Mari berangan-angan bagaimana Revolusi 4.0 Indonesia pasca-Corona.

Penulis dan pemikir Yuval Noah Harari dalam salah satu tulisannya meramalkan bahwa pasca-Corona, dunia akan memiliki sebuah perangkat deteksi yang dapat mengukur, memprediksi, bahkan memantau aktivitas biologis manusia. Dengan demikian, bila seseorang menunjukkan gejala kenaikan suhu tertentu, alat tersebut dapat mendeteksi penyakit lebih dini. Ia menjadi alarm yang menyarankanmu menemui dokter atau rumah sakit.

Lebih jauh, alat ini pun dapat memantau emosi dan reaksi si pemakai. Semuanya diolah dalam suatu algoritma dan direkam dalam database. Setiap orang adalah data yang dipetakan dan diprediksi polanya. Super user yang memiliki akses informasi akan dengan mudah memitigasi risiko yang mengancam stabilitas.

Imajinasi Yuval di tengah Corona menyadarkan manusia bahwa mereka sangat rentan. Kita hidup dalam ketidakmengertian. Tidak siap menghadapi bahaya yang tak kasat mata. Bertahun-tahun orang mengira dunia bakal lumpuh karena perang nuklir Amerika dan Korea Utara. Orang mengira perang dagang Amerika dan Cina adalah penanda resesi.

Eh, ternyata isu politik itu keliru. Dunia dihantam wabah sebagaimana dulu hantu Black Death memakan dua pertiga populasi Eropa. Pandemi ini tentu menggelisahkan di tengah orang justru sedang menggenjot sains dan bertarung di Revolusi 4.0.

Negara dengan revolusi sains paten seperti Amerika dan Inggris tidak luput menduduki klasemen top 10 positif Corona. Jika negara dengan kampus rujukan dunia saja gagap menghadapi virus, tentu kita patut cemas melihat kondisi di dalam negeri.

Presiden Jokowi seperti mengulang kampanye kali ke dua sejak dilantik. Bedanya, kali ini bukan tentang program 100 hari kerja, tetapi kampanye mengais mutual trust dan mengembalikan psikologis masyarakat saat dan pasca-Corona.

Pada awal-awal outbreak Wuhan pemerintah pusat dan daerah terkesan kompak menyepelekan. Bahkan melihat gejala tersebut sebagai peluang ekonomi. Sikap pusat ini tentu membuat masyarakat awam di bawah ikut lengah. Belum lagi nirpengetahuan yang menyiratkan Corona dapat teratasi dengan ramuan atau kekuatan supranatural.

Dalam perang ini kita tidak melihat puing-puing. Malah sebaliknya lapisan ozon membaik; emisi karbon berkurang; paus Orca berenang di permukaan Anambas. Jika nantinya sains menemukan vaksin Covid-19 apakah orang akan kembali merusak Bumi yang sedang berusaha memulihkan diri ini?

Saya membayangkan dunia pasca-Corona adalah masyarakat yang sadar. Secara batin dan pikiran. Sebagaimana dalam Sapiens Harari berpendapat persatuan manusia dimungkinkan karena persamaan ide imajiner. Ide itu adalah harmonisasi manusia dan alam. Wabah ini akan mengingatkan bahwa industrialis harus mengkaji ulang kebijakan eksploitasi alam.

Indonesia pasca-Corona seharusnya tidak perlu gembar-gembor dengan terminologi. Revolusi 4.0 harus dilihat sebagai sebuah proses dan bukan kalimat simsalabim yang menuntut orang segera paham biologi molekuler atau fisika kuantum. Revolusi 4.0 adalah cara pandang dan berpikir, bukan sekedar alat. Sejauh ini terminologi itu belum terlihat menjanjikan sekadar untuk menghasilkan APD medis yang layak atau mitigasi yang akurat.

Tentu saja sains adalah modal utama jika ingin sejajar dengan negara-negara Barat yang ratusan tahun lebih dulu mengambil start. Namun jangan lupa ada kecenderungan orang tertarik hanya pada label dan melupakan esensi. Ide Revolusi 4.0 yang grande harus dipahami dengan cara yang paling sederhana oleh awam. Siapa yang diuntungkan dari revolusi ini; ke mana tujuannya; bagaimana akses mendapatkannya; kapan harus meletakkan kearifan lokal.

Sebuah pandemi tak bisa dilihat secara ceroboh sebagai peluang ekonomi. Negara harus memikirkan bahwa pasca-Corona investasi tak cukup berbentuk saham saja, tetapi juga sumber daya manusia, laboratorium, buku-buku, piranti, dan akses ilmu pengetahuan.

Harus diakui realisasi Revolusi 4.0 belum sekencang buzzing-nya. Akses pengetahuan masih privilege bagi sebagian orang. Jika kita berhasil melalui Corona saya membayangkan orang akan terbuka pada apa yang belum mereka mengerti (dan ini tentu bukan soal jin). Rak best-seller Gramedia diisi buku-buku sains, musik, dan sastra. Dengan kesadaran sendiri orang membangun kembali ekonomi dengan kearifan gotong royong.

Konsep 4.0 selama ini momok bagi sebagian orang. Bayangan besarnya adalah ketakutan kehilangan pekerjaan. Cara pandang yang membuat orang malah menjauhi sains karena menganggapnya sebagai sesuatu yang rumit dan eksklusif. Ironisnya, wabah ini hanya bisa diselesaikan oleh sains.

Paradigma Revolusi 4.0 semestinya diubah. Bukan lagi soal mengganti manusia dengan kecerdasan buatan. Tidak hanya money oriented namun juga pemberdayaan manusia. Jarvis akan mengurus hal-hal teknis dan rutin sementara manusia kembali pada sesama. Help and take care each other. Bersinergi dengan alam. Belajar hal-hal baru yang mereka belum mengerti.

Seperti halnya krisis 1998, Indonesia pasca-Corona akan terlihat babak belur. Tapi pembelajaran secara otomatis akan diketahui. Siapa yang berpihak pada masyarakat dan yang hanya mencari keuntungan. Wabah inilah filter yang baik untuk menyaring dan menentukan pilihan terbaik kedepan.

Harari membayangkan bersatunya negara-negara dunia pasca-Corona. Kita tak perlu sejauh itu. Bayangkan saja kita memiliki interkoneksi sarana dan pengetahuan di Nusantara sehingga setiap orang memiliki kesempatan dan peluang yang sama.