Salah satu peninggalan naskah suku Bugis adalah Kutika. Kutika merupakan sebuah warisan ilmu pengetahuan yang lahir sejak awal peradaban.
Pada “Kajian Ekofenomenologi dalam Teknik Pertanian Bugis” karya A. Rahmatia disebutkan bahwa kutika merupakan kumpulan catatan waktu baik dan buruk untuk melakukan suatu kegiatan.
Dalam hal ini pau kotika digunakan sebagai aspek perhitungan waktu yang sangat luas, misalnya sebagai petunjuk waktu untuk melakukan perkerjaan di sawah, mendirikan rumah, menempati rumah baru.
Bahkan, ilmu kutika juga digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui maksud atau makna dari sebuah mimpi. Biasanya, orang-orang yang memiliki pemikiran kolot masih menggunakan ilmu kutika untuk melakukan suatu kegiatan.
Hal tersebut masih diterapkan di kehidupan perkampungan, misalnya ketika hendak menanam padi, hajatan pernikahan, lamaran dan lain sebagainya yang masih memperhitungkan tanggal ganjil genap pada bulan-bulan tertentu.
Mereka percaya bahwa ada waktu tertentu yang mampu membawa keberkahan dan keberuntungan untuk mereka.
Ilmu perhitungan waktu kutika telah menyatu dalam islam pada abad ke-19 yang dipengaruhi oleh tarekat. Sebetulnya, metode perhitungan tradisional Bugis telah ada sejak abad ke-14 seiring perkembangan kerajaan Hindu-Budha yang berbahasa Saskerta dan Melayu.
Selain itu, pengalaman dan pengamatan berulang yang terjadi pada rentang waktu 50 hingga 100 tahun ditulis dalam lontara’ kutika. Kemudian penggunaan naskah kutika berjalan secara dinamis dan banyak digunakan dalam tradisi agraris dan maritim.
Berdasarkan penjelasan tersebut, banyak yang menarik dari naskah tersebut. Namun, penulis akan menjabarkan salah satu kutipan naskah yang paling menarik untuk dipelajari kemudian diinterpretasikan dalam kehidupan masa kini. Naskah tersebut merupakan pesan dari Syeikh Ali Mulawi dari Mesir.
Berikut naskahnya yang telah dialih aksarakan oleh seorang ahli filologi yaitu A.Rahmatia : asetihara so(m)pe’reng masenna makasing ipaké/
narékko maléoki so(m)pé narékéngi tetinna asseng riyaléta’ enrenge tetinna asenna wanuwa maélo tasuri e(n)rengé tetinna esso mélo étajeppa hurupu’na ajad ipaké/muinapanna buwa tatellui/
narékko si’di le[ng]bbina matettui sidupa pagoraé yirega taléngi lopié yiréga repai yiréga natujuki lasa maraja/narékko 2 duwa lebbina majaatto réwéku masesakalé masusa maraja/
narékko genne” tatoli’i majeppu e(ng)kai asapareta mabarakka lolongettoi dale’ mabarakka naripalowang tetong ri puwang Allah Ta’ala sinina haja’na/
makunniro isetihara napakéwé a(n)réguruta riyasengé Syeikh Ali Mulawi/ Maséré’é manuwa Hawiya asenna ka(m) ponna/mo(n)roé ri tana Mekka tulimappangaji rilalenga Masejidile Marama/talitutuiwi menapakéi narékko maéloki so(m)pe’nasaba barakena nabita/salamakki/wallahu ‘alam//.
Dari teks naskah di atas kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi : inilah pesan yang baik dipakai untuk perjalanan mencari rezeki. Jika ingin melakukan perjalanan.
Maka hitunglah titik nama yang pada dirimu juga titiknya nama negeri yang akan didatangi juga titiknya hari yang akan dipakai untuk berangkat dengan huruf abjad yang dipakai. Kemudian bagi tiga.
Jika satu lebihnya, tentu juga bertemu atau juga akan tenggelam kapalnya atau juga pecah kapalnya atau juga kamu akan terkena penyakit besar.
Jika dua lebihnya (tandanya) tidak baik, kembalilah kamu, nanti akan menyesal karena ada kesusahan besar. Jika genap yang tertulis, pasti akan ditemukan apa yang dicari itu dan berkah akan didapat juga rezeki yang berkah, dikabulkan hajatnya oleh Allah swt.
Demikianlah pesan yang dipakai guru kita yang bernama Syeikh Ali Mulawi. Negerinya bernama Mesir. Dari daerah Hawiya. Ia tinggal di tanah Makkah yang mengajar ngaji di dalam Masjidil Haram.
Berhati-hatilah memakainya jika berpergian sebab berkahnya Nabi Muhammad saw. Selamat. dan kepada Allah Swt. pengetahuan itu dikembalikan.
Berdasarkan naskah tersebut, timbul sebuah ideologi bahwa tidak semua hari itu baik. Adanya prediksi terhadap hitungan waktu dalam menentukan hari manakah yang baik untuk dilakukan. Jika diimplementasikan terhadap kehidupan zaman sekarang.
Tentunya, ideologi tersebut semakin sirna. Sebab, dalam kehidupan modernisasi dan perkembangan zaman. Apalagi dalam kehidupan globalisasi dan perkembangan teknologi informasi manusia bebas melakukan apa pun tanpa memperhitungkan konsekuensi terlebih dahulu.
Kebebasan untuk bergerak yang didukung dengan kemudahan akses teknologi memungkinkan mitologi tersebut mulai ditinggalkan. Jika kita berpikir secara logis bukankah semua hari itu baik, tergantung dari diri kita membawanya ke arah mana dan bagaimana menyikapi persoalan yang terjadi setiap harinya.
Dalam perkembangan islam modern yang memiliki pola pikir dinamis, pada akhirnya tidak ada satu dalil pun yang menyatakan baik buruknya perhitungan hari. Apalagi menentukan suatu kegiatan seperti hari baik untuk menikah, menimba ilmu, bertani, bekerja, dan lain-lain.
Dalam islam semua hari dianggap baik. Ketentuan hari baik bukan berdasarkan atas perhitungan waktu, melainkan pada amal perbuatan yang sudah dilakukan pada hari tersebut.
Hari baik adalah hari ketika kita melakukan amalan yang baik. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Asr ayat 1-3 yang berbunyi:
“Demi Waktu, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman yang beramal saleh, yang saling menasihati atas kebenaran dan yang saling menasihati untuk bersabar”. (Qs. Al-Asr: 1-3).
Berdasarkan ayat di atas dapat kita ketahui bahwa baik buruknya suatu hari tergantung bagaimana cara kita membawakannya. Sesungguhnya manusia itu rugi jika tidak melakukan emat hal yang diterangkan dalam ayat tersebut.
Oleh sebab itu, orang yang paling beruntung adalah orang yang mampu mengaplikasikan keempat hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, barometer baik buruknya suatu hari bukan berdasarkan atas perhitungan waktu, tapi amal perbuatan yang kita lakukan.