Wahai kaum clik bait, saya mohon untuk tidak tertipu dengan judul panjang tulisan ini. Saya kali ini ndak mau bicara berat-berat, cukup hidup kita saja yang berat, obrolan kita jangan. Jadi gini, saya cuma mau cerita, kenapa ya ketika saya mendalami  sebuah bidang, saya malah semakin merasa ngambang di permukaan. Ikut kelas ngedit, semakin ngerasa nggak bisa ngedit. Ikut kelas make up, semakin merasa nggak bisa make up. Terkhir, ikut kelas menulis, malah semakin merasa “kosyong” merasa ndak bisa nulis.

 “Alah, merendah untuk meroket kamu i,” tutur teman saya yang ndak memahami keanehan rasa yang saya tuturkan tadi. Memang perasaan tersebut enggan timbul kalau belum melakoninya secara mandiri. Dan ya …, kalimat nggapleki demikianlah yang membuat saya semakin malas ngobrol sama orang. Saya tidak punya kesiapan mental menjawab hal-hal memojokkan demikian. Saya cukup malas dalam berdebat dan meladeni mereka-mereka. Saya memilih jalur aman dengan cara menulis keresahan-keresahan saya di catatan gawai ataupun di beranda semacam ini.

***

Jadi, awal mula saya terjerembab di dunia kepenulisan ini dimulai sejak 5 tahun lalu. Saya tertarik membuat kepsyen-kepsyen estetik sampai sok-sokan membuat puisi, untuk sekadar memantaskan diri gabung dalam pembuatan buku antologi. Saya benar-benar tidak punya bekal sama sekali. Modal keterampilan berbahasa Indonesia yang ala kadarnya, kok saya berani-beraninya join menulis buku bersama. Padahal jika dilihat-lihat, nilai Bahasa Indonesia saya pun sangat kacau. Nilainya berada di urutan paling bawah dibanding 3 mata pelajaran Ujian Nasional yang lain, kala itu.

3 tahun berlalu, saya tetap seorang introvert dengan gaya penulisan sendu dengan kaidah yang masih ngawur ngalor-ngidul. Sampai akhirnya pandemi datang, saya mulai sedikit bergeser menulis hal-hal yang sedikit lebih serius dan panjang, karena kian hari, saya semakin sadar akan realitas digital. Ditambah lagi era post-thruth yang kian menggempur jagad per-sosmedan. Saya sang introvert memberanikan diri mengutarakan pendapat-pendapat saya dan keluar dari zona nyaman.

 Dengan pertimbangan matang, saya memberanikan diri bergabung dalam perekrutan jurnalis sebuah media online guna menjalankan misi besar untuk memberi angin segar dalam kazanah pemberitaan. Saya menjadi jurnalis juga tak berbekal banyak hal. Keberanian yang pas-pasan, keterampilan menulis yang kurang,  dan banyak lagi. Tapi setelah setahun berada dalam ekosistem yang demikian, jiwa–jiwa menulis saya benar-benar mulai terbangun. Wkwk iya, saya seperti mendapat panggilan jiwa untuk mendalami bidang kepenulisan diluar tugas utama saya sebagai seorang jurnalis.

Libur semester 3 kemarin, saya manfaatkan betul. Saya alokasikan segenap waktu untuk menyimak laptop dan 2 gawai kentang saya guna mengikuti kelas menulis online. Saya bersyukur, dalam ekonomi keluarga kami yang serba ngepas, saya punya sedikit tabungan untuk turut merasakan kelas menulis yang saya idam-idamkan demikian. Saya cukup senang bisa check out kelas menulis dengan mentor yang bukan sembarangan, seorang esais dan kolumnis kondang asal Bantul bernama Iqbal Aji Daryono.

Kelas beliau cukup menyenangkan, karena Mas Iqbal sendiri pembawaannya fun. Pemaparan materinya cukup lengkap dan bahkan materi kelas beliau tidak akan kalian dapat di google dan buku-buku sekalipun. Materi dengan teknik yang cukup rare, tips-tips menarik sampai tutorial tulisan yang menggelitik. Tapi, saya yang notabene ndak senang membaca ini, sedikit kesulitan mencerna teknis dan sistematika tulisan esai beliau. Saya begitu sadar cakrawala berpikir saya yang terbatas mengakibatkan kegagal pahaman. 

Tak hanya perkara membaca, ternyata menulis apapun entah opini ataupun esai itu membutuhkan pengalaman-pengalaman kehidupan loh. Seperti interaksi dengan banyak orang, membaca buku, menonton drama sebagai bahan besutan atau pemantik dalam tulisan esai. Semuanya saling berkaitan. Hla saya anti semuanya. Membaca buku ndak, bersosialisasi dengan orang banyak ndak, menonton drakor apalagi, blass. 

Karena itu, saya banyak kendala ketika menulis.  Apalagi ketika kita dituntut menyodorkan kebaruan dalam tulisan opini atau esai. jika kalian jarang membaca seperti halnya saya, tentu kalian juga akan mengalami kesulitan yang sama seperti saya. Permasalahan logika yang kurang atau bahkan tidak tajam, menjadikan kualitas tulisan kita berada di bawah. Dan yang paling menyedihkan, tentu tulisan kita tidak akan banyak dilirik orang bahkan diskip editor.

Dari pengalaman-pengalaman demikian, saya menarik kesimpulan bahwasanya membaca, memperbanyak pengalaman bisa banget menjadi pemantik ide tulisan.  Ya ..., mulai detik ini saya putuskan  pelan-pelan  melangkah dari lingkaran melankolis ini. Saya pengen menulis hal besar serta ingin memberi sumbangan cakrawala berpikir yang tidak common sense kepada khalayak ramai. Dan semoga semester depan, saya sudah punya draf tulisan untuk disetor ke penerbit, ya man-teman ..., doakan!!