Di era digital seperti saat ini, segala hal seolah bertransformasi menjadi serbamudah, instan, dan efisien. Demikian juga dalam dunia perbukuan.
Seperti yang kita ketahui, buku terbuat dari kertas dengan tulisan dan gambar-gambar. Dengan dalih pengendalian lingkungan dan pengurangan penggunaan kertas berbahan baku kayu, makin banyak buku elektronik tersebar secara digital.
Tidak hanya sampai pada perubahan bentuk fisik buku menjadi digital, bahkan kini tersebar perpustakaan digital yang dapat diakses dari mana saja dan kapan saja. Pergeseran ini menimbulkan pro dan kontra bagi sebagian pembaca buku.
Pada bincang-bincang dunia maya, melalui akun-akun jejaring sosial, saya mendengarkan perspektif teman digital saya mengenai perubahan yang terjadi tersebut. Ada yang setuju, tidak terlalu setuju, dan sangat tidak setuju. Pendapat-pendapat tersebut mereka berikan dengan alasan berbeda-beda.
Seperti Wawan (29), seorang teman digital dengan keterbatasan fisik sebagai Skolioser, ia menyatakan setuju mengenai perubahan dan perkembangan buku di era sekarang, sebab dirinya sendiri tidak dapat melakukan perjalanan terlalu lama hanya untuk membeli buku atau membacanya sambil menahan beban buku itu sendiri.
Fisiknya yang dibawa orang kebanyakan membuatnya berpikir jika membaca sesuatu dari ponsel pintarnya di mana dan kapan saja adalah hal yang meringankan jika harus membawa setumpuk buku yang diperlukan.
“Dengan beralihnya ke era digital, kita bisa membuat perpustakaan kita sendiri, membawa ke mana pun buku-buku yang kita mau. Hal tersebut pasti terdengar mustahil berabad sebelum ini, itu sebuah prestasi,” ungkapnya dalam pembicaraan melalui fitur berbalas pesan Whatsapp, Kamis (25/4)
Saya berpikir, apa yang Wawan sampaikan ada benarnya, bagaimana kita dapat membawa ratusan bahkan ribuan buku yang kita mau ke mana saja tanpa perlu terbebani dengan beban fisik buku kertas itu sendiri. Namun, Dewi (22), seorang mahasiswi, berpikir sedikit berbeda dari Wawan, meski dia juga setuju mengenai konsep efektivitas dan kemudahan yang diberikan era digital terhadap pembaca.
“Kadang baca e-book itu bikin bosan dan sering gak sampai habis karena kita malas bukanya lagi, kadang kalo udah pegang HP kita lebih suka lihat Youtube, Sosial Media, atau hal-hal bersifat hiburan, jadi kalo yang bukan virus-virus buku banget, ya pasti lupa juga buat lanjutin bacaannya karena fisiknya gak keliatan,” ujar Dewi di waktu berdekatan dengan saat saya berbalas pesan dengan Wawan.
Dewi mengaku suka membaca buku kertas dan digital, tergantung keperluannya. Jika dia memerlukan waktu spesifik dan keadaan tertentu untuk membacanya, dia akan memilih membaca buku kertas, dan membaca buku digital jika buku tersebut dapat dibaca dan dinikmati dalam keadaan mobile dan tidak terlalu berat sajiannya.
Sedangkan Sharon, seorang pekerja kantoran di Jakarta yang menghabiskan 8 jam dalam sehari untuk bekerja, mengungkapkan kalau dari segi kenyamanan dia lebih menyukai buku kertas karena membaca pada layar digital itu tidak semenyenangkan dibanding membaca buku kertas yang dapat dipindah-pindah halamannya dengan mudah ketika pembaca membutuhkan informasi dari halaman tertentu.
“Kalo misalnya udah baca sampe halaman 20, eh lupa, mau balikin ke halaman awal capek harus scroll. Selain itu, mata juga cape kalo baca digital,” ungkap Sharon.
Kendati demikian, Sharon (24) tidak juga kontra terhadap perubahan digital ini. Dia menginginkan eksistensi buku kertas tidak lantas tergantikan atau bahkan punah di masa depan nanti.
Dari perbedaan pendapat tersebut, sebenarnya generasi ini telah siap menghadapi perubahan digital, akan tetapi masih menginginkan eksistensi dan pengalaman membaca buku kertas seperti seharusnya yang terjadi berabad-abad sebelum kehadiran digital di muka bumi.
Saya sendiri merasa kehadiran digital mengubah kebiasaan membaca buku saya, yang mana jika diingat belasan tahun lalu saya menghabiskan waktu membaca buku kertas, mengulangi bagian-bagian favorit ketika menginginkannya. Kemudian digital datang, dan saya membaca buku-buku digital, namun yang terjadi adalah bacaan saya tidak selesai dan saya jadi kurang berminat untuk memulai baca buku digital.
Kembali ke individu masing-masing, ada yang sudah terbiasa membaca digital, ada yang belum move-on dari buku kertas, bahkan pasti ada juga yang tidak ingin move-on.
Menerima atau belum dapat menerima sepertinya itu hanya masalah waktu, tapi pengalaman membaca buku kertas tidak mungkin dapat tergantikan dengan pembaca menikmati buku digital.
Intinya sama saja, membaca itu baik, dan hal baik tidak perlu dimasalahkan. Kalau kamu sendiri lebih suka membaca buku digital atau buku kertas?