Saat menyambut Paskah 2023, umat Kristiani diselimuti kecemasan dalam mengekspresikan agamanya. Inilah yang dialami oleh umat Kistiani yang dibeberapa daerah di Indonesia. Pasalnya mereka mengalami pengusiran saat beribadah seperti yang terjadi di Lampung, hingga penutupan simbol keagamaan yang terjadi di Kulon Progo. Viral di media sosial patung Bunda Maria ditutupi dengan terpal berwarna biru..

Tepatnya pada Rabu 22 April 2023, patung Bunda Maria yang terletak di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa ST Yacobus, Dukuh Degolan, Desa Bumirejo, Lendah, Kulon Progo, Yogyakarta ditutupi oleh sejumlah orang termasuk anggota kepolisian.

Sebelumnya, kepolisian Sektor Lenda menyatakan bahwa ditutupnya patung ini karena desakan dari Ormas.  Alasan Ormas adalah keberadaan patung setinggi 5 Meter ini mengganggu keimanan di tengah bulan Ramadhan. Setelah video penutupan itu viral, Kapolres Kulon Progo, AKBP Muharomah Fajarini mengklarifikasi bahwa ada kesalahan narasi dari penutupan patung tersebut,narasi yang disampaikan oleh anggota polisi, bahwa atas tekanan Ormas, menurut penuturan Kapolres Kulon Progo adalah narasi yang keliru.

Menurut Kapolres yang benar bahwa patung tersebut ditutup atas inisiatif dari Yacobus, pemilik dari Rumah Doa Sasana Adhi Rasa ST Yacobus, bahkan yang melakukan penutupan patung  adik kandungnya sendiri—yang berdasarkan perintah Yacobus.

Tapi alasan pihak kepolisian patut dicerna secara kritis, karena sebelum terjadi peristiwa ini, segerombol orang dari Ormas yang berafiliasi dengan partai politik Islam datang berkunjung dan meminta kepada pengurus rumah doa untuk menutup hingga membongkar patung Bunda Maria. dengan alasan patung itu mengganggu keberimanan umat Islam saat puasa nanti. Orang-orang ini juga membawa nama warga, untuk mendukung permintaan mereka.

Intoleransi Menjelang Paskah

Paskah tahun ini bertepatan dengan bulan Ramadhan, Berdekatan waktu juga dengan hari Raya Nyepi dari umat Hindhu. Seharusnya, dalam hari-hari besar umat beragama seperti ini menjadi momentum bersama untuk menjaga kedamaian dan kerukunan di Bumi Pertiwi. 

Umat agama masing-masing perlu kembali ke dalam agamanya, menggali intisari dan nilai-nilai universal—yang membuat agamanya menjadi kontekstual, inklusif dan mendorong relasi antar agama yang welas asih. Namun di hari-hari menjelang Paskah umat Protestan dan Katolik dibeberapa daerah justru mengalami rentetan pelanggaran kemerdekaan beragama.

Menurut data dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), terdapat beberapa catatan pelanggaran terhadap kebebasan beribadah bagi umat Kristen dan Katolik, di antaranya adalah: Diawal 2023 terjadi penutupan Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) di NTB, kemudian Jemaat HKBP Pos Parmingguan Betlehem Cilebut, Bogor sampai hari ini tidak bisa menggunakan rumah ibadah mereka; Di Lampung terjadi pembubaran saat Jemaat Gereja Kristen Kema Daud (GKKD) Rajabasa melaksanakan ibadah mereka;

Menurut Sejuk juga, Di Palembang sendiri, telah beredar surat tentang Aksi Damai Koalisi Palembang Darussalam. Aksi ini dilaksanakan pada 24 Maret 2023, yang bertujuan untuk menolak Duta Besar Vatikan dan penolakan terhadap pendirian dan peresmian Gedung Katedral di Kota Palembang.. Awal 2023 menjadi momentum tumbuhnya intoleransi di Indonesia. 

Kasus penutupan patung Bunda Maria dengan terpal tersebut adalah salah satu peristiwa terbaru. Padahal Bangsa ini perlu belajar pada peristiwa pelanggaran kebebasan beragama tahun kemarin yang telah diterbitkan oleh Setara Institute, yakni telah terjadi 175 peristiwa dan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Narasi Eufemistik tentang Intoleransi,

Menolak pendirian gereja serta menolak simbol keagamaan agama yang berbeda dengan dasar kesepakatan karena mayoritas anggota masyarakat mendukung (condoning) merupakan kultur intoleransi yang tumbuh hari-hari ini.

Bagi Ahmad Najib Burhani, dalam teks pidato guru besarnya berkembangnya budaya intoleransi di Indonesia itu diantaranya juga direfleksikan dengan istilah-istilah yang pada dasarnya memiliki makna positif, seperti: “harmoni”, “moderat”, dan “di mana bumi dipijak langit dijunjung” telah bergeser dari makna awalnya menjadi sebuah eufemisme dari intoleransi. (Ahmad Najib Burhani, 2020)

Kata harmoni dan dimana bumi dipijak langit dijunjung merupakan kata yang dijunjung bersama oleh semua kalangan masyarakat, Kata-kata ini kemudian berubah menjadi tindakan yang diskriminatif terhadap kelompok yang berbeda. 

Apa yang terjadi di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa adalah fenomena yang relevan dengan kultur narasi eufemistik tentang intoleransi. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh Tempo empat hari sebelum penutupan telah dilakukan pertemuan antar warga serta perwakilan dari aparat negara. Hasil pertemuan tersebut merekomendasikan kepada keluarga pemilik Sasana Adi Rasa untuk menutup patung tersebut. Alasan menutup patung, karena telah menjadi kesepakatan bersama, sebagai jalan tengah dan demi kondusifitas.

Kesepakatan bersama, jalan tengah dan demi kondusifitas, layak seperti kata “harmoni” dan “dimana bumi dipijak langit dijunjung”. Kata-kata ini berkamuflase menjadi tindakan  yang intoleran. Ia menjadi kekerasan simbolik, membatasi orang dengan hak  hak yang ia miliki. Demi kondusifitas maka kemerdekaan beragama harus dipasung. 

Alih-alih menjunjung kesepakatan bersama, justru intoleransi terhadap orang lain. Beginilah yang sering terjadi relasi antara mayoritas dan minoritas di negara ini. Mayoritas bersepakat untuk merugikan minoritas. Padahal yang lebih memanusiakan adalah saling mengakomodasi.

Selanjutnya, mengenai klarifikasi yang diutarakan oleh pihak kepolisian, memang patut ditelusuri lebih mendalam, jika atas kemauan keluarga sendiri, untuk apa polisi hadir di lokasi saat penutupan patung itu berlangsung. Untuk apa ada rembuk membicarakan Rumah Doa Sasana Adhi Rasa.

Sebelumnya pula, menurut pengelola Rumah Doa, tempat ini telah didatangi oleh Ormas yang terafiliasi dengan partai politik Islam. Mereka menyampaikan pesan bahwa menganggu keberimanan mereka. Patung Bunda Maria setinggi 6 meter  mestinya tidak dibangun di situ, karena bisa mencederai khusyuknya puasa di bulan Ramadhan.

Muskil penutupan patung Bunda Maria sepenuhnya inisiatif dari pemilik rumah doa tanpa tekanan dan desakan. Faktanya tempat itu telah dikunjungi oleh Ormas dengan menyampaikan pesan-pesan yang mengkhawatirkan. Bahkan hingga saat ini terdapat babak baru dalam kasus ini, jurnalis yang mengungkap aktor dibalik peristiwa intoleran tersebut diintimidasi.

Inisiatif pemilik Rumah Doa untuk menutup patung menggambarkan beberapa kecemasan, yang sebenarnya telah menjadi fakta saat terjadi intoleransi, diskriminasi dan persekusi di antaranya adalah: Pertama, kalau tidak ditutup, nanti ormas diskriminatif itu akan datang untuk melakukan tekanan lagi, ujung-ujungnya bisa menjadi pembongkaran dan penyerangan secara terbuka; Kedua, ketika terjadi penyerangan secara terbuka aparat kerap kali abai;

Ketiga, negara yang seharusnya menjadi pihak yang melindungi dan memberikan jaminan hak bebas beragama dan bernegara. Sering pula kalah terhadap putusan-putusan kelompok mayoritas.

Cara aparat kepolisian dan aktor negara yang lain, sering merugikan kelompok agama yang pada dasarnya adalah korban. Padahal kelompok inilah yang dirugikan. Secara kultur juga, intoleransi yang tumbuh dimasyarakat, menunjukan cara beragama dan beriman yang setebal kertas, saat melihat simbol kelompok berbeda muda tersinggung dan  bahkan reaktif.   

Daftar Pustaka

Ahmad Najib Burhani, Agama, Kultur (In)Toleransi, dan Dilema Minoritas di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2020)