Setelah melalui perdebatan publik yang cukup panjang antara komentar mendukung dengan menolak anggaran pelatihan saksi dibebankan pada negara, akhirnya melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 351, pelatihan tersebut diamanahkan ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

Saksi yang berhak mendapat pelatihan dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, peseta pemilu perseorangan (Dewan Perwakilan Daerah) serta Partai Politik di seluruh wilayah Indonesia menyentuh angka 14.591.718 orang.  

Saksi adalah orang yang mendapat surat mandat tertulis dari tim kampanye atau Pasangan Calon yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik serta peserta perseorangan.

Bandingkan saja jumlah kebutuhan tersebut dengan total jumlah warga negara kecil wilayah Eropa, misal Islandia, mereka hanya berpenduduk 300.000-an orang, atau yang lebih besar seperti Finlandia yang penduduknya hanya sekitar 5,5 juta orang.

Hal itu baru saksi, belum lagi petugas penyelenggaranya seperti Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) sampai petugas ketertibannya. Orang yang terlibat pada 17 April dalam jumlah besar inilah yang membuat KPU dan Bawaslu sering dijadikan rujukan penyelenggaraan pemilu bagi negara lain.

Posisi Parpol dalam Pelatihan Saksi

Kembali ke masalah saksi pemilu. Beberapa partai politik yang sudah kuat dan mapan tentu momen pelatihan ini tidak dimaknai hanya sebagai kegiatan normatif. Bukan sekadar agar saksi mengetahui ketentuan suara sah dan tidak sah, ketentuan warga negara agar mempunyai hak pilih dan hal teknis-normatif lainnya.

Pelatihan saksi juga mereka maknai sebagai ajang desiminasi ideologi partai masing-masing. Strategi pemenangan yang terstruktur dan kerja-kerja yang tidak sekadar berlangsung hanya di hari pencoblosan saja. Hal ini bisa dijadikan dalih Parpol untuk tidak terlalu antusias terhadap pelatihan yang diamanahkan UU kepada Bawaslu, itu wajar.

Sebagai badan negara yang independen, tentu sebenarnya ada peluang di mana semangat pasal 351 UU No.7 ini membuat Bawaslu bersama Parpol menuju demokrasi yang lebih baik. Misal argumen bahwa setiap partai membutuhkan saksi di setiap TPS agar terhindar dari kecurangan peserta lain atau bahkan penyelenggara, maka Bawaslu adalah lembaga yang integritasnya bisa dinilai cukup baik untuk membawa Parpol menghindari dua hal tersebut.

Peningkatan kualitas saksi dalam memahami prosedur dari produk hukum kepemiluan, tentu akan berbanding lurus dengan menurunnya angka pelanggaran pemilu, baik administrasi ataupun pidana. Saksi yang kompeten bisa mencegah terjadinya pelanggaran pada tahap sebelum pemungutan suara, ketika pemungutan suara berlangsung serta saat penghitungan suara selesai dilaksanakan.

Jika pun angka pelanggaran bertambah, tentu ini bisa dimaknai karena pemahaman saksi yang meningkat dan memahami tugas pengawasan yang diamanahkan parpol kepadanya, mengingat pelatihan serempak ini dilakukan untuk pertama kalinya. Bisa saja angka pelaporan pelanggaran dari saksi yang masih kecil dikarenakan kompetensi saksi yang buruk dalam pembuatan laporan pelanggaran.

Jika setiap parpol mengirim kader terbaiknya sebagai saksi untuk dilatih Bawaslu, maka sesungguhnya Parpol telah membantu proses peningkatan kualitas demokrasi dalam konteks “penyelenggaraan pemilu”. 

Apalagi kalau Bawaslu punya standarisasi terkait kualifikasi saksi yang harus dikirimkan masing-masing Parpol. Maka pelaksanaan Pemilu bisa dikatakan makin mendekati prinsip-prinsip kepemiluan secara lebih ideal.

Saksi dan Fungsi Pengawasan Bawaslu

Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) melakukan survei pada akhir Januari 2019 terkait integritas penyelenggara pemilu. Survei tersebut mengambil 1.426 responden dari seluruh wilayah Indonesia. Pertanyaan survei menegnai tanggapan masyarakat terhadap kemampuan Bawaslu mengawasi Pemilu sesuai dengan UU dan aturan yang berlaku.

Berdasarkan Hasil survei tersebut, 11% responden sangat yakin Bawaslu mampu memenuhi tugasnya dalam mengawasi penyelenggaraan Pemilu, 68% responden yakin jika Bawaslu mampu melakukan pengawasan, sementara hanya 1% responden yang tidak yakin, sisanya tidak menjawab atau tidak tahu. Isu surat suara dalam kontainer, kotak suara kardus atau isu ketidaknetralan Bawaslu berdasarkan hasil survei ini tentu bisa tertepis.

Dengan kepercayaan masyarakat yang tinggi pada Bawaslu, sudah seharusnya membuat Parpol mendistribusikan saksi-saksinya untuk mewakili kepentingan mereka, sekaligus ikhtiar peningkatan kualitas demokrasi dari aspek pengawasan Pemilu. Jika semua Parpol berkomitmen meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia, pelatihan saksi yang profesional akan berdampak signifikan.

Pelatihan Saksi dalam Wacana Golput

Dampak pelatihannya tentu sesuai mandat saksi diterjunkan untuk mengawasi TPS, agar terjadi pemungutan suara yang jujur, adil dan sesuai ketentuan hukum. Pelatihan ini secara teknis juga memungkinkan partai yang belum mempunyai suprastruktur kuat dan merata di wilayah Indonesia, dapat mendelegasikan saksinya yang berkompeten.

Mengingat derasnya gelombang masyarakat yang menyuarakan Golput, maka kualitas penyelenggara sekaligus penyelenggaraan Pemilu harus ditingkatkan. Sudah sewajarnya jika penyelenggara seperti Bawaslu harus mau bekerja lebih keras. Di satu sisi tetap mengerjakan tugas pokoknya berupa pengawasan, di waktu bersamaan mereka juga diporsir tenaganya mendidik jutaan saksi sesuai amanah UU.

Sementara bagi Parpol, selama masih ada yang menyuarakan Golput, berarti masih ada ketidakpercayaan masyarakat dalam satu kesatuan sistem kepemiluan. Ketidakpercayaan ini harus mereka jawab dengan berbagai hal, seperti peningkatan demokratisasi di internal partai dalam setiap tahapan kerjanya, pendidikan politik ke masyarakat, serta mengikuti peraturan hukum tentang kepemiluan ini dengan sebaik mungkin.

Jangan sampai Parpol melawan gerakan Golput dengan retorika dan ancang-ancang untuk makin mengecewakan harapan masyarakat. Komitmen untuk merebut kepercayaan masyarakat dalam proses Pemilu ini bisa mereka awali dengan terlibat dalam pelatihan saksi dengan serius, bukan sekedar asal comot untuk memenuhi kuota. Karena yang harusnya dipenuhi mereka adalah harapan masyarakat pendukungnya.