Namaku Sukartini

                                                          Oleh: Imron Samsuharto

Namaku Sukartini. Seorang perempuan asal desa terpelosok, ditakdirkan terlahir dari bapak-ibu petani bekikuk di kawasan kaki Gunung Slamet yang sejuk. Aku anak bungsu dari lima bersaudara, empat perempuan satu laki-laki. 

     Tahun kelahiranku setahun sebelum proklamasi kemerdekaan, bersamaan masa-masa pahit peristiwa tragis penjajahan Jepang. Lima bersaudara, kiranya memenuhi standar moralitas sosial Jawa saat itu, yang memandang bahwa banyak anak banyak rezeki. 

     Uniknya, semua saudaraku memiliki nama berunsur su- yang berarti indah atau bagus. Lima bersaudara dari sulung hingga bungsu itu secara lengkap adalah: Supawi, Supami, Suparti, Sukra, dan aku Sukartini.

     Pola hidup sederhana, ramah dengan lingkungan, menyatu dengan alam, serta semeleh adalah sebagian prinsip filosofi hidup yang ditanamkan orangtuaku. Orangtua yang petani tradisional itu, memiliki sawah yang cukup luas untuk ditanami padi. 

     Juga memiliki pekarangan yang ditumbuhi buah jeruk, mangga, rambutan, aneka tanaman sayuran, cabai, bawang putih, bawang merah, serta tanaman obat yang cukup komplet. 

     Puluhan ekor ayam kampung juga dipelihara, yang sewaktu-waktu bisa diambil manfaat atau dikonsumsi, baik telur maupun dagingnya.

     Sebagai pembontot atau mbontot, aku mendapat perlindungan dan arahan kakak-kakakku, meski terkadang jadi objek penderita alias pihak “terkalahkan” atau “tersisihkan” dalam komunitas bermain kala masih gadis kecil. 

     Dibimbingnya aku bersosialisasi dengan sekitar, diajari bernyanyi tembang dolanan, serta tak lupa diajak mengaji. Aktivitas pergi mengaji dilakukan selepas maghrib di rumah seorang ustadz. Memang, moral dan nilai-nilai agamawi amat ditekankan oleh orangtuaku.

     Aku bersekolah dasar di gedung tua yang difungsikan sebagai tempat belajar. Murid-murid berangkat sekolah tanpa alas kaki alias ngodhok. Pakaian yang dikenakan teramat sederhana, belum kenal apa itu seragam atau uniform.

     Perangkat untuk belajar hanya sekeping sabak atau papan tulis berukuran mini yang ditimpa kapur, sehingga mudah dihapus, lalu ditimpa kapur lagi, dihapus lagi, begitu seterusnya. 

     Tak ada materi yang bisa disimpan untuk dibaca atau dipelajari ulang di rumah. Maka, daya tangkap penerimaan pelajaran menjadi modal penting dalam proses belajar-mengajar. Murid yang tajam ingatan, biasanya menonjol prestasinya. Nilainya tinggi.

     Aku tergolong murid yang daya ingatnya tajam. Nilaiku terjaga pada jajaran papan atas, sehingga tak heran mendapat perhatian guru. Namun, ada hal yang sungguh benar-benar mengagetkan hatiku, seorang pak guru lajang menaruh perhatian khusus pada diriku. 

     Hanya saja, perhatian lebih itu tak ditunjukkan secara terbuka di ruang kelas. Suatu hari ia sowan pada orangtuaku tanpa kuketahui, ya seperti membawa misi tersendiri. 

     Ia terang-terangan tapi penuh kesantunan di depan orangtuaku, menyatakan jujur menaksirku dan berniat melamarku setelah aku menamatkan sekolah dasar nanti.

     Dua tahun setelah kelulusanku, pak guru lajang dan kedua orangtuanya datang melamar. Jujur saja, sejatinya aku belum mengenal apa itu cinta asmara, apalagi untuk memasuki gerbang rumah tangga. Masih suka grubyak-grubyuk bermain bersama teman seumuran, boleh dikata masih ingusan. 

     Namun, bujukan orangtua tak kuasa kutolak, di samping itu menikah pada usia dini bukanlah hal yang tabu saat itu. Ada hal unik, calon bapak mertua dari calon suamiku bertanya: “Nak, bisakah kamu membaca Alquran?” 

     Dijawabnya tegas oleh calon suamiku: “Bisa, Pak. Nggih, saged!” Jawaban yang membuat orangtuaku tak ragu menerima pinangan.

     Perhelatan pernikahan pun dilangsungkan dengan sederhana sesuai tata cara adat. Terjadilah seorang gadis usia 15 tahun dinikahi seorang guru muda yang berasal dari kota. Seorang Sukartini berubah status dari gadis remaja menjadi istri seorang guru bernama Fendi. 

     Aku, mantan murid yang menyita perhatian, lebih muda tujuh tahun ketimbang guruku yang berubah status menjadi suami tersayang. Fendi, yang mendapat tugas negara menjadi pendidik di wilayah kaki gunung itu kepincut kemolekan dan kesederhanaan gadis desa. Maka, Sukartini menyandang sebutan Nyonya Fendi.

     Kapal dengan Fendi sebagai nakhoda dan Sukartini sebagai co-nakhoda mulai membelah samudra luas, menembus riak-riak gelombang yang penuh tantangan. 

     Aku dibimbing dengan penuh kesabaran, digamit dan digandeng dalam memaknai seluk-beluk filosofi kehidupan. Latar belakang suamiku sebagai pendidik, menjadi nilai tambah di tengah kehidupanku dan keluargaku yang ndeso tradisional tak tahu dunia luar. 

     Suamiku luwes dalam pergaulan, gesit dalam menanggapi geliat kehidupan sosial-kemanusiaan, dan bijak dalam menyikapi isu-isu perubahan di tengah era revolusi yang didengung-dengungkan.

     Tahun 1960 di tengah isu revolusi yang terasa memanas, lahirlah anak pertama. Putri cantik yang senantiasa tersenyum manis, menambah semarak suasana rumah. Aku kian bersemangat, suamiku semakin berenergi. Serasa baru kemarin si putri lahir, menyusullah bayi laki-laki mungil dua tahun kemudian. 

     Komplet dianugerahi anak perempuan dan laki-laki. Namun, jika dihubungkan dengan moralitas sosial Jawa, itu belum cukup. Kala itu belum ada kebijakan keluarga berencana yang mengampanyekan dua anak cukup, laki-laki atau perempuan sama saja.

     Betul juga, ternyata aku dan suami ditakdirkan menganut moralitas sosial Jawa. Di tahun 1965 yang digembar-gemborkan sebagai tahun vivere pericoloso, terlahir lagi dari rahimku  anak ketiga, laki-laki. Berselang tiga tahun kemudian, dianugerahi anak laki-laki lagi. 

     Boleh dikata memakan jeda rata-rata tiga tahun jarak kelahiran, muncul lagi anak perempuan dan disusul si bungsu yang juga perempuan. Tak lama setelah kelahiran mbontot, muncullah program keluarga berencana. 

     Nakhoda Fendi dan asistennya Sukartini memiliki anak buah atau pasukan yang cukup lengkap, tiga laki-laki dan tiga perempuan.

     Sepanjang mengarungi gelombang hidup hingga dianugerahi anak kedua, dirasa nyaman-nyaman saja nyaris tanpa gejolak yang berarti. Namun, bersamaan kelahiran anak ketiga badai kehidupan sosial kemasyarakatan mulai terasa nyata. 

     Inilah imbas revolusi yang masih bergolak. Di pucuk perpolitikan nasional, menurut suamiku, terjadi glenak-glenik politik yang mengancam persatuan bangsa. 

     Perseteruan paham yang terkotak-kotak pada partai beraliran nasionalis, komunis, dan agamais, sungguh terasa panas dan menggerahkan suhu perpolitikan kala itu. Jargon atau slogan nasakom amat populer dalam perpolitikan.

     Suamiku berpaham nasionalis, dan aku sebagai istri secara berangsur diberi penjelasan mengenai seputar apa itu nasionalisme. Sementara lingkungan sekitar kanan-kiriku, bahkan keluargaku sendiri, cenderung beraliran agamais. 

     Di kampung kelahiranku, aliran politik didominasi partai NU (Nahdlatul Ulama) yang berpaham agama. Sedangkan suamiku seorang guru yang beraliran nasionalis dan bergabung pada PNI (Partai Nasional Indonesia). 

     Di antara empat besar partai politik tingkat nasional PNI, Masyumi, PKI, dan NU, yang terasa menggaung di desaku adalah NU dan PNI. Tak ada Masyumi dan PKI. 

     Karena suamiku tergolong minoritas, maka gerak-gerik keseharian dalam kehidupan masyarakat seperti diawasi dan dikontrol  ‒ kalau tak boleh dikatakan “ditekan” ‒  oleh pihak yang tergolong mayoritas. Suhu memanas antara NU-PNI di desaku. 

     Suamiku orang yang melek agama, dites baca Alquran saat meminangku di depan orangtuaku, pun lancar dan cumlaude. Namun, dalam paham berbangsa dan bernegara, suamiku memilih nasionalis. 

     Boleh dibilang, karena saat itu PNI dipimpin oleh Sukarno yang begitu disegani, suamiku termasuk sukarnois juga. Suamiku memiliki beberapa buku tentang Sukarno, dan di dinding ruang tamu dipasang foto Sukarno berukuran besar.

     Imbas keadaan negara yang terasa langsung dalam kehidupanku adalah ekonomi terasa sulit. Suamiku bergaji kecil, tak sebanding dengan tanggungan yang dipikul menghidupi istri dan anak. Aku diajari ibu-bapakku untuk tak gampang mengeluh, bagaimanapun keadaan yang dihadapi. 

     Keterampilan menjahit baju yang kupelajari sejak tamat sekolah, aku asah lagi dan kukembangkan. Suami membelikanku satu unit mesin jahit secara kredit di koperasi guru. Keberuntungan berpihak, banyak orang merasa cocok dengan sentuhan tanganku menjahit. 

     Sedikit demi sedikit, hasilku menjahit bisa menopang berbagai kebutuhan yang tak tercukupi hanya mengandalkan gaji suami. Suamiku membuatkan plang di depan rumah bertuliskan: “Penjahit KARTINI”, yang diambil dari nama pendekku. Terinspirasi sosok hebat pejuang emansipasi wanita Raden Ajeng Kartini.

     Sebagai seorang ibu, aku tak henti menasihati anak-anakku bergaul dengan teman bermain secukupnya saja, di tengah polarisasi agamais-nasionalis. Kalau selesai mengaji usai jamaah maghrib, kuperintahkan langsung pulang lalu belajar. 

     Tidak usah dilanjut bermain seperti kebanyakan teman-temannya. Aku sadar, di tengah perikehidupan politik seperti itu, perasaan anak-anakku harus aku jaga sedini dan seteliti mungkin agar tak berdampak psikologis pada jiwa dan pikirannya. 

      Harapanku dan suamiku, kelak anak-anak bisa bersikap bijak dan realistis dalam pergaulan kehidupan, termasuk kehidupan berpolitik.

      Keenam anakku tumbuh sesuai kepribadiannya masing-masing. Suamiku berkeras hati mengutamakan bidang pendidikan untuk mengarahkan anak-anak agar bisa menjadi manusia yang bisa memanusiakan orang lain. Manusia yang bermanfaat bagi sesama. 

      Aku bersyukur, hingga pada perkembangan usia wajar pendidikan anak, semua anakku bisa menamatkan sekolah tingkat atas. Bahkan sebagian di antaranya bisa berlanjut mengenyam bangku kuliah dan meraih sarjana.

     Ada keharuan yang merasuk, ketika sebagian anakku berhasil mengenggam kesarjanaan, bertepatan itu justru suamiku telah lebih dulu dipanggil Yang Mahakuasa. Suamiku tak sempat menyaksikan langsung anaknya diwisuda dalam suatu upacara sakral. 

      Air mataku meleleh haru, karena aku bukanlah siapa-siapa dengan prestasi sosialita atau terpandang, melainkan aku hanyalah perempuan desa yang mewarisi nilai-nilai moral kesahajaan.

      Naluri seorang ibu, tak ingin dan tak perlu aku dihujani gelontoran materi dari anak-anakku. Mendengar kabar anak-anak dalam keadaan sehat dan sejahtera bersama keluarga masing-masing, sudah cukup membuat hatiku bahagia dan nyaman. 

      Untuk menopang kehidupan sehari-hari, uang pensiun almarhum suami kurasa lebih dari cukup.

      Pada usia kepala tujuh, aku masih dikaruniai kesehatan di tengah zaman yang sudah banyak berubah. Salah seorang anak, tanpa berunding terlebih dulu, membelikanku telepon genggam terkini. Hape android, katanya. 

      Aku diajari cara mengoperasikannya, sehingga sedikit demi sedikit bisa menggunakan alat komunikasi canggih itu. Aku dimasukkan ke grup WhatsApp atau WA keluarga, yang nama grupnya merujuk almarhum suamiku: “Grup KELUARGA FENDI”. 

      Sebuah wadah untuk berkomunikasi secara cepat dan praktis, tidak seperti zaman revolusi hingga awal reformasi yang sistem komunikasinya serba terbatas.

      Semelesat apa pun zaman yang diiringi teknologi terkini, aku berpesan pada anak-anakku agar tetap rendah hati, tidak sombong, tidak pernah menyerah dengan kondisi sesulit apa pun, banyak bersyukur, serta berserah secara kaffah kepada sang Maha Pencipta. 

      Sebelum menghadap Ilahi Robbi, satu hal yang ingin aku penuhi di usia senja ini adalah pergi beribadah haji ke tanah suci. Semoga ada celah keajaiban atau mukjizat untuk berangkat. 

      Mudah-mudahan aku bisa terbang di tengah sistem birokrasi pemberangkatan haji waiting list mengantre puluhan tahun. Anak-anakku dan cucu-cucuku pun turut mendoakan itu.

=========

  • bekikuk                               :  asli tradisional, terisolasi, belum tersentuh unsur modern
  • semeleh                             :  pasrah tanpa banyak protes
  • pembontot, mbontot      :  anak terakhir atau bungsu
  • tembang dolanan           :  lagu anak-anak yang bermuatan kegembiraan, umumnya bernilai filosofi
  • ngodhok                            :  tak mengenakan alas kaki, tanpa sandal atau sepatu seperti kodok
  • sowan                             :  berkunjung, bertamu
  • grubyak-grubyuk            :  hilir-mudik ke sana kemari secara berombongan atau berkelompok
  • Nak                                     :  panggilan akrab orangtua untuk anak/ananda atau yang dianggap sebagai anak
  • nggih, saged !                 :   ya, bisa!
  • kepincut                           :   tertarik, terkesima
  • ndeso                                :  terbelakang, jauh dari kemajuan zaman
  • vivere pericoloso             :  menyerempet bahaya
  • glenak-glenik                   :  kompromi bisik-bisik membuat suatu gerakan untuk membidik tujuan tertentu
  • nasakom                           :  sistem perpolitikan yang mencakup paham nasionalis, agama, komunis
  • cumlaude                       :  memuaskan, bagus nilainya
  • plang                                 :  papan nama berukuran cukup besar terbuat dari kayu
  • hape android                   :  telepon genggam modern, sarana komunikasi pribadi atau berkelompok/grup 
  • kaffah                                :  berserah pasrah sepenuhnya, tidak setengah hati
  • waiting list                        :  daftar tunggu atau antrean