Dia dipanggil Ib, dari Ibrahim. Lengkapnya Mustafa Ibrahim. Menurut ayahnya, nama tersebut mengambil dari al-mustafa atau Muhammad Saw dan Ibrahim As. Tidak hanya terpilih sebagai utusan Tuhan, keduanya juga merupakan sosok penting dalam sejarah umat manusia. Revolusioner sejati.
Sederhananya, jika risalah Nabi Muhammad secara umum menunjuk pada perubahan masyarakat dari kondisinya yang “jahiliyah” menjadi masyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Islam secara universal, yakni rahmatan lil alamin, terutama karena keberadaannya sebagai penutup para nabi dan rasul, maka sosok Nabi Ibrahim lebih tampak mengarah pada perjuangan pribadi manusia mencapai kemerdekaan hakiki sesuai dengan fitrahnya.
Sebagaimana yang tersirat dengan sangat jelas dalam beberapa episode dalam kehidupannya, seperti pencarian Tuhan, penghancuran belenggu penyembahan terhadap berhala, perjuangan melawan kedzaliman yang menjajah, mengurbankan putranya, perjalanan kembali kepada Tuhan melalui ibadah haji, dan sebagainya.
Basri, demikian nama ayah Ib. Singkat, padat, dan mudah diingat. Sebagaimana juga sikapnya yang menarik dan tidak mudah dilupakan oleh mereka yang pernah bertemu dan berkenalan dengannya. Dan jika Basri sedang berorasi atau berbicara di depan umum, bisa dipastikan para pendengar dibuat terpesona dan kagum kepadanya.
Bicaranya sistematis, tegas, dan lancar. Tak pernah terdengar bicaranya belibet, kagok, atau banyak menggumamkan eh… eh… eh… yang menandakan masih berpikir. Apalagi hal tersebut ditambah dengan kemampuannya dalam menghadirkan joke-joke segar.
Karenanya, hampir seluruh mahasiswa dan dosen di kampus mengenal Basri. Setidaknya, nama Basri dan si pemilik nama itu tidak mudah terhapus dalam ingatan. Dengan modal tersebut, tidak heran ketika dirinya diusung sebagai salah satu kandidat ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) kampus, Basri pun dengan mudah mengungguli para pesaingnya dengan jumlah suara telak.
Ketika menjabat ketua BEM itulah, Basri secara tidak sengaja menemukan nama Mustafa Ibrahim. Waktu itu, dia baru saja selesai membaca beberapa buku tentang sejarah dan revolusi.
Entah kenapa, tiba-tiba dalam pikirannya muncul nama itu. Dan akhirnya, dia pun menancapkan nama itu dalam ingatannya. Kelak, nama itu akan disandangkan pada diri anaknya, jika Tuhan memberinya seorang putra.
Rupanya, Mustafa Ibrahim menancap teramat dalam di pikiran Basri. Ketika selesai menulis sebuah artikel untuk majalah atau jurnal-jurnal terbitan kampus, nama itu selalu muncul dan memenuhi hati dan pikirannya. Seperti menyuruh Basri untuk menjadikannya sebagai nama pena. Dan dia pun menurutinya.
Memang, selama ini Basri tidak hanya dikenal sebagai seorang pembicara yang handal, tetapi juga seorang penulis yang cerdas. Bahasanya bernas, kritis, dan kerap menampilkan pemikiran-pemikiran yang orisinil dan baru. Sebagaimana diketahui, tidak banyak orang yang memiliki kemampuan berbahasa yang sama baiknya antara lisan dengan tulisan.
Kebanyakan yang ada, salah satu di antara kemampuan tersebut lebih unggul daripada yang lain, pada diri seseorang. Maka dari itu, tidak sedikit orang yang tulisannya sangat bagus, bahkan dahsyat, tetapi ketika berbicara tidak menarik. Begitupun sebaliknya. Dengan perpaduan tersebut, tidak heran jika Basri menempati posisi spesial secara akademik di mata para dosen.
Akhirnya, artikel dengan nama penulis, yakni Mustafa Ibrahim pun termuat di majalah kampus edisi itu. Seorang teman mahasiswi kemudian mengajaknya berbicara tentang nama itu.
***
Setelah mengikuti kuliah, siang itu Basri melangkah menuju ruang BEM di kampusnya. Seperti biasa, dia selalu menghabiskan waktu di sana ketika tidak ada jam kuliah. Berkumpul bersama teman-temannya. Berdiskusi kecil, membahas ide-ide kreatif untuk dikembangkan secara lebih lanjut dalam rapat pembahasan berbagai kegiatan kemahasiswaan.
Jika tidak ada satu pun teman di sana, biasanya dia akan membaca buku, terutama buku-buku pemikiran dan sastra. Sementara di sekitarnya, para mahasiswa berlalu-lalang di jalan kawasan kampus. Juga duduk bersama di tempat yang teduh. Beberapa di antara mereka menyapanya.
Basri hanya membalasnya dengan wajar. Tanpa keinginan untuk berhenti dan bergabung dalam pembicaraan. Dia ingin segera sampai di ruang BEM. Sebuah majalah kampus edisi terbaru yang didapatkannya pagi itu dan kini terayun-ayun di tangannya, ingin segera dibacanya. Terutama artikel yang ditulisnya dengan menggunakan nama pena, Mustafa Ibrahim.
Tiba-tiba ekor matanya menangkap sesuatu. Pada sebuah bangku yang teduh di bawah pohon, seorang mahasiswi sedang membaca. Apa yang dibacanya?! Serius sekali, gumam Basri. Dia pun mengarahkan kakinya mendekati mahasiswi yang sangat dikenalnya itu.
Setelah mengucapkan salam yang segera dijawab oleh mahasiswi itu, Basri minta izin duduk di sampingnya. Mahasiswi itu mempersilahkannya dan menggeserkan tubuhnya sedikit ke samping.
“Serius sekali, Hanifah?!” kata Basri.
“Lumayan,” jawab Hanifah tertawa kecil. “Artikel yang menarik. Sudah baca, Mas?” lanjutnya setelah tahu Basri juga membawa majalah yang sama.
“Apa judulnya?”
“Revolusi Dua Arah dalam Sejarah: Pembacaan atas Kehidupan dan Perjuangan Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim.”
“O,… sudah.” Basri membuka majalahnya.
“Mas Basri tahu Mustafa Ibrahim?” seru Hanifah. “Baru kali ini tulisannya muncul di majalah ini.”
Dalam hati Basri tersenyum. Rupanya, Hanifah tertarik juga dengan misteri yang diciptakannya. Basri hanya diam sambil membuka-buka majalah di tangannya. Mencari halaman artikel tersebut.
“Siapa, Hanifah?! Mustafa Ibrahim?!” ulangnya. Basri ingin memperpanjang misteri itu.
“Iya. Mustafa Ibrahim,” jelas Hanifah diam sejenak. Kemudian berkata, “Ehm,… tulisan Mas Basri kok tidak ada di sini?! Biasanya, hampir di setiap edisi selalu muncul.”
“Yah, sekali-kali tidak muncul, boleh juga kan, Hanifah.”
“Iya, sih. Padahal aku suka sekali dengan tulisan Mas Basri.”
Basri tersenyum. “Kalau dengan tulisan Mustafa Ibrahim?!”
Entah kenapa, tiba-tiba Hanifah menangkap sebuah tanda dalam perkataan laki-laki yang selama ini diam-diam mengisi ruang khusus di hatinya itu. Sebuah tanda yang membawanya masuk dalam ruang yang penuh dengan pertanyaan dan dugaan. Ada juga nada cemburu tersirat di sana.
Hanifah hanya diam dengan pandangan mata mengarah pada halaman artikel Mustafa Ibrahim. Tidak kuasa juga dia mengelak untuk tidak membandingkan tulisan di antara keduanya.
Sebentar pandangan matanya bergerak naik. Sepertinya dia menemukan sesuatu. Sebuah kesimpulan sementara. Bisa jadi juga, pikirnya.
“Jangan-jangan, Mustafa Ibrahim itu adalah Mas Basri sendiri,” kata Hanifah. “Gaya dan karakter tulisannya mirip sekali.”
Basri hanya tersenyum. Terasa senyum itu memperjelas dugaan Hanifah.
“Iya kan, Mas?! Mengaku saja!” katanya manis sekali. Terdengar kemanjaan dari nada bicara Mahasiswi itu di telinga Basri.
Basri terdiam. Ekor matanya mendapati Hanifah sedang menatapnya. Menunggu jawaban. Ah, entah kenapa dia tak pernah bisa menahan sebuah rahasia dari mahasiswi itu. Perlahan Basri menolehkan wajah ke arahnya.
Tiba-tiba dia merasakan hatinya bergetar ketika saling berpandangan. Sorot mata Hanifah yang tajam, jauh menembus kedua bola matanya. Mengobrak-abrik bunker dalam hatinya. Membuatnya salah tingkah.
Memang, selama ini Basri cukup dekat dengan Hanifah. Mahasiswi satu angkatan di bawahnya itu adalah sekretaris di BEM kampus. Seperti juga dengan anggota BEM yang lain, mereka kerap bertemu dan berbicara, terutama berkaitan dengan acara dan kegiatan BEM. Jika kebetulan sedang berdua, mereka kerap berdiskusi ringan tentang segala sesuatu. Akan tetapi untuk masalah pribadi, hampir dipastikan tidak pernah.
Pada kebersamaan dalam acara dan kegiatan BEM itulah, Basri tahu bahwa Hanifah merupakan perempuan yang cerdas dan bijaksana. Barangkali karena karakter keibuannya yang menonjol, dia lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Akan tetapi kalau sudah berbicara, pendapatnya kerap menjadi solusi penting dari berbagai permasalahan yang dibahas dalam rapat-rapat BEM.
Dengan karakter seperti itu, maka tidak heran, jika Hanifah juga menjadi tempat curhat bagi teman-teman anggota BEM yang lain. Dia begitu dewasa. Satu hal yang tidak dipungkiri oleh Basri, bahwa Hanifah adalah perempuan yang cantik dan anggun. Dengan baju muslimah dan jilbab yang dikenakannya, Hanifah mengesankan pribadi perempuan yang shalihah.
Sebagaimana para mahasiswa yang lain, Basri tahu bahwa Hanifah mengaguminya. Terutama berkaitan dengan masalah akademik. Secara terbuka, kekaguman itu kerap diungkapkan Hanifah seperti “aku menyukai tulisan-tulisanmu, Mas Basri” atau “orasimu bagus sekali, Mas” dan sebagainya.
Mungkin juga lantaran kekaguman itulah yang menyebabkan Hanifah ‘menuakan’ dirinya. Tidak seperti dengan teman mahasiswa yang lain, di hadapannya, Hanifah seolah memposisikan dirinya laiknya seorang adik kepada kakaknya.
Atau seorang…, ah, mungkinkah. Dan kalau sedang berdua dengannya, tidak jarang sisi kemanjaan Hanifah muncul. Karena sikap Hanifah itulah, Basri kerap berpikir sendiri. Mungkinkah Hanifah juga mencintainya?!
“Ah, Mas Basri,… masalah nama pena saja dirahasiakan?! Baiklah, kalau tidak mau mengaku.” Hanifah tersenyum mengalah. Basri tertawa renyah.
“Sungguh, kau ingin tahu yang sebenarnya?”
“Yup,” jawab Hanifah seraya mengangguk. Dalam diam, Basri merasakan anggukan itu berdebam di hatinya.
“Baiklah,” kata Basri tersenyum. “Sebenarnya, hal ini berkaitan dengan cita-cita dan harapan,” lanjutnya kemudian tertawa mendapati kelucuan diri sendiri.
“Maksud Mas Basri?”
“Yah, begitulah…” Basri tertawa renyah kembali. “Maksudku,… Mustafa Ibrahim ini rencananya untuk nama putraku nanti. Jika Tuhan menghendaki.”
“O, begitu toh. Boleh juga. Nama yang bagus dan elegan. Aku juga suka nama itu,” komentar Hanifah tertawa kecil. “Benar ‘kan dugaanku?!”
“Tidak salah. Seratus,” kata Basri seraya menunjukkan jempolnya. “Dan kalau Hanifah dikaruniai anak laki-laki, apakah juga mau diberi nama Mustafa Ibrahim?” lanjutnya.
Seperti tersentak sendiri, Basri lantas terdiam. Dalam pikirannya, pertanyaan yang meluncur begitu saja kepada Hanifah itu rupanya memiliki daya jangkau yang demikian jauh. Juga mengandung isyarat tertentu. Akan tetapi, Basri tidak menyesalinya. Hanya saja, hatinya terasa berdegub kencang. Resah atas sesuatu.
Dari ekor matanya, Basri mengetahui bahwa Hanifah rupanya menangkap isyarat itu juga. Dalam diam, kedewasaan perempuan itu segera muncul bersama sikapnya yang tenang. Kemudian tersenyum.
“Kalau diberi anak perempuan, diberi nama apa, Mas?” kata Hanifah bersikap seperti sediakala.
“Milla,” jawab Basri mengimbanginya.
“Milla?! Pendek sekali,” komentar Hanifah tersenyum. “Lengkapnya?!”
“Millata Ibrahima Hanifa.”
“Ehm,.. boleh juga. Nama yang cantik dan memiliki kesan yang kuat.” Hanifah diam sejenak. “Aku juga suka nama itu untuk putriku. Jika Tuhan menghendaki,” lanjutnya seraya tersenyum menatap Basri.
“Insyaallah,” kata Basri yang kemudian disusul oleh Hanifah. “Yang pasti, masih ada Ibrahim-nya. Juga ada nama ibunya, Hanifah,” lanjutnya meyakinkan.
Seketika Hanifah menatap laki-laki yang diam-diam dicintainya itu. Sebentuk senyum paling manis terukir di wajahnya. [*]