Mahkamah konstitusi (MK) berwenang meninjau Undang-undang dan aturan-aturan di bawah Konstitusi. Kriteria peniliannya adalah Konstitusi itu sendiri. Karena itu MK tak berwenang menilai Konstitusi.
Konstitusi secara jelas mengatakan Presiden dan Wakil Presiden hanya boleh dijabat maksimal dua kali. Laksanakan saja. Kalau MK membolehkan Presiden dan Wapres menjabat lebih dari 2 kali, maka MK melanggar Konstitusi.
Sumber pelanggaran yang mungkin apa? Jangan sampai kasus ketua Mahkamah Konstitusi sebelumnya, Akil Muchtar, yang dijebloskan ke penjara seumur hidup menimpa anggota MK sekarang.
Salah satu inti reformasi adalah membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi maksimal hanya 2 kali seperti yang dituangkan dalam Undang-undang Dasar. Mahkamah Konstitusi dan pihak-pihak yang melanggar ini adalah pengkhianat reformasi.
Kuasa hukum Jusuf Kalla, Irman Putra Sidin, menyatakan: “Posisi wapres kan sebagai pembantu presiden, sama seperti menteri, harusnya masa jabatannya tidak dibatasi.” (Detik.com, 20/07).
Pernyataan tersebut gegabah. Kalaupun ada kata-kata “dibantu” dalam UUD, wakil presiden bukan pembantu seperti menteri. Bersama presiden, wapres dipilih langsung oleh rakyat, dan tidak bisa diberhentikan oleh presiden.
Sifat dasar sistem presidensial adalah kepala negara dan pemerintah sekaligus dipilih oleh rakyat secara langsung untuk satu masa jabatan tertentu yang bersifat fixed dan tak bisa diberhentikan di tengah jalan kecuali melanggar hukum.
Presiden bertanggung jawab pada rakyat langsung lewat Pemilu. Karena kepala negara dan pemerintahan sangat mutlak adanya untuk sebuah negara, maka harus jaga-jaga kalau-kalau presiden berhalangan tetap atau tidak tetap. Karena itu, wakil presiden mutlak ada.
Wakil presiden disiapkan untuk jadi presiden bila keadaan darurat terjadi. Maka wakil presiden sangat melekat pada presiden.
Jangan dipilah-pilah dan dibedakan antara presiden dan wakil. Kalau sudah 2 kali jadi wapres itu artinya jelas 2 kali, siapa pun pasangan presidennya. Kalau UUD bilang hanya boleh dua kali, ya 2 kali. Ini sudah sangat jelas, dan tidak membutuhkan tafsir lain.
Saya melihat tidak ada urgensinya menuntut wapres bisa menjabat lebih dari dua kali sedangkan presidennya hanya dua kali.
Sering terjadi salah kaprah tentang konsep “wakil”. Wakil itu tergantung presiden. Memang Wapres kita sering diminta mengemban tugas khusus, misalnya bidang ekonomi. Boleh saja, tapi itu bukan fungsi pokoknya. Yang pokok adalah dia sebagai wakil.
* Saiful Mujani, Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta; Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).