Tak terasa, kita sudah memasuki fase akhir daripada bulan ramdahan. Yakni fase yang acapkali disebut fase “itqun min an-nar”. Tentu saja, fase akhir ini menyedihkan sekaligus menggembirakan. Menyedihkan karena ramadhan terasa begitu cepat berlalu.

 Kesenduan-religiustis ramadahan yang begitu indah sangat berat untuk dilepaskan. Menggembirakan  karena budaya Lebaran (seremonial idul fitri) dalam kultur Indonesia mengenal istilah “mudik”.  Mudik dari asal kata ‘udik’ yang bemakna “kampung”, “pelosok”, menyiratkan makna bahwa manusia kembali me-ngampung, men-ndeso. Berkumpul bersama sanak famili di kampung dengan suasana khasnya.  

Mudik Kultural

Sebagian besar orang yang tinggal di kota adalah orang-orang kampung yang berjuang mengadu nasib. Ingin memperbaiki kehidupan dan mencapai kemapanan. Dengan segala getir dan kerasnya hidup mereka terus berpacu membenahi nasib. Ada yang melalui pendidikan, politik, bisnis, buruh, dagang, dan berbagai profesi lainnya. Intinya tujuan mereka sama: mendambakan kesuksesan, kesejahteraan dan kebahagiaan.

Saat ramadahan tiba, dapat dipastikan bahwa orang-orang ini mengalami gelayut psikologis yang menderu, pilu, dan mengharu-biru, karena menyimpan kerinduan pada moment estetik puasa dan lebaran di kampung halaman. Karena menikmati ramdahan di kampung adalah momen paling syahdu dan khas: suara mercon, tabuhan bedug, suara tadarus via pengeras suara masjid di kampung-kampung bersahut-sahutan.

Suasana subuhnya begitu puitik dan romantik, mulai dari panggilan sahur, suara tilawah (kaset) yang merdu, suara tarhim yang melahirkan kesenduan-religiustis. Orang berbondong-bondong sholat subuh ke Masjid. Selepas sholat subuh, muda-mudi menikmati jalan-jalan pagi, aktivitas yang satu ini oleh salah seorang teman saya disebut “asmara subuh”, karena momen tersebut kadang digunakan muda-mudi untuk sekadar saling cari perhatian satu sama lain.

Momen-momen itulah yang membongkar imajinasi masa lalu tentang desa. Kita kembali menziarahi identitas kultural kita, juga identitas genealogis kita. Dan tentunya tentang kerinduan kepada keluarga. Oleh sebab itu,  orang-orang begitu merindukan mudik. Yakni kembali pulang kepada kedirian dan keasliannya: sebagai orang kampung. Maka tak heran, dalam tradisi lebaran di Indonesia, aktifitas mudik pada sepuluh hari terkahir ramdahan begitu tumpah-ruah, kendaraan memenuhi jalan-jalan kota menuju desa.   

Mudik bukan sekadar soal pulang dan kerinduan. Mudik juga tentang membawa pulang kabar bahagia dan kesuksesan. Pada momen ini orang-orang biasanya membawa pulang kabar bahagia kepada keluarganya: cerita tentang kesuksesan studi, tentang kenaikan pangkat, tentang pekerjaan baru,  tentang kesuksesan bisnis, dan cerita tentang seorang jomblo yang telah menemukan tambatan hatinya, dan seterusnya. Semua cerita itu terbalut dalam  suasana kekeluargaan yang penuh kehangatan dan kebersamaan.

Lalu apa yang bisa dipetik dari momen kultural itu? Jawabnya adalah hidup dimulai dari satu titik kemudian berproses dan kembali ke titik yang semula. Dari kampung menuju kota, lalu kembali ke desa. Dari bangun tidur, kemudian beraktifitas, kembali pulang, kemudian tidur lagi.

Jadi,  proses  hanya-lah sebuah perjalanan untuk kembali. Proses hanya sebuah “jeda” sebelum  ‘pulang’, kembali  ke rumah seraya menyemai segala kerahiman bersama keluarga. Demikian kira-kira, secara kultural,  ‘idul fitri dapat dimaknai. 

Mudik Spiritual    

Orang-orang yang mudik sesungguhnya sedang menjalani teologi “ilaihi  roji’un”. Setiap orang pada saatnya pasti mudik ke kampung halaman abadi. Mudik spritual. Yakni kembali ke hadapan Allah sang maha pemilik segalanya. Perjalanan pulang itu tentunya penuh liku, menempuh jarak yang cukup panjang dan melelahkan. Stasiun pertama adalah kematian, saat malaikat maut menjemput. Kemudian menuju alam akhirat yang kekal abadi.    

Rasulullah senang sekali membaca surat al-‘A’la dan al-Ghasiyah ketika melaksnakan  sholat Id. Dari dua surat itu kita bisa menemukan dua kata kunci: Pertama, Qad aflaha man tazakka wa zakara isma rabbihi fashalla. Dan kedua,  Inna ilayna iyyabahum, tsumma inna alayna hisabahum.

Kata kunci pertama: Qad aflaha man tazakka wa zakara isma rabbihi fashalla, bicara tentang pentingnya mensucikan jiwa, berzikir kepada Allah dan menunaikan sholat.  Tiga hal ini adalah sebentuk laku, yang mengisi proses perjalanan manusia sebelum mudik menuju Tuhannya. Sebagai musafir (di dunia) manusia memiliki kewajiban untuk menyiapkan bekalnya sebelum ‘mudik’ ke kampung halaman abadi. Serta, ia akan mempertanggungjawabkan segalanya kelak di sisi Tuhannya.

Kata kunci kedua: Inna ilayna iyyabahum, trsumma inna ‘alaina hisabahum. Ayat ini menegaskan bahwa manusia pasti kembali. Mudik hakiki ke kampung halaman abadi. Dan Tuhan-lah yang akan meng-hisab segala jejak-lakunya. Lalu, sudahkah kita menyiapkan bekal terbaik untuk sebuah mudik yang hakiki? Pertanyaan tersebut tentunya sangat menyentak dada dan mengiris hati nurani kita. Karena selama ini kita begitu banyak alfa. 

Tak ada yang lain, bekal terbaik untuk mudik hakiki adalah taqwa. Sebagaimana tujuan berpuasa, yakni la’alakum tattaqun. Definis taqwa dalam al-Qur’an sangat komperehensif. Dalam surat Ali Imran ayat 133-135, misalnya, taqwa dimaknai sebagi sikap “rela menginfakkan harta dalam kedaan susah dan senang, mengendalikan amarah, memaafkan orang lain, sering berbuat baik, cepat meminta maaf bila berbuat salah dan tidak mengulanginya lagi”.

Definisi taqwa dalam surat ini menggambarkan bahwa taqwa erat kaitannya dengan relasi-sosial, etika, dan integritas. Taqwa tidak semata-mata melangit, namun taqwa itu sebenarnya membumi, berdimensi hablun mina an-nas.

Sedangkan dalam surat Al-Dzariyat 16-29, taqwa dimaknai sebagai “mengisi sebagian besar malam untuk bemunajat kepada Tuhan, memohon ampunan pada waktu sahur, memberikan harta pada orang-orang miskin dan yang berkekurangan”. Dalam surat ini, taqwa adalah sebentuk sinergisitas antara intimasi transedental dengan Tuhan dan keberpihakan kita pada orang-orang yang terpinggirkan, lemah dan papa.

Maka dari itu, kemenangan personal di hari fitri melalui ritual intimasi transendental dengan Tuhan tidak akan lengkap tanpa kepedulian dan pembelaan kita terhadap saudara-saudara kita yang mengalami kekalahan secara struktural. Yakni orang-orang tergilas oleh sistem, orang-orang yang tergusur akibat kekejaman pemimpin. Orang-orang yang terusir, dirampas tanahnya  oleh kehadiran industri kapitalistik. Itulah hakikatnya taqwa.

Penutup

Akhirnya, saat-saat menjelang ramdahan pergi meninggalkan kita, semoga kita selalu bisa memaksimalkan momentum anugerah tertinggi ini. Menikmati Kondisi kebahagiaan yang teragung ini. Semoga idul fitri benar-benar menjadi titik paling sublim oleh proses laku puasa yang telah kita jalani.

Dengan demikian, hidup kita dipenuhi oleh kebersihan spiritual, kejujuran intelektual, kesehatan mental dan kepantasan moral. Dengan kondisi semacam itu, semoga kita bersiap menghadapi mudik kultural ke kampung halaman dan mudik hakiki ke kampung keabadian (akhirat). Irji'iy ila rabbiki raadiyatan mardiyah, fadkhuli fi 'ibadi wa-adkhuly al-jannati. 

Selamat mudik, selamat dalam perjalanan, selamat merayakan Idul Fitri bersama keluarga.