Beringas, panas, penuh dialektika sering dijadikan percontohan akan ciri dari jiwa muda. Mahasiswa baru yang awal mengenal apa itu kiri, sering dibawa alunan konsep pemikirannya. Kritik kuat dan menentang realitas semu, menjadi objek kajian hingga dini hari, rela mereka lakoni.

Sering sekali Mahasiswa baru melontarkan pernyataan dengan “Anti Kapitalisme!”, “Hidup rakyat miskin kota,” ketika mereka telah dijejali dengan penataran ala Palmiro Togliati atau semangat Che Guevera sang revolusioner Kuba.

Tak salah sih, untuk terjun dan memahami konsep dan semangat gerakan mereka. Akan tetapi, sering kali pemahaman secara dasar dan beruntun luput dari pembahasan. Misalnya saja –anti kapitalisme tapi kalau masalah branded pakaian, mereka rela habiskan uang ratusan bahkan jutaan rupiah.

“Tapikan niat gue bantu buruh yang dihisap hak nya!” munculah debat dadakan kalau bincang dengan anak yang berjiwa muda dan panas. Tapi Menarik! Konsumerisme adalah bagian dari tujuan orang-orang kapital. Tapi kalau belajar ekonomi, kita disarankan untuk menjajakan uang kita agar membantu ekonomi sektor mikro tetap berjalan.

“Kan ekonomi itu panjang tangan dari orang-orang di lingkup kapitalisme.” Benarkah demikian? Perlu kita analisis kembali, sebenarnya kapitalisme itu apa sih? Kutukankah? Disamping tumbuh suburnya gerakan anti developmentalisme perlu kita sisir kembali dengan kepala dingin. Oke?

Anti develompentalisme sering dijadikan objek kajian, karena alasan kerusakan alam dan beberapa efek domino yang ditimbulkan. Prototype tentang anti developmentalisme diharapkan turun ratu adil agar memberikan kebijakan yang adil tanpa ada penindasan dan kerusakan.

Namun, sistem hari ini sudah terlanjur terkonsep sangatlah kompleks. Di tengah jargon anti kapitalisme dan developmentalisme, uniknya mereka mampu memberikan lapangan pekerjaan dan harapan pendapatan bagi negara. “lah, justru itu, kita sebenarnya dikerdilkan oleh sistem yang menindas.” Tandas pemuda.

Kondisi semakin menarik ketika Gunnar Myrdal mengagas teorinya traditionalist ideology yang fokusnya pada peningkatan produk skala kecil, agar tercipta kondisi padat karya. Selanjutnya, muncul lah golongan Neo-Gandiisme dimana lebih fokus pada akar rumput untuk menjawab kondisi hari ini.

Nah, tak perlu kaget kalau sampai sekarang terus terjadi pergolakan intelektual untuk menghantam teori satu dengan teori lainnya dengan harap kebenaran yang mutlak. Sebenarnya apa sih epistemologi dari Gunnar Myrdal ini? Sampai-sampai tetap bisa eksis dan digandrungi oleh beberapa pemikir hari ini? Mari kita dedah!

Kerusakan alam, hancurnya moralitas dan mungkin iri dengki atas kekayaan orang lain menjadi faktor teori ini relevan untuk mengkritik pemikiran David Ricardo sampai Raul Prebich. Hijau, udara segar menjadi harapan untuk terciptanya kehidupan yang lebih baik seperti terjadi di era sebelum revolusi industri.

Industrialisasi dan pembangunan infrastruksur kadang membuat panas mulut dan telinga mereka, dengan alasan merusak sumber daya alam (SDA). Ide traditional ideology lebih menekankan bagaimana masyarakat bisa hidup dengan bercocok tanam ala tradisionalis yang ramah terhadap lingkungan.

Lalu mampukah negara mempertahankan ide seperti yang Myrdal inginkan? Kalau dilihat dari kacamata ekonomi dan politik, jelas saja kita akan dicecar sebagai negara yang tertinggal dan tidak mau berubah apabila tidak menerapkan sistem yang mayoritas inginkan.

Hal yang menarik dan harus diingat bahwasannya Myrdal mendambakan peranan pemerintah agar bisa menjadi kran regulasi atas kebebasan perekonomian yang menciptakan efek domino bagi negara berkembang dan negara yang tertinggal.

Backwash Effect namanya. Backwash Efect dapat berefek terhambatnya pembangunan negara terbelakang karena persaingan pasar bebas yang sangat kuat. Secara simultan akan muncul ketimpangan sosial. Lalu bagaimana solusi dari problematika tersebut?

Myrdal menekankan peranan pemerintah untuk lebih tegas dan menyisir kembali dampak negatif dari teori neoklasik mengenai keunggulan komparatif. Individualitas untuk membangkitkan perekonomian secara liberal, sering membangun jurang pemisah antara kaya dan miskin.

Peranan pemerintah, ditekankan untuk mengatasi problem tersebut. Masih percaya dengan pemerintah? Indeks Incremental Capital-Output Ratio (ICOR) sempat disinggung oleh Faisal Basri yang menariknya angka ICOR di Indonesia sangatlah tinggi sebesar 6,5 persen, jauh dari angka normal.

Kebutuhan pasokan investasi untuk negeri patut kita hargai, memang dibutuhkan adanya. Akan tetapi karena besarnya nilai ICOR, berdampak pada minimnya hasil investasi yang didapatkan karena ada permainan elite kotor yang melahap laba yang semestinya untuk negara. Alasan itulah, mengapa Antonio Gramsci mengibaratkan pemerintah sebagai kaki tangan kapital, bukan sebaliknya. Ketidakpercayaan dan kritik atas pemerintah akan terus berlanjut, apabila negara tidak bisa berbenah.

Disamping itu, subjek gerakan kiri juga harus bisa menawarkan solusi agar tidak menambah jurang keterpurukan. Kadang, gerakan kiri dinilai anti kemapanan yang kadang merusak citra gerakan tersebut. Kala pemerintah membangun infrastruktur untuk kelancaran distribusi, kekolotan kadang nampak saat bersikukuh dengan pemerintah.

Hari ini sangatlah begitu kompleks. Perlu adanya kebijaksanaan dari epistomologi yang sering mereka pakai seperti; Karl Marx, Michael Bakunin hingga Herbert Marcuse. Konsep Herbert Marcuse dengan One Dimensional Man nya, perlu kita kuliti kembali untuk mencari celah dan mendapatkan solusi yang bijak.

Raksasa Kapitalisme

Mengambil teori dari Paul Rosenstein-Rodan, Rodan menekankan investasi sebesar mungkin sangat digadangkan bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lebih besar untuk sektor mikro sampai makro.

Tak lain dan tak bukan, kegunaan dari investasi itu ditujukan kepada tumbuh kembang perekonomian. Adanya modal menandakan harapan bagus untuk meminimalisir dari jurang pengangguran dan beberapa problem klasik ekonomi lainnya. Pemerintah bertugas untuk memberikan wadah melalui regulasi yang harus di tujukan kepada masyarakat bawah agar tidak terjadi trickel up efect.

Konsep kapitalisme sudah mengalami revolusi dengan berkamuflase memasuki kondisi kultural yang sedang dilakoni oleh masyarakat. Segmentasi efek dari kapitalisme bukan lagi tentang si kaya dan si miskin. lebih dari itu.

Kebudayaan dan kesadaran masyarakat juga terkena imbasnya. Kepiawaian orang-orang kapital ini sangatlah halus dan lincah. Mereka mampu memanfaatkaan kondisi dan dijadikan lahan basah untuk kepentingan mereka.

Peranan kaum filantropi sering dapat panggung untuk mempengaruhi ranah dan visi masyarakat pada hari ini. Visioner, gagah dan jelasnya memiliki sokongan dana bertriliun-triliun, membuat tercengang manusia yang melihatnya.

Industrialisasi sebagai kunci untuk merealisasikan target dan visi filantropi agar tercapai. Komponen variabel dari objek primer yang mereka miliki ini, memiliki pengaruh terhadap eksplotasi sumber daya alam penunjang industrialisasi.

Kebutuhan akan pemenuhan ekonomi adalah aspek vital dan mempengaruhi substrukstur; sosial, politik dan kebudayaan. Kalau kita lihat dan amati dari prespekti Marx, hasil akumulasi primitif akan dikantongi oleh si pemilik modal.

Menariknya, pemilik modal yang menjelma menjadi filantropi, mampu beradaptasi dan memberikan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, baik secara rill atau bahkan kebutuhan eksistensi.

Alhasil, masyarakat akan terkonstruk menjadi apa yang pemilik modal inginkan. Glamor, uang adalah tujuan, pembangun untuk kemajuan menjadi halal walaupun kemungkinan pengaruh negatif itu ditinggalkan.

Terjebaknya masyarakat atas ruang yang diciptakan oleh persekongkolan kaum kapital, menambah stigma buruk bagi aktivis. Timbulah pola wacana dengan dinilai berdasarkan; uang, uang dan ketenaran.

Konklusi peralihan muda berjiwa kiri dan tua menjadi kanan adalah bentuk terombang-ambingnya pemahaman kiri karena hegemoni pemikiran kanan yang telah merasuk di beberapa aspek dan seakan epistemology ke-kirian dianggap usang dan harus berubah ke-kanan sesuai dengan mayoritas orang-orang kanan pikirkan. Sekian.