Pada sekitar tahun 1700-an, dongeng seorang Rabi Hassidis Yahudi, Israel ben Eliezer alias Baal Shem Tov muncul di permukaan untuk dipelajari sebagai pedoman kritikus sastra. 

Kala itu, dua orang tengah berjalan di hutan. Yang satu dalam kondisi mabuk, sedang yang lain sadar. Penyamun datang, merampok mereka habis-habisan. Pakaian mereka pun dilucuti sekalian, telanjanglah mereka. Keluar hutan, mereka ditanyai orang. Apakah perjalanan di hutan aman tanpa gangguan. 

"Ah, aman. Pokoknya beres. Sama sekali tanpa gangguan!" jawab seorang yang tengah mabuk.

"Lho, aman bagaimana? Kau sendiri telanjang dan berdarah." Si penanya itu terheran-heran. 

Sedang orang yang tengah mabuk itu diam saja. 

"Jangan percaya dia. Dia sedang mabuk. Perampok melukai kami tanpa kasihan. Mereka merampas milik kami habis-habisan. Hati-hatilah kamu, jangan sampai pengalaman kami ini menimpamu," kata si rekan yang dalam kondisi sadar. 

***

Kekerasan, itulah yang membuat saya merefleksi kisah hassidis di atas. Sebagai akademisi yang lazim berbicara "apa adanya", kekerasan sebenarnya menyelimuti kita semua. Tapi mungkin kita tidak menyadari itu. Padahal kekerasan membayang-bayangi siapa saja, tak pandang bulu. Namun lagi-lagi siapa pun tidak merasakan bayang-bayangnya. 

Kekerasan mengancam manusia. Tapi manusia hidup seakan tanpa ancamannya. Kekerasan hadir setiap saat, bagai udara yang ada di mana-mana. Manusia menghirupnya, tanpa mampu merasakan bahwa hawa kekerasan masuk bagai napas yang menghidupinya.

Tak ada tempat atau wadah yang dikecualikan oleh kekerasan. Kekerasan masuk ke dalam tubuh. Dan tubuh pun tak hanya dapat dilukai oleh kekerasan, tapi juga dapat melukai dengan kekerasan. 

Tangan manusia bisa dipakai buat memeras santan, berjabat tangan, atau sekadar melambai-lambai. Tapi di saat yang sama tangan manusia dapat dipakai buat memukul. Kakinya dapat menendang untuk menjatuhkan lawannya. Tak puas dengan organnya yang terbatas, tubuh mengembangkan teknik. Dibuatnya alat sebagai perpanjangan dirinya. 

Tadinya alat itu hanya untuk membantunya menghasilkan sesuatu. Lama-lama alat itu menjadi senjata yang digunakan untuk memusnahkan sesamanya. Ibaratnya: linggis hanyalah alat untuk penggali, tapi begitu di tangan gali, linggis bisa dikeprukkan untuk membinasakan lawannya.

Senjata kemudian berkembang semakin canggih. Dalam persenjataan modern, tak ada lagi kekerasan yang bersifat tubuh. Tapi dalam persenjataan tersebut, kekerasan dengan sendirinya menganga dan siap melumat korbannya. Memang kekerasan itu dapat berada dengan amat "bersih”. Darah yang mengalir karenanya sering dianggap wajar. Olah raga seperti tinju dianggap wajar sebagai permainan, meski sebenarnya di sana kekerasan menunjukkan dirinya habis-habisan. Telak malah!

Kekerasan itu juga mudah menular, berjangkit bagaikan wabah penyakit. Satu orang terkena kekerasan, ia segera mencari sasaran lain untuk melampiaskan dendam akibat kekerasan yang dideritanya. Demikianlah dalam sekejap orang banyak bisa ketularan kekerasan, saling menyiksa dan membunuh, tanpa ada habisnya.

Dalam sekejap kekerasan dapat membalikkan kesan tentang kehalusan dan kebaikan manusia. Manusia yang halus dan ramah, juga perempuan yang kelihatan halus, cantik, rapi, dan sopan, tiba-tiba bisa geram dan hilang ingatan, begitu kekerasan menghampiri mereka. 

Mereka yang sehari-hari kelihatan alim dan saleh tiba-tiba rela terbercik darah, ketika disulut oleh kekerasan. Kekerasan mewahyukan, bahwa batas antara kelembutan dan nafsu yang ganas dan kasar itu ternyata tipis sekali. Sedikit saja berimpitan dengan kekerasan, manusia yang kelihatan lembut dan halus langsung tergelincir ke dalam kekasaran dan kebrutalan.

Kekerasan melahirkan kekacauan, kebingungan, kelinglungan, dan kekalutan. Disulut kekerasan, orang bisa meniadakan sendiri apa yang diperolehnya dengan cucuran dan keringat bersaat-saat lamanya. Kekerasan dapat menyulut manusia untuk menyalakan api di tengah kota, dan membuat bangunan-bangunan megah tempat ia menggantungkan nafkah hidupnya hancur berantakan jadi arang dan puing-puing belaka. 

Kekerasan menaikkan api ke langit, menjadikan langit penuh kabut tebal. Dalam kabut tebal itu seakan tersimpan misteri, mengapa karena kekerasan manusia bisa menjadi kejam, ngawur, brutal, dan mau membunuh sesama dan dirinya sendiri? Kekerasan memang bagaikan misteri.

Orang menyanyi dalam kekerasan. Padahal tangannya menenteng senjata. Mereka berjoget gembira, seakan lupa bahwa mereka sedang didisiplinkan oleh kekerasan. Tapi apapun gerak kelembutan dan kegembiraan mereka, tetaplah ketahuan bahwa mereka sedang bersekutu dengan kekerasan, karena tangan-tangan mereka yang menenteng-nenteng senapan.

Kekerasan juga menghiasi kehidupan politik. Bahkan demokrasi pun menyembunyikan kekerasan. Memang demokrasi mensyaratkan, orang berani menerima konflik dan perbedaan pendapat dalam suasana yang damai tanpa permusuhan dan kekerasan. Tapi justru konflik dan perbedaan pendapat itu sering meledak menjadi kekerasan. Apalagi jika konflik dan perbedaan pendapat harus terjadi dalam suasana kekerasan.

Kekerasan mengakibatkan trauma masyarakat. Trauma itu akan berkelanjutan dan mempengaruhi kehidupan politik pula. Adalah fakta, bangsa yang dilanda kekerasan karena perpecahan dan peperangan, akan sulit mengkokohkan dan menyatukan dirinya lagi. Setiap saat, bangsa itu bisa terancam oleh disintegrasi yang mengakibatkan pecahnya kekerasan lagi. Dan trauma kekerasan itu akan berkesinambungan dari generasi ke generasi.

Itulah kekerasan. la ada sebagai suatu kewajaran, kebiasaan, dan keakraban, yang dekat pada manusia, dan tak terpisahkan dari manusia, seakan sebuah bagian dari hidupnya. Namun di Iain pihak kekerasan itu mirip dengan kronos atau waktu, eros atau cinta, dan thanatos atau kematian. 

Seperti ketiganya, kekerasan menyusupi pelbagai wilayah kehidupan, sebagai sesuatu yang asing, tak terpahami, tak terselami, dan tak teratasi. Seperti sesuatu yang luar biasa, datang dari luar diri manusia, dan tak pernah bisa ditambat pada papan yang pasti dan tepat. 

Dan Hannah Arendt pernah bilang, kekerasan menyeret kita "untuk memikirkan apa yang tak terpikirkan." Patut diingat, kekerasan itu bukanlah semacam virus yang dapat dipikirkan. Kalau toh orang mesti memikirkan kekerasan, itu berarti "berpikir bagaimana melawan kekerasan."

Tak ada institusi manusia yang tak dirambati kekerasan. Sepintas, bahasa itu murni terhadap kekerasan. Tapi begitu bahasa dipakai untuk mempercakapkan kekerasan, bahasa pun bisa menjadi berjazad kekerasan. Lewat bahasa, kekerasan itu digunakan untuk mengancam dan menghina. Bahasa dapat dipakai pula untuk menjadi saksi dan pembenaran kekerasan. Selain ke dalam bahasa, kekerasan juga menyusup ke dalam institusi, seperti moral, politik, dan hukum.

Dan terakhir, tentu saja adalah agama. Kelihatannya, agama ini suci. Tak mungkinlah ia disusupi dengan kekerasan yang kasar dan kotor itu. Namun ternyata, agama pun tak bisa terlepas dari kekerasan. 

Agama pun meneguk darah kekerasan. Itu paling tampak, ketika agama menjalankan ritus korbannya, entah dengan mempersembahkan manusia, entah dengan mempersembahkan binatang. Bila terbungkus dalam ritus, kekerasan yang dipraktikkan di sana, apapun bentuk dan ungkapannya, adalah sah, malah darah ritual yang dicipratkannya adalah suci.

Apakah kekerasan itu? Bagaimana kekerasan itu bisa dipahami? Apa hubungan kekerasan dengan institusi-institusi manusia, khususnya agama? Silakan dikonstruksi sendiri.