Sadarkah kita bahwa ruang publik telah mengalami privatisasi? Tempat yang seharusnya menjadi ruang di mana seluruh lapisan masyarakat bisa bercengkrama bersama keluarganya, menjadi terganggu oleh deretan sampah visual. Sampah visual yang dimaksudkan di sini adalah iklan ataupun reklame yang menggunakan media luar ruang, seperti baliho kandidat Caleg, pamflet partai politik dan lain sebagainya. 

Tahun 2014 sebagai tahun politik dapat dipastikan menjadi tahun di mana merebaknya polusi sampah visual. Bagaimana tidak, hal ini dapat dirasakan sejak kita membuka pintu rumah, dengan maksud berangkat kerja semisal, deretan gambar dan logo partai politik telah bertebaran di mana-mana sebagai media kampanyenya masing-masing.

Kampanye yang idealnya menjadi media penyampaian visi dan misi dalam membangun demokrasi dan politik yang sehat, menjadi cidera oleh karena pemasangan iklan maupun reklame yang tidak beraturan. Persoalan ini tentunya membuat kita sebagai bagian dari masyarakat turut bertanya-tanya, kepada siapa kita akan mengadu? Dan pihak manakanh yang berwenang dalam menertibkan kegaduhan sampah visual tersebut.

Sejatinya, kita sebagai masyarakat awam tanpa menggunakan data dalam pengertian akademik pun dapat melakukan riset mini. Hal ini terbukti dari deretan fakta penjarahan ruang publik kita untuk digunakan sebagai tempat pemasangan alat peraga kampanye dan iklan politik. Kesemuanya itu dengan sangat tidak beraturan dapat dengan sangat mudah ditemukan di pengkolan dan perempatan jalan kampung, sebagian bahu jalan, batang pohon yang kemudian dipaku, tiang listrik dan lain sebagainya. Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa kampanye dengan model yang demikian sama sekali tidak memberikan pendidikan politik yang baik.

Fenomena sampah visual ini, tidak hanya terjadi dalam satu partai politik tertentu, tetapi telah dilakukan oleh seluruh partai politik dalam berkampanye. Sehingga, dalam pergulatannya di ruang publik seolah telah terjadi perang iklan politik antar partai.

Semua partai beramai-ramai mengedepankan raut wajah sebagai komoditas dalam berkampanye. Seolah-olah dengan suguhan raut wajah yang nampak agamis mampu memberikan citra baik di tengah masyarakat yang telah kritis ini.

Iklan yang bertebaran dan berserakan tanpa tertata tersebut hanya akan melahirkan ribuan sampah visual. Alangkah lebih baik jika kampanye dilakukan dengan kerja nyata kepada masyarakat. Kampanye yang damai adalah kampanye yang memiliki keteraturan serta hasil di masa mendatang. Karenanya, pemasangan iklan politik oleh caleg maupun partai politik harus diatur sesuai dengan peruntukannya.

Aturan tersebut diupayakan untuk memberikan kenyamanan bersama dalam ruang publik dan juga sebagai model dari kampanye politk yang damai. Tawaran atas aturan tersebut bertumpu pada pelarangan pemasangan iklan kampanye di: 1) taman kota dan ruang terbuka hijau, 2) trotoar, 3) dinding dan bangunan heritage, 4) jembatan, tiang telepon, tiang listrik, tiang rambu lalu lintas, dan tiang lampu penerangan jalan, dan 5) memaku iklan pada pohon.

Dengan penegakan aturan yang jelas disertai partisipasi masyarakat sebagai alat kontrol, setidaknya persoalan sampah visual ini dapat diminimalisir secara bersama. Dan tentu saja dibutuhkan kesadaran dari para peserta pemilu untuk mengampanyekan dirinya dengan cara-cara yang baik pula. Sebab, terlihat jelas bagaimana para peserta pemilu (baik caleg maupun parpol) dengan mudah memasang iklan kampanyenya di tempat-tempat yang dianggap kosong pada ruang publik kita.

Sampah, sebagaimana dalam memori kita sebagai masyarakat adalah sesuatu yang “kotor”. Predikat ini tentu juga akan melekat pada diri pelaku iklan politik jika tidak mengindahkan aturan yang ada serta dengan semena-mena menjadikan ruang publik sebagai ruang pribadinya.

Dalam beberapa penelitian dijelaskan bahwa sesuatu yang secara terus-menerus dilihat dan lantas meresahkan, secara psikologis akan menimbulkan kebosanan. Rasa bosan ini kemudian tentunya akan berimplikasi pada tindakan sosial masyarakat yang negatif, misalnya tindakan yang kita kenal dengan istilah “main hakim sendiri”. Jika hal ini sudah terjadi maka cita-cita terwujudnya  kampanye yang damai jelang pemilu tidak akan terealisasi.

Setidaknya secara garis besar dalam proses pemilu ada tiga komponen yaitu, penyelenggara, peserta dan juga pemilih. Dalam proses kampanye tentu peserta (baca: caleg dan partai politik) yang lebih banyak bergerak. Terkadang juga kita temukan bagaimana partai politik dengan wacana sampah visual dijadikan sebagai bahan untuk menyerang partai yang lainnya. Ini pun tentu tidak akan memberikan efek positif terhadap perang kita terhadap sampah visual. Seluruh komponen harus terlibat dalam proses kampanye damai ini.

Sampah adalah musuh kita bersama, kepedulian untuk pemberatasan sampah adalah kepedulian atas kemanusiaan. Berpartisipasi atas kontrol iklan politik pada masa kampanye juga merupakan bentuk partisipasi terhadap kemanusiaan. Demokrasi yang maju tentu bertumpu pada prilaku masyarakatnya yang taat akan aturan, maka menjadi tidak wajar jika para caleg maupun parpol menodai ruang publik masyarakat dengan sampah visual.

Semoga saja ke depan kita dapat menjadi bangsa yang lebih baik dengan penataan ruang publik yang ramah dan memberikan ketenangan serta jauh dari sampah visual.