Nama menyimpan sesuatu dalam dirinya. Orangtua dulu tidak sembarang dalam memberi nama kepada anak mereka yang baru lahir.
Bagi mereka, nama yang diberikan harus mencerminkan diri anak nantinya, entah karakternya, sifatnya, maupun masa depan menjadi apa anaknya nanti. Dan tentu, nama yang menggambarkan tentang yang baik yang pantas dijadikan nama anak.
Boleh dikatakan bahwa pemberian nama adalah penanaman harapan orangtua pada anak. Sebagai misal, dalam tradisi Kristiani, pemberian nama pada anak memiliki keunikan tersendiri. Biasanya orangtua memberi nama anak dengan mengambil nama dari santo/santa pada tanggal anak mereka lahir.
Misalnya, bila anak lahir pada tanggal 28 Agustus pada peringatan Santo Agustinus, nama anak tidak jauh dari Agustinus untuk anak laki-laki, atau Agustina untuk anak perempuan.
Atau bisa juga Monika yang diambil dari nama Santa Monika yang diperingati pada setiap 27 Agustus. Pemberian nama santo/santa tersebut dengan maksud agar para santo/santa menjadi patron atau pelindung bagi anak sepanjang hidupnya dan dalam arti tertentu orang dengan lebih mudah mengingatnya.
Setiap nama memiliki kekuatan dan jiwa. Kata “jiwa” sendiri dapat diterjemahkan ke dalam tiga kata ini, yakni, Ruah, Neshama, dan Neuma. Dalam tradisi Timur Tengah, nama adalah jendela bagaimana kita mengenal seseorang. Nama itulah yang menciptakan esensi, hidup, identitas seseorang.
Inilah kekuatan nama. Nama menjelaskan keberadaan dari seseorang. Dalam Kitab Suci, nama tidak dipilih dan diberikan begitu saja sesuka hati. Sebab, nama memuat suatu harapan, ramalan tentang sesuatu atau seseorang. Nama adalah juga gambaran tentang harapan.
Soal memberi nama pada ibu kota baru (IKB), tentunya nama tersebut adalah nama yang memberi arti penting bagi Indonesia secara keseluruhan. Nama itu memuat identitas yang kuat pada diri Indonesia. Sejarah, semangat, cita-cita dan harapan ada pada nama IKB tersebut.
Terkait itu, pemerintah sudah menetapkan nama baru untuk ibu kota yang baru, yakni ‘Nusantara’. Kata ‘Nusantara’ bukanlah nama yang asing bagi telinga orang Indonesia. ‘Nusantara’ sendiri sering dipakai untuk penyebutan ‘Indonesia’.
Akan tetapi, hemat saya, nama itu kurang tepat untuk menjadi nama IKB. Alasannya ada pada sejarah. Di masa lalu, kata ‘Nusantara’ tidak lahir dari semangat Indonesia secara keseluruhan.
Dilansir Tribunjatim.com, penggunaan kata ‘Nusantara’ di zaman kuno adalah untuk menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia.
Selain itu, nama ‘Nusantara’ yang lahir pada masa Kerajaan Majapahit digunakan untuk konteks politik. Dalam konteks politik, ‘Nusantara’ merujuk pada wilayah meliputi rangkaian pulau yang terdapat di antara benua Asia dan Australia, termasuk Semenanjung Malaya.
Namun, penyebutan ‘Nusantara’ pada saat itu tidak meliputi Indonesia secara keseluruhan. Yang dimaksud sebagai ‘Nusantara’ adalah wilayah-wilayah di luar kekuasaan Kerajaan Majapahit. Dalam Sumpah Palapa-nya Gajah Mada, sangat jelas bahwa penyebutan ‘Nusantara’ adalah untuk wilayah-wilayah yang perlu ditaklukannya.
Dengan demikian, hemat saya (sekadar masukan), sekiranya nama ‘Nusantara’ sebagai nama IKB perlu diganti. Sebab, nama tersebut, dalam sejarahnya tidak mencakup wilayah Indonesia seluruhnya (kendati dibuat pemaknaan baru oleh Ki Hajar Dewantara di kemudian hari).
Lalu, nama apa yang cocok untuk nama IKB, satu nama yang tepat agar IKN menjadi icon bangsa yang dapat dikenali di negerinya sendiri dan internasional, dan menjadi gambaran dari jiwa bangsa Indonesia?
Hemat saya, nama yang tepat adalah Pancasila. Mengapa memilih nama ‘Pancasila’?
Pancasila berakar pada nilai-nilai hidup orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Pancasila adalah falsafah hidup orang Indonesia. Pancasila memiliki sejarah, semangat, cita-cita yang hidup dan harapan orang Indonesia. Pancasila menyatukan semua orang Indonesia.
Pancasila adalah jiwa dari bangsa Indonesia. Pancasila adalah nafas hidup bangsa Indonesia yang majemuk ini. Dengan menjadikan Pancasila sebagai nama IKB, kota tersebut nantinya bisa menjadi role model untuk kehidupan di tempat-tempat lainnya di seluruh Indonesia.
Dengan menjadikannya sebagai role model, ibu kota negara (IKN) menghidupi corak hidup Pancasilais: menghidupi corak hidup berketuhanan yang menghargai sesama yang beraliran lain, corak hidup yang menghargai sesama manusia yang berbeda pandangan dan identitas, corak hidup orang-orang yang bersatu dan bergotong-royong, corak hidup yang demokratis, dan corak hidup yang berkeadilan (dalam hal ini cukup dengan yang dimiliki).
Corak hidup Pancasilais ini tidak sekadar hidup dalam IKN saja, tetapi mereka yang hidup di sana juga memberikan efek hidup tersebut untuk semua orang di seluruh Indonesia. Sebab, IKN sebagai pusat pemerintahan mestinya memberi efek hidup Pancasilais yang toleran, berkemanusiaan, bersatu, demokratis dan berkeadilan-sejahtera kepada seluruh masyarakat Indonesia. Dari kota untuk Indonesia.
Dengan begitu, IKN yang baru adalah contoh bagaimana Pancasila dihidupi secara nyata dalam praktik hidup harian dan dalam setiap keputusan yang diambil. Maka jelas, IKN baru bukan pusat pengembangan teori Pancasila.
Pancasila adalah gaya hidup orang Indonesia. Pancasila sudah ada dalam rahim bangsa Indonesia, bahkan jauh sebelum dikatakan ‘lahir’ berkat tangan reflektif, Soekarno.