Dalam HUT PDI Perjuangan ke-50, Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato selama hampir dua jam di hadapan Presiden, Menteri kabinet serta seluruh kader PDIP se-Indonesia. Pidato tersebut segera menyorot banyak atensi publik. Terlihat pada hari setelah acara HUT partai selesai, nama Megawati sempat trending di platform Twitter.

Sorotan publik kepada Megawati ini bukan karena ia telah mengumumkan bakal calon presiden yang diusung. Perdebatan tentang siapa yang diusung antara Ganjar Pranowo atau Puan Maharani oleh partai dengan electoral threshold tertinggi ini belum terjawab.

Alih-alih menjadi deklarasi calon presiden, dan kabar gembira bagi partai-partai lain yang turut menanti pengumuman bakal calon presiden, HUT PDIP justru menampilkan pada publik Kuasa Megawati Soekarnoputri.

Berbicara mengenai Bu Mega, saya pikir tidak akan cukup dengan hanya menilik satu teks pidatonya. Sebagai tokoh politik yang sudah exist semenjak Orde Baru, kiprah Megawati tentu bukan biasa saja. Seorang yang dijuluki oleh Made Supriatma sebagai Sang Matriach ini, selain merupakan Presiden RI ke-5, dan Ketua Umum PDIP hingga 25 tahun, juga adalah anak ke-2 Presiden RI pertama, Ir Soekarno.

Legitimasi sebagai anak dari Presiden Soekarno ini kita tahu pada satu sisi telah membuatnya dimusuhi Orde Baru selama hampir 32 tahun. Tetapi pada sisi lain bukan menjadi rahasia umum lagi kalau PDIP yang dipimpin olehnya semenjak peristiwa Kudatuli juga dibangun di atas ketokohan Soekarno. PDIP seolah menghidupkan kembali Soekarno yang telah dikubur Orde Baru.

Melalui momentum-momentum politik pasca-reformasi, poster serta baliho Soekarno beserta kata-kata mistisnya hadir bersanding dengan PDI Perjuangan di jalan-jalan, gang, hingga ruang-ruang publik. Hal tersebut tentu wajar saja, mengingat Bu Mega adalah anak dari Sang Fajar. Dan penokohan ini dapat kita tafsirkan sebagai cinta yang tak pernah padam.

Kisah cinta sebagaimana PDI Perjuangan pada Bung Karno ini memang seakan menuju abadi. Meskipun nampaknya konsep cinta ini begitu berlebihan. Bung Karno terkadang berubah menjadi pemujaan dan mitos, seolah-olah Bung Karno adalah semacam dewa atau Raja besar, bukan seorang manusia biasa yang juga luar biasa.

Kisah cinta ini seolah melupakan perkataan Tolstoy, bahwa “ketika Anda mencintai seseorang, Anda mencintai orang itu apa adanya, bukan malah menjadi orang tersebut”.

Dengan kata lain, seyogyanya, mencintai Bung Karno bukan berarti menjadikannya pemujaan serta mitos, atau bahkan seperti apa yang dikatakan Ben Anderson sebagai pemfosilan. Sebuah bahaya yang justru menjadi titik penting pidato Megawati dalam HUT PDIP kemarin.

Dalam salah satu paragraf pidatonya kemarin, secara langsung Megawati mengatakan bahwa, “saya itu bukan Komunis, tapi jika dikatakan sebagai Soekarnois, maka yes”. Sebuah kalimat sederhana yang langsung dilanjut dengan gemuruh dan tepuk tangan kader.

Pernyataan ini dapat kita pahami dalam eufemis, bahwa Bu Mega adalah pengikut paham Soekarno. Kalimat ini juga menjadi sebuah penegasan bahwa Bu Mega memang terkait dengan ide dan pikiran Bung Karno.

Publik pastinya tidak akan kelewat susah menangkap arti pernyataan Soekarnois tersebut. Meskipun makna utamanya hanya akan dipahami setelah Bu Mega bercerita panjang mengenai heroisme Soekarno semasa menjadi presiden, pada Orde Baru, masa dimana semua yang terkait Soekarno dilarang, hingga reformasi.

Pertanyaannya, lalu untuk apakah heroisme dan perjuangan yang terkait Soekarno dikisahkan dalam pidato? Di sinilah sebenarnya ujung dimana mitos disebar dan beroperasi.

Mitos memang tidak dilepaskan dari kisah-kisah atau cerita-cerita. Rudolf Karl Bultmen menjelaskan bahwa “mitos lebih dari sekadar narasi karena menciptakan makna politik. Mitos menyusun masa lalu dan mempengaruhi masa kini”.

Dalam artian Bultmen ini, kita dapat paham bahwa mitos digunakan untuk menyusun masa lalu dalam hal apa yang masih penting bagi kita hari ini, yang tidak boleh dilupakan.

Kisah masa lalu ini diproduksi dan disebarkan dalam kurun waktu tertentu untuk memberikan pengaruh pada orang-orang yang hidup di masa sekarang. Kisah yang diceritakan berulang-ulang ini menjadi mitos yang dapat beroperasi terhadap orang-orang masa kini, yang sejatinya tidak mengalami betul kejadian masa lalu.

Mitos politik dalam pidato Megawati bukan saja dinarasikan sekali ini. Dalam kesempatan sebelumnya, pada momen sama, Megawati juga menekankan kepada kader partai untuk tidak keluar dari haluan yang diperjuangkan Bung Karno. Seolah pada tiap momen yang menjadi pertemuan akbar PDIP, Megawati memang berupaya mengoperasikan Bung Karno melalui pidatonya pada pikiran kader.

Mengenai inilah apa yang dikatakan George Sorel menemukan kebenarannya, bahwa mitos politik adalah citra pemersatu yang menarik emosi daripada intelektual. Mitos mengenai Bung Karno dikisahkan berulang-ulang agar beroperasi dalam emosional kader.

Bu Mega seolah mengerti bahwa mitos menjadi hal penting untuk memberikan identitas dan dengan demikian menciptakan kepercayaan diri bagi individu maupun kolektif sosio-politik, kader partai.

Mitos mengenai Soekarno memang perlu kita akui cukup berhasil menghidupkan daya emosional kader, dan jika tidak berlebihan juga sukses menumbuhkan iman kader dalam prinsip pengorganisasian.

Selain menekankan akan garis Bung Karno, Megawati dalam pidatonya kemarin juga memberi ultimatum kader untuk selalu turun ke rakyat agar menang. 

Turun ke rakyat ini memang pada satu sisi menyimbolkan klaim legitimasi PDIP sebagai partai wong cilik, meskipun pada sisi lain, jika kita sadar juga tidak dilepaskan sebagai sebuah mitos politik.

Merujuk pidato yang mengaitkan kemenangan partai dengan perintah turun ke rakyat, kita dapat menggali ulang sejarah Indonesia, bahwa rakyat memang identik dengan Soekarno. Soekarno dikenal sebagai Presiden yang kerap didengar dan disimak pidatonya oleh rakyat banyak, serta dilegitimasi telah menyatukan rakyat.

Turun ke rakyat bukanlah kredo baru. Gambaran yang tepat mengenai perintah yang seakan merupakan keharusan bagi kader partai ini, menyampaikan nuansa pemikiran politik Jawa. Pergerakan politik Jawa tradisional mengupayakan secara ideal pusat Kuasa dan kewenangan yang tunggal, dimana penguasa selalu sebagai personifikasi kemanunggalan rakyat.

Kemanunggalan yang merupakan simbol Kuasa dalam pemikiran Jawa itu sendiri diupayakan dalam fungsi mencapai ketertiban negara. Kemanunggalan ini jugalah yang kemudian dalam Indonesia modern dimaknai sebagai obsesi negara tanpa gejolak, tanpa oposisi politik, dan tanpa ideologi yang bertentangan.

Turun ke rakyat dengan tujuan persatuan yang ditekankan pada kader dengan merujuk pada Bung Karno, dapat kita rujuk pada kecemasan tradisional tentang terurainya Kuasa. Perintah “turun ke rakyat” menandaskan bahwa Megawati memahami konsep dalam politik Jawa bahwa Kuasa adalah konkret, sebagai sebuah kenyataan eksistensial alih-alih suatu postulat teoritis.

Sebenarnya mitos kemenangan dengan “turun ke rakyat” selain dapat kita rujuk pada konsepsi Bung Karno, juga dapat kita deteksi pada program dan strategi PKI (Partai Komunis Indonesia); memiliki rumusan tradisional Marxis tentang perjuangan kelas yang ditransformasikan dalam gaya propaganda yang intinya adalah satu dengan rakyat.

Kredo turun ke rakyat yang kemudian menjadi mitos politik kemenangan ini juga setidaknya membantu menjelaskan kekuatan psikologis yang mendalam terhadap gagasan nasionalisme Jawa.

Sebagai sebuah mitos politik, turun ke rakyat melalui manifestasi Soekarno mengekspresikan dorongan mendasar untuk solidaritas dan kesatuan berhadapan dengan ancaman disintegrasi masyarakat dari kekuatan eksternal lain. Dan kebetulan hal ini dikatakan sebagai tugas BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) yang dibina oleh Megawati.

Megawati juga sempat berkelakar dirinya yang diangkat sebagai ketua badan pembina BPIP. Sayangnya, BPIP di bawah binaan Megawati masih sekedar menjalankan rumusan Orde Baru, Pancasila sebagai ideologi tunggal. BPIP melanjutkan Pancasila Orde Baru sebagai kontrol perilaku warga, alih-alih sebagai landasan aturan-aturan negara.

Sebagaimana penjelasan di atas, itulah mengapa pada awal paragraf saya cenderung menganggap bahwa Soekarno hari ini memang adalah mitos politik, ketimbang perlu dipahami sebagai tokoh yang hidup pada masanya.

Berbeda dengan BPIP, Seokarno tidak pernah menekankan pancasila sebagai ideologi tunggal ataupun sebagai kontrol perilaku warga negara. 

Kita perlu menggali bibit gagasan penting mengenai Pancasila, tetapi bukan sebagai warisan Soekarno ataupun lainnya. Melainkan sebagai komitmen masa sekarang dan masa mendatang.

Jika tidak, bukan tidak mungkin di bawah BPIP, selanjutnya, Pancasila akan diproduksi menjadi sekedar mitos politik bagi penguasa dan bahkan partai tertentu.

Mitos politik yang sebagaimana menjadi kritik Cristopher Flood terhadap George Sorel, dipakai sekedar sebagai bentuk komunikasi manipulatif yang disengaja, bukan untuk ideologi, tetapi sekedar kepentingan dalam momen politik.