TIM  merupakan sebuah lahan yang memiliki sense of place yang begitu unik, terutama sebagai sebuah tempat. TIM memiliki segudang narasi kejayaan masa lalu yang telah menjadi mitos tersendiri di kalangan seniman tanah air.

Di tempat ini besar nama-nama dalam bidang seni teater sekelas W.S Rendra dan Putu Wijaya, yang membuat muda-mudi penikmat seni akan merasakan aura tersendiri yang dari sejarah masa lalu tersebut, dan mendatangkan rasa ‘kesakralan’ tersendiri bagi yang memiliki ambisi di bidang kesenian.

Mitos yang telah tebentuk dalam publik seni secara umum yang telah dibangun oleh narasi sejarah memang tidak perlu diragukan lagi, namun bagaimana sesungguhnya TIM sebagai ruang seni?

Pertanyaan ini menjadi semakin tajam ketika TIM mulai muncul dengan polemik revitalisasinya. Sekelompok orang mengatasnamakan dirinya Forum Seniman Peduli TIM menolak adanya revitalisasi yang dianggap dapat mengubah marwah TIM sebagai pusat kesenian.

Dengan mengandalkan narasi-narasi masa lalu mengenai kejayaan TIM sebagai pusat kesenian di era 1970-an dan 1980-an. Apakah narasi ini dapat menjawab pertanyaan dan juga kebutuhan zaman generasi dan ruang lingkup Jakarta di tahun 2020 dan ke depannnya?

Isu Revitalisasi

Kawasan TIM dahulu merupakan tanah yang dihibahkan oleh seorang pelukis ternama bernama Raden Saleh yang awalnya diperuntukkan sebagai Kebun Binatang. Seiring perkembangan kota, Kebun Binatang ini dipindahkan ke kawasan Ragunan, dan kawasan ini di tahun 1968 diubah menjadi Pusat Kesenian.

Zaman Orde Baru membuka ruang yang kondusif dan terpusat bagi kejayaan kesenian dengan munculnya tokoh sekelas W.S Rendra dan Arifin C. Noer. Meskipun juga diwarnai pencekalan seniman seperti pelarangan, masa tersebut menjadi kenangan manis bagi identitas TIM.

Di penghujung Orde Baru, dianggap sebagai penurunan kualitas dan kuantitas kesenian di TIM, adanya revitalisasi pada tahun 1996-1997, mangkrak cukup lama karena krisis moneter, proses ini hampir mengubah seluruh struktur fisik kecuali Graha Bhakti Budaya (GBB).

Revitalisasi akhirnya rampung pada 2010 dengan adanya Gedung Teater Jakarta yang megah. Meski begitu, perkembangan era Reformasi, membuat pusat kesenian baru mulai bermunculan dengan pendekatan yang beragam seperti Salihara maupun kafe-kafe yang membuka ruang seni baru.  

Pemrov DKI Jakarta membentuk UPT di tahun 2015 guna efisiensi pengelolaan dana namun rencana ini ditentang seniman TIM, mereka menganggap bentukan pemerintah tidak memahami masalah kebudayaan.[1] 

Isu revitalisasi muncul kembali pada 2018 dengan pro kontra nya karena Pergub yang melandasi revitalisasi ini (Pergub No.63 tahun 2019) menjabarkan bahwa pengelolaan sarana dan prasarana TIM oleh JakPro selama 28 tahun[2]. 

Selain itu, hal yang janggal dalam Pergub tersebut adalah tidak terdapat nama seniman atau DKJ, sehingga seakan secara sengaja menafikan keberadaan seniman.[3]

Isu pembentukan wisma seni yang belum jelas oleh JakPro juga dianggap seniman sebagai akal-akalan pemerintah untuk rencana terselubung membentuk hotel. Puncaknya, perobohan gedung pertunjukan Graha Bhakti Budaya ditengah polemik makin menambah riuh suasana.

Disaat yang sama, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai perwakilan seniman yang diakui mengalami masalah regulasi struktural, menjadi salah satu alasan Forum Seniman Peduli TIM tidak merasa bahwa DKJ merupakan wadah yang dapat menampung aspirasi mereka.

Di lain pihak, DKJ merasa tidak diajak urun rembuk, dan menyatakan bahwa belum ada rincian yang jelas mengenai skema pengelolaan yang dimaksud ‘profesional’ oleh pemerintah.[4] 

Masalah semakin rumit, saat terjadi ketidaksepahaman antara media massa dan DKJ yang terlihat dalam konferensi pers yang diadakan oleh DKJ. Media yang mestinya menjadi salah satu sumber publik, dianggap DKJ tidak menjabarkan masalah dengan jernih sesuai dengan apa yang disampaikan DKJ. 

Yang akhirnya menyebabkan publik bertanya, seberapa serius pemangku kesenian berusaha mewujudkan TIM menjadi ruang berkesenian bagi masyarakat?

Harapan Publik Seni

Kondisi yang simpang siur menyebabkan abstain adalah hal yang wajar. Tidak hanya pada publik seni yang pasif, juga penggiat seni di berbagai kantong-kantong kesenian, sebagai ’kaki-kaki’ TIM tidak membentuk ekosistem yang baik.[5] 

Eksploitasi aspek emosional, narasi lisan yang bias yang tak sesuai dengan data dan fakta, membuat gerakan abstain merupakan sebuah ekspresi kejengahan. Dengan partisipasi yang tak maksimal dalam isu revitalisasi tersebut, siapa yang diwakili oleh pemerintah maupun Forum Seniman Peduli TIM?

Pendapat mengenai revitalisasi yang berbeda dan tidak satu suara akhirnya menyebabkan moratorium yang belum jelas sampai kapan pada akhirnya menghambat perkembangan kesenian sendiri.

Perkembangan seni mengarah pada suatu era Lintas Media yang menuntut keterikatan dan kerja sama lintas seni, dengan munculnya wacana Post Dramatik maupun Seni Instalasi, debat kusir berbau politis hanya akan melahirkan kerugian dan tidak sejalan dengan spirit seni yang ada.

Komersialisasi merupakan isu yang tak bisa dimunafikan, kesenian harus dijadikan sebagai komoditas, komoditas dalam hal ini tidak saja sebagai komoditas yang diperjual-belikan layaknya barang dagangan.

Tetapi sebagai ‘komoditas’ yang dapat mengikuti selera, dan kebutuhan gaya hidup, dan tren tertentu dalam masyarakat, sehingga kesenian muncul sebagai sebuah kebutuhan dalam bentuk gaya hidup dan tidak semakin lama kehilangan publik seninya.

Di samping tidak lupa bahwa kesenian tetap harus membawa pesan moral yang dapat mendidik masyarakat, karena kebudayaan yang muncul dalam seni pertunjukkan yang modern dan kontemporer merupakan juga hasil dari timbal balik kondisi masyarakat sendiri. 

[1] https://megapolitan.kompas.com/read/2015/01/12/10331111/Para.Seniman.Sepakat.Tolak.UPT.TIM.

[2] Raymundus Rikang, “Bang Ali di Rapat Teuku Umar” Tempo, 14 Maret 2020

[3] Lihat Pergub DKI Jakarta Nomor 63 Tahun 2019

[4] Dewan Kesenian Jakarta, “Taman Ismail Marzuki (TIM) Baru dan Ekosistem Kesenian Jakarta”, Siaran Pers DKJ, 19 Februari 2020

[5] Isma Savitri, “Kaki-kaki TIM yang terlupakan”, Tempo, 14 Maret 2020