Saya cinta Barcelona. Bukan seperti umumnya supporter karbitan yang memuja Barca karena kejayaannya akhir-akhir ini. Saya menyukai Barcelona sejak era Patrick Kluivert bermain disana. Dia bukan pemain yang spesial tapi saya suka melihat sepak terjangnya di Nou Camp. Sejak itu saya mulai memperhatikan klub asal Catalan ini.

Rasa suka saya semakin bertambah saat mengetahui bahwa Barcelona adalah salah satu dari klub sepakbola yang tidak menggunakan logo sponsor apapun di bagian depan jersey-nya. Suatu kebijakan klub yang kadang dianggap arogan oleh banyak orang dan merendahkan klub-klub lain yang masih bergantung pada sponsorship. 

Menurut Elizabeth Hanchett melalui philosofooty, Barcelona adalah satu diantara 2 (dua) klub sepakbola yang sudah beratus tahun tidak meletakkan logo sponsor di kaosnya, yakni Barcelona dan Athletic Bilbao. Barcelona sendiri sudah mulai menampilkan logo UNICEF sejak tahun 2006-07. Disusul kemudian oleh Athletic pada musim 2008-09 setelah mereka berpartner dengan perusahaan petrokimia asal Basque; Petronor.

Kerjasama Barcelona dengan UNICEF pun dilandasi oleh sikap kepedulian klub pada sisi kemanusiaan. Barcelona berkomitmen untuk mendonasikan dana sejumlah 1,5 juta Euro tiap tahunnya selama periode kontrak 5 (lima) tahun kepada UNICEF dalam rangka mendanai proyek-proyek memerangi wabah HIV dan AIDS di Amerika Latin dan Afrika. Tentu saya semakin suka dengan Barca. Jika klub lain menerima dana dari pihak sponsor, justru Barca memberikan dana untuk pihak sponsor.

Tapi keteguhan pihak klub untuk memegang prinsipnya, pantang menerima dana dari pihak sponsorship mulai patut dipertanyakan saat tahun 2010. Kala itu Barcelona menandatangani perjanjian kerjasama dengan Qatar Foundation. Walaupun memang Qatar Foundation adalah sebuah organisasi kemanusiaan yang juga bertujuan memajukan pendidikan, riset bidang kedokteran dan pengembangan daerah-daerah di Negara berkembang.

Agak sulit melihat bahwa semangat Barcelona disini adalah semangat yang sama saat mereka bekerjasama dengan UNICEF. Publik bisa melihat bahwa klub sedang mengalami kesulitan financial (baca : banyak hutang) saat berganti kepemimpinan kepada Sandro Rossel. Suksesor Laporta itu mengajukan gugatan kepada pendahulunya dan menuntut agar Laporta membuka secara transparan laporan keuangan selama masa kepemimpinannya. Faktanya bahwa nilai sponsor yang diberikan Qatar Foundation kepada Barcelona adalah sebesar 30 Juta Euro per tahun.

Prinsip independensi Barcelona pun benar-benar runtuh saat Qatar Airways masuk menggantikan Qatar Foundation di musim 2013-2014. Sempat saya berpikir kenapa Barcelona pun akhirnya terperangkah dalam praktek kapitalisme seperti ini. Tampaknya saya lupa, bahwa sebenarnya Barcelona pun didirikan oleh seorang kapitalis, seorang pengusaha asal Swiss Joan Gamper pada tahun 1899. 

Gamper bercita-cita untuk mengakomodasi semangat otonom rakyat Catalan yang merasa bahwa telah terjadi penindasan atas mereka oleh pihak monarki Spanyol. Tapi semangat kapitalisme tidak begitu kentara kala itu karena Barcelona bertransformasi menjadi sebuah simbol perlawanan, lambang nasionalisme inklusif. Perlawanan yang agak semu karena sejatinya mereka hanya mampu berteriak dan bersorak sorai didalam stadion, tanpa pernah ada gerakan perlawanan yang nyata.

Semangat nasionalisme dan simbol perlawanan itulah juga yang membuat Barcelona tampak eksotis di mata saya. Semangat nasionalisme yang diterjemahkan oleh Guardiola dengan cara mengharuskan setiap pemainnya untuk berbicara dalam bahasa Catalan, instruksi yang membuat Eric Abidal terheran-heran.

Kita simpan dulu faktor-faktor tersebut diatas yang membuat Barcelona begitu menarik. Mari tengok faktor lainnya yakni Filosofi sepakbola atraktif yang diusung mereka. Konsep pertahanan terbaik adalah menyerang warisan Johan Cruyff ini menjadi daya tarik sendiri buat Barcelona. Faktor inilah yang melatarbelakangi pertanyaan di benak saya soal masih layakkah untuk setia pada Barcelona. Karena kita bisa melihat begitu stagnan-nya permainan Barca saat ini.

Tak dipungkiri, Lionel Messi telah menjelma menjadi salah satu ikon legenda Barca. Kehadirannya ibarat sepotong puzzle pelengkap strategi tiki-taka yang sempat menakutkan itu. Namun yang namanya puzzle tetaplah puzzle. Tanpa satu potongan tersebut maka gambar tidak akan lengkap dan sempurna. Sering kita lihat betapa kesulitannya Blaugrana menghadapi tim-tim medioker kala tidak hadirnya Messi di formasi mereka. Kebergantungan pada Messi ini sungguh akan menjadi blunder bagi Barcelona. Paradigma yang berkembang adalah bahwa Barcelona tidak akan bisa apa-apa tanpa sosok Messi.

Saya mengimani kuasa Tuhan dalam proses pertumbuhan sebuah pohon. Benih yang ditanam dalam tanah akan bertumbuh menjadi pohon yang rindang apabila berada dalam lingkungan tanah yang subur, mendapat air dan sinar matahari yang cukup. Barcelona mengejawantahkan konsep pertumbuhan pohon ini dengan apik melalui La Masia, akademi yang sudah melahirkan Messi, Xavi, Iniesta dan pemain hebat lainnya. 

‘Pohon’ mereka saat ini bukan lebat daunnya tapi juga sudah menghasilkan buah yang matang dan bisa dinikmati banyak orang. Tapi layaknya siklus kehidupan sebuah pohon pun juga akan berhenti tumbuh pada umur tertentu dan lalu mengalami kematian. Siklus kematian yang akan terjadi pada Barcelona apabila mereka tidak mengantisipasinya sejak dini.

Bergesernya nilai-nilai perjuangan dan prinsip yang diusung oleh klub ini membuat saya patut berpikir ulang untuk tetap setia dan cinta kepada Barcelona.

Saya mungkin tidak se-militan fans Liverpool yang tetap setia pada klub-nya walaupun sempat terjerat konglomerat asal US; Tom Hicks dan George Gillet selama 44 bulan. Tapi saya mulai mengevaluasi rasa cinta saya pada September 2016, kala Barcelona ditekuk 1-2 oleh Alaves tepat 2 (dua) hari setelah sang presiden Josep Bartomeu meresmikan kantor perwakilan mereka di New York dan memaparkan visinya untuk mencapai revenue 1 milyar Euro.