malaysia sering amat memilukan. Sejak keberangkatan dari tanah air, tidak sedikit dari mereka menempuh perjalanan berbahaya melintas laut dengan perahu sederhana yang tidak layak. Tidak jarang sebagian harus meregang nyawa karena kecelakaan laut. Setibanya di sana, karena illegal, mereka rentan diperlakukan tidak manusiawi.
Melihat banyaknya dan nasib PMI illegal ini, tentu membuat hati kita teriris. Bagaimana negara besar, seperti Indonesia, yang buminya memiliki kekayaan alam luar biasa, tetapi banyak warganya harus berdarah-darah mengadu nasib, menempuh bahaya di negeri orang.
Dengan cara apa kekayaan alam itu sudah dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyatnya? Bukankah kekayaan alam itu menjadi sumber terbukanya lapangan kerja dan penghasilan layak bagi semua warga negara?
Persoalan yang dihadapi negeri kita adalah kekayaan alam itu belum berhasil dinikmati oleh sebagian besar warga negara. Kekayaan tersebut masih terkonsentrasi pada sedikit warga dan pengelolaannya tidak dilakukan dengan praktik yang sehat. Praktik yang terjadi penuh tipu muslihat, suap-menyuap, kartel dan menimbun keuntungan sendiri.
Kondisi yang demikian, akhirnya membuat masyarakat putus asa. Harapan untuk berpenghasilan cukup, hidup layak dengan masa depan cerah seperti semakin jauh. Ketimpangan sosial menumbuhkan rasa sakit hati dan kemarahan.
Akhirnya, daripada kekecewaan terus berkembang di hati, banyak dari mereka memilih jalan mencari penghasilan dengan mengadu nasib di negeri orang.
Tentu saja keadaan seperti itu tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Adalah tugas kita semua untuk menghentikan situasi seperti itu. Pertama, Pemerintah sebagai pemegang amanat konstitusi untuk menjamin tiap-tiap warga negara memperoleh hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan wajib mengupayakan perbaikan iklim usaha dan ketenagakerjaan. Termasuk memperhatikan perlindungan tenaga kerja. Kedua, masyarakat, termasuk pelaku usaha, wajib melakukan praktek usaha yang sehat, serta mengedepankan kepentingan masyarakat banyak***