Angka gini rasio sering kali kita lihat dalam berbagai pemberitaan maupun publikasi. Angka ini mencerminkan tingkat kesenjangan dalam masyarakat. Per Maret 2019, gini rasio menyentuh angka 0,382 mengalami perbaikan dibandingkan periode sebelumnya. Kendati demikian, ketimpangan ini bukan tanpa dampak.
Adanya ketimpangan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya mendorong terjadinya mobilitas tenaga kerja. Yaitu gerak penduduk melintasi daerah satu menuju daerah lain dalam periode waktu tertentu.
Penduduk memilih bekerja di pusat perekonomian yang memberikan upah dan kesempatan kerja lebih tinggi dibandingkan daerah tinggal. Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa Indonesia memiliki kecenderungan surplus tenaga kerja sehingga masalah ketenagakerjaan termasuk mobilitas ini menjadi sangat penting.
Mobiilitas tenaga kerja ini terbagi dalam mobilitas spasial (permanen dan non permanen) dan non-spasial (perpindahan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, menurut sektornya maupun status pekerjaannya).
Di Indonesia terdapat banyak pekerja kategori mobilitas nonpermanen, yaitu berpindah sementara waktu baik komuter (pulang-pergi setiap hari) maupun sirkuler (menginap di daerah tempat kerja dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan).
Banyaknya tenaga kerja yang memilih mobilitas nonpermanen ini sehubungan dengan kecocokannya untuk pekerjaan sektor informal (cenderung fleksibel) sehingga pekerja tetap dapat berada kampung halaman sekaligus menekan biaya hidup.
Upah di daerah pusat kegiatan ekonomi yang cenderung tinggi dan biaya hidup yang tinggi mendorong pekerja untuk pulang-pergi di hari yang sama (nglaju). Terlebih infrastruktur jalan maupun sarana transportasi umum mendukung dan relatif terjangkau.
Pekerja komuter ini akan semakin meningkat seiring dengan dengan kesenjangan pembangunan antardaerah yang semakin lebar. Ini tentu menjadi pembahasan yang penting dalam masalah ketenagakerjaan.
Seringnya mobilitas nonspasial di sektor formal yang terjadi akhir-akhir ini diduga karena banyaknya perusahaan yang menggunakan sistem kontrak pada pegawainya. Termasuk juga keinginan dari pekerja itu sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan pendapatan atau terkena PHK.
Terdapat penyesuaian antara keinginan perusahaan dengan pekerja. Dimana perusahaan menginginkan pekerja yang berkualitas sementara pekerja mengharapkan upah yang tinggi.
Selain faktor ekonomi, terdapat faktor lain yang mendorong mobilitas tenaga kerja menurut Speare (1975) dalam publikasi BPS yaitu faktor struktural sperti sosio-demografis, kepuasan terhadap tempat tinggal atau hidup (life satisfaction), kondisi geografis daerah asal, dan karakteristik komunitas (sosial).
Faktor lainnya adalah transformasi struktural ekonomi tidak sejalan dengan transformasi tenaga kerja. Ketika perekonomian cenderung mengarah ke sektor industri, tenaga kerja justru lebih banyak tertampung di sekotr pertanian sehingga pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak berdampak ril bagi kesejahteraan tenaga kerja.
Di sisi lain, keberadaan mobilitas tenaga kerja ini diduga mampu mengurangi ketimpangan antarwilayah. Yaitu dengan peningkatan konsumsi pekerja komuter maupun sirkuler di daerah tinggalnya.
Banyaknya porsi pekerja yang mobile terutama kategori komuter dibandingkan pekerja lainnya menjadikannya menarik untuk dibahas karakteristiknya.
Hasil Sakernas Agustus 2018 menyebutkan bahwa sebanyak 8,5 juta penduduk merupakan pekerja komuter. Pada setiap 10 pekerja komuter, 7 diantaranya merupakan pekerja komuter laki-laki dan sisanya perempuan.
Dari sisi lapangan usaha, pekerja komuter paling banyak bekerja di sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil (19,8%), Industri Pengolahan (19,5%) dan Konstruksi (8,4%).
Sementara itu menurut jenis pekerjaannya, pekerja komuter mayoritas berperan sebagai tenaga produksi (35%), Pejabat Pelaksana dan Tenaga TU (17,9%), dan Tenaga Usaha Penjualan (16,7%). Sementara itu, untuk status pekerjaan utamanya,pekerja komuter didominasi oleh buruh/karywan/pegawai (81,1%),
Pekerja komuter ini mayoritas berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang mencapai lebih dari 70% dari total pekerja komuter yang ada. Untuk wilayah luar Jawa, pekerja komuter terbanyak berada di Sumatera Utara (5,4%).
Dari segi pendidikan, mayoritas pekerja komuter berpendidikan di atas SMA dan berusia 30-55 tahun. Dalam data perkembangan pekerja menurut status mobilitasnya terlihat bahwa selama 5 tahun terakhir pekerja komuter/komuter dan sirkuler memilki tren yang terus meningkat.
Peningkatan mobilitas pekerja ini mengindikasikan semakin terpusatnya ekonomi di suatu wilayah. Hal ini yang kemudian menarik penduduk luar wilayah tersebut untuk bekerja di pusat perekonomian (pusat industri dan perdagangan).
Mobilitas tentu tak hanya dari sisi kemauan pekerja namun juga ketersediaan sarana dan prasana yang mendukung aktivitas tersebut. Pekerja komuter memiliki kecenderungan waktu tempuh yang tidak lama dan mudah menjangkau sarana transportasi.
Per tahun 2018, sebagian besar pekerja komuter memiliki jarak tempuh 30-60 menit dengan menggunakan berbagai jenis transportasi mulai transportasi umum, bersama, pribadi maupun tanpa kendaraan (jalan kaki).
Selain mobilitas spasial, juga dikenal mobilitas non spasial atau mobilitas pekerjaan. Mobilitas pekerjaan yaitu perpindahan lapangan pekerjaan pada tingkat individu. Menurut gender, proporsi pekerja laki-laki yang pindah pekerjaan lebih banyak dibandingkan pekerja perempuan.
Terdapat kecenderungan bahwa perempuan tidak pindah pekerjaan karena cukup dengan pekerjaannya dan mungkin bukan pencari nafkah utama dalam keluarga sehingga tidak terlalu berkeinginan untuk mencari pekerjaan lain.
Dilihat dari sudut pandang positif, mobilitas pekerja secara tidak langsung dapat membantu pemerataan antara daerah miskin dan daerah kaya. Adanya kemudahan untuk pindah pekerjaan memberikan kesempatan bagi individu untuk memilih pekerjaan yang sesuai baik dengan cara kerjanya, minatnya, dan gaji yang diinginkannya.
Terdapat keyakinan bahwa ketika pekerja sesuai dengan keinginannya maka tingkat produktivitasnya akan meningkat.
Namun, di sisi lain adanya mobilitas (baik spasial maupun nonspasial) membuat pekerja tidak dapat melakukan spesialisasi pekerjaan karena kurangnya waktu untuk memahami pekerjaan yang dijalani. Ketiadaan spesialisasi membuat upah cenderung murah.
Namun hal ini dapat dipahami karena untuk spesialisasi pada satu pekerjaan saja sangat berisiko bagi orang miskin. Terdapat banyak contoh dimana orang miskin memiliki lebih dari satu pekerjaan sebagai bentuk back up.
Pada akhirnya, kita dapat memahami bahwa mobilitas tenaga kerja merupakan akibat dari proses panjang aktivitas perekonomian dan dengan berbagai latar belakang. Tidak dapat secara penuh dinyatakan sebagai sesuatu yang baik maupun buruk terlebih karena kondisi yang sangat dinamis.