Saya menerima pesan beberapa waktu lalu dari seorang perempuan lajang yang mengakui bahwa dirinya tidak sanggup berhenti memikirkan saya; bisa dibilang, karena cinta. Ketika dia menanyakan kepada saya apakah saya merasakan perasaan yang sama, saya menjawab, “Aku ngga bisa berhenti mengecek notifikasi sms di hapeku.”
Dia merasa jawaban saya tidak menjawab pertanyaannya dan saya bersikukuh dia harus sanggup menyimpulkan sendiri makna implisit jawaban saya tersebut. Perempuan ini, selanjutnya saya sebut mbak, mengaku sulit, bahkan tidak sanggup, berpikir jernih dalam kondisi seperti ini.
Sejujurnya saya cukup sangsi dengan pernyataannya. Diperlukan pendapat dan temuan ilmiah untuk mampu mengonfirmasi klaim mbak ini.
Cinta dan Emosi
Cinta tergolong sebagai salah satu bentuk emosi (Shaver, Morgan, & Wu, 1996), meskipun peneliti masih meragukan kategorisasinya sebagai emosi dasar. Banyak akademisi setuju bahwa cinta tidak memiliki ekspresi wajah tertentu dan tidak berlangsung dalam waktu yang singkat, yang merupakan salah dua batasan emosi dasar yang diadopsi secara luas di dunia akademis (Cacioppo dkk. 2012).
Ekman & Cordaro (2011) bahkan menjelaskan bahwa cinta dapat mencakup beragam emosi ketika muncul.
Ekspektasi Melahirkan Kenyataan
Mekanisme ekspektasi memengaruhi performa manusia, dan perilaku manusia, dapat merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Bandura (1977). Seseorang dalam mencapai tujuan akan membuat suatu ekspektasi mengenai kapabilitas dirinya, self-efficacy, dan ekspektasi ini memengaruhi cara seseorang tersebut berperilaku.
Setelah menyesuaikan perilaku dengan perkiraan efektivitas kapabilitas dirinya, seseorang akan membuat ekspektasi mengenai hasil akhir dari tujuan yang sedang diusahakan tersebut.
Saya memiliki kemampuan mengupas bawang dengan cepat dan setelah proses identifikasi kapabilitas diri, saya menyesuaikan perilaku saya terhadap ekspektasi tersebut dengan mengupas bawang menggunakan teknik tertentu.
Meninjau kembali kemampuan dan teknik yang akan saya gunakan, saya dapat berekspektasi bahwa saya dapat mengupas bawang sebanyak 1000 biji hanya dalam waktu 15 menit.
Informasi Dasar Memengaruhi Penilaian dan Ekspektasi
Dalam melakukan proses identifikasi kapabilitas diri, pengalaman di masa lalu menjadi basis penilaian. Pengalaman dan penilaian kapabilitas diri akan menjadi motivasi seseorang untuk mencapai suatu tujuan dan memperkuat tekad untuk menghadapi hambatan-hambatannya (Bandura, 1977).
Keterbatasan akses terhadap informasi yang mampu mematahkan informasi yang diyakini seseorang di satu waktu akan membuat seseorang makin terpaku terhadap keyakinannya tersebut (Mussweiler, Pfeif, & Strack, 2000).
Sistem di Dalam Otak Manusia
Menurut Thaler & Sunstein (2008), manusia memiliki dua sistem kognitif di dalam pikirannya, yaitu sistem otomatis, terjadi secara seketika dan tanpa melibatkan kesadaran, dan di lain sisi adalah sistem reflektif. Sistem reflektif melibatkan kemampuan berpikir dan penilaian secara sadar.
Studi yang dilakukan oleh Vytal dkk. (2012) menemukan bahwa antara emosi dan kemampuan berpikir terdapat hubungan yang kontradiktif dan terjadi persaingan antara keduanya untuk mendominasi kendali atas otak. Dengan mempersepsikan otak untuk berfokus pada fungsi berpikir, seseorang telah mengesampingkan usaha emosi untuk mendominasi.
Apakah Mustahil Berpikir ketika Sedang Emosi?
Telah diketahui bahwa cinta merupakan salah satu bentuk emosi, saya dapat simpulkan bahwa mbak tersebut sedang dihinggapi emosi. Saya akan jabarkan beberapa pendapat saya, disertai pendapat ahli, yang dapat mendukung kesangsian saya pada klaim mbaknya di awal tulisan ini:
1. Menilai tingkat kesulitan atau kemampuan diri sendiri memerlukan fungsi berpikir, tidak terjadi tanpa disadari. Mbaknya menilai bahwa pesan implisit yang saya berikan sulit untuk dipahami.
2. Mbak ini menilai bahwa informasi yang saya berikan sulit untuk dipahami. Menggunakan sudut pandang teori self-efficacy, ia meragukan kapasitas dirinya untuk berpikir di saat emosi sedang dihinggapi emosi dan berekspektasi tidak sanggup mencerna informasi yang saya berikan.
Ariely (2008) menguatkan teori ini bahwa ekspektasi memengaruhi performa manusia dan menjadikan ekspektasi tersebut menjadi kenyataan karena manusia cenderung berperilaku sesuai dengan perkiraannya.
Saya pada saat yang sama juga dihinggapi emosi, seperti memikirkan mbaknya. Tapi saya masih sanggup berpikir dan memberikan jawaban implisit yang membutuhkan kemampuan berpikir.
Saya dan mbaknya memiliki ekspektasi yang berbeda tentang kemampuan berpikir di saat emosi dan ini yang membuat perbedaan kemampuan berpikir kamu di saat itu.
3. Mbak ini meyakini bahwa emosi membuat seseorang sulit untuk berpikir, bahkan untuk menangkap pernyataan yang memiliki pesan implisit. Pengalaman dan informasi yang dimiliki mbak ini memengaruhi perilakunya, bahkan ekspekstasi kemampuannya, dalam menanggapi pesan saya.
Hal ini dapat dihindari jika mbaknya mengekspos dirinya dengan informasi-informasi yang berlawanan, seperti mencari informasi bahwa tidak sepenuhnya emosi menyulitkan seseorang untuk berpikir.
4. Emosi yang memenuhi pikiran mbaknya telah berhasil mendominasi ruang kerja otak. Jika saja mbaknya mampu memfokuskan dirinya untuk berpikir dan mempersepsikan kemampuan berpikir lebih dominan daripada emosi, tentu ia akan sanggup berpikir dan mencerna pesan implisit dari saya.
Argumen saya terhadap klaim mbaknya terlihat mengedepankan kontrol diri dan pentingnya ekspektasi untuk memperkuat kemampuan berpikir.
Akar dari segala tindakan manusia adalah pikirannya sendiri dan secara signifikan perilaku manusia didasarkan oleh hal tersebut. Apa yang terjadi di dunia ini melainkan hasil dari akumulasi tindakan manusia beserta ekspektasi yang mendorongnya.
Dapat saya simpulkan kalau mbaknya sudah menyerah terhadap emosi di dalam pikirannya. Ia membiarkan emosi mengambil alih fungsi kerja otak dan membiarkan dirinya untuk tidak terlalu berpikir.
Keputusannya ini diperkuat oleh keyakinannya bahwa emosi menyulitkan seseorang untuk berpikir, bahkan ketika emosi fungsi berpikir seseorang dikesampingkan.
Memang benar emosi dapat menyulitkan kemampuan berpikir seseorang, namun tidak sepenuhnya kemampuan berpikir hilang di saat emosi. Mbaknya hanya sudah terlalu pasrah.
Referensi
Ariely, D. (2008). Predictably Irrational (1st Editio). New York: HarperCollins Publisher.
Bandura, A. (1977). Self-efficacy : Toward a Unifying Theory of Behavioral Change. Psychological Review, 84(2), 191–215.
Cacioppo, S., Bianchi-demicheli, F., Hatfield, E., & Rapson, R. L. (2012). Definition of passionate love The brain network of passionate love Central and peripheral electrophysiological. Clinical Neuropsychiatry, 9(1), 3–13.
Mussweiler, T., Pfeif, T., & Strack, F. (2000). Overcoming the Inevitable Anchoring Effect: Considering the Opposite Compensates for Selective Accessibility. Personality and Social Psychology Bulletin, 26(9), 1142–1150.
Shaver, P. R., Morgan, H. J., & Wu, S. (1996). Is love a “ basic ” emotion ? 3, 81–96.
Thaler, R. H., & Sunstein, C. R. (2008). Nudge. New Haven: Yale University Press.
Vytal, K., Cornwell, B., Arkin, N., & Grillon, C. (2012). Describing the interplay between anxiety and cognition : From impaired performance under low cognitive load to reduced anxiety under high load. Psychophysiology.