Tadi malam, tiba-tiba saja suasana ceria saya bersama anak berubah menjadi suasana hening. Sangat mengejutkan, saat seorang adik menelpon dan dengan dengan nada sedih berucap: “Bang,  Jo sudah sembuh dari sakitnya, dia sudah pergi untuk selamanya”. Mendengar ucapan itu, saya hanya bisa terdiam, lemah dan sulit untuk mengungkapkan sesuatu.

Josua adalah anggota komunitas kelompok kecil kami yang sejak seminggu yang lalu sakit, dan sempat dirawat di rumah sakit selama 3 (tiga) hari. Tetapi, karena dokter tidak menemukan indikasi penyakit dalam tubuhnya sehingga keluarga memutuskan untuk membawanya pulang dari rumah sakit. Josua masih sangat muda, baru saja menyelesaikan penelitian tugas akhir di kampusnya tetapi sekarang sudah pergi untuk selamanya menghadap Sang Penciptanya.

Jika punya kesempatan untuk memilih, maka kami satu komunitas akan meminta Tuhan untuk mengundur waktu kepergiannya. Memberikan waktu bagi kami untuk bersama lebih lama, menikmati kebersamaan yang indah, menceritakan keluh-kesah dan nikmat tentang hidup, menceritakan mimpi-mimpi kami, dan mewujudkan keinginan kami untuk menjadi bagian dalam pemulihan negeri ini; memberikan kasih bagi sesama kami yang membutuhkan.

Tetapi, kami menyadari tidaklah demikian.

Sebagai manusia yang meyakini adanya Tuhan sebagai Sang Pencipta semesta, saya memaknai bahwa rentetan perjalanan kehidupan adalah dalam otoritas dan kehendak-Nya. Tidak ada yang terjadi secara kebetulan dalam tahapan kehidupan. Sejak dari terbentuknya kehidupan dalam kandungan, masa kelahiran, proses pertumbuhan dan perkembangan hingga masa kematian—kembali kepada Pemilik kehidupan.

Ada rahasia kehidupan yang teramat sulit dipahami. Bahkan pada keberadaan kita manusia sebagai ciptaan yang paling sempurna sekalipun, sangat terbatas untuk memahami dimensi kehidupan yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta yang tidak terbatas.

Sebelum kita lahir, kita tidak pernah dapat meminta kapan kita akan dilahirkan. Kita tidak dapat meminta jenis kelamin yang kita kehendaki, tidak juga dapat menentukan dari keluarga yang bagaimana kita akan dilahirkan. Tetapi semua hal itu dalam providensia Dia Sang Pencipta Agung. “Bukankah Ia, yang membuat aku dalam kandungan, membuat orang itu juga? Bukankah satu juga yang membentuk kami dalam rahim? (Ay 31:15)”.

Selanjutnya, sulit juga kita memahami proses pertumbuhan dan perkembangan kita dalam kehidupan. Meski secara teori ilmu pengetahuan ada ukuran dan tahapan perkembangan manusia. Tetapi tidak ada yang dapat memastikan proses pertumbuhan dan perkembangan seseorang akan sesuai dengan takaran keilmuan tersebut. Ataupun tentang waktu dan masa hidup kita tidak pernah sanggup untuk menakarnya, karena kehidupan sampai pada kematian ada dalam otoritas dan kehendak agung-Nya.

 “Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?” (Rom 13:34)

Tidak ada seorangpun yang mampu memahami kedaulatan dan misteri Ilahi dalam proses kehidupan. Dan fakta tentang kematian akan tetap ada saat ada kehidupan. Kedukaan saat kehilangan adalah sebuah kewajaran, tetapi kemudian dengan perspektif yang benar tentang otoritas Ilahi  kehidupan dan kematian akan membuat kita lebih jernih melihat bahwa kehidupan di dunia ini hanya sesuatu yang sementara saja dan pada waktunya akan kembali kepada-Nya. Sebab “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, Terpujilah nama Tuhan (Ayb 1:21 b)

Memberi Makna bagi Kehidupan

Ketidakmampuan untuk memahami misteri Ilahi dalam kehidupan, seharusnya membuat kita manusia sebagai ciptaan tunduk dan berserah secara total kepada Dia Sang Pemilik kehidupan. Dan dalam penyerahan yang demikian, yang dimaksudkan bukanlah penyerahan yang pasif tetapi hendaknya penyerahan yang aktif. Artinya, dalam ketidakmampuan kita untuk menyelami misteri Ilahi dalam kehidupan seharusnya mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang bermakna dan bermanfaat dalam kehidupan.

Selagi masih ada masa hidup bagi kita, maka seharusnya setiap orang akan mengupayakan yang terbaik dalam hidupnya. Melakukan yang terbaik dalam setiap aspek hidupnya; keluarga, pekerjaan, karir dan dalam kehidupan sosialnya. Mengupayakan dirinya untuk tidak hanya berfokus pada dirinya; kekayaan dan kesuksesan pribadi tetapi memberikan manfaat bagi sesamanya. 

Seorang guru akan bertanggungjawab untuk memberikan pengajaran yang terbaik bagi anak didiknya setiap hari. Seorang hakim akan memutus perkara dengan seadil-adilnya sesuai tuntunan hati nuraninya. Seorang pemusik akan bermain musik dengan sebaik-baiknya. Seorang politikus akan berpolitik sesuai akal sehatnya, untuk kebaikan bersama. 

Seorang Pengacara akan membela yang benar ketika benar dan yang salah ketika salah. Seorang pejabat negara akan bekerja dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya. Seorang petani akan mengupayakan yang terbaik dalam cocok tanamnya. Seorang pekerja kantoran akan bekerja dengan semaksimal yang dia punya. 

Juga, Seorang penulis akan menulis sesuai dengan sebaik-baiknya sesuai kebenaran yang sesungguhnya. Bahkan, setiap orang dalam profesi akan melakukan yang terbaik setiap harinya, ketika memberi respon positif terhadap misteri Ilahi yang tidak terpahami.

Saat semua memahami keterbatasan kita dalam waktu kehidupan, maka semua kita akan belajar melakukan segala kebaikan, maka kemudian kebaikanlah yang akan kita wariskan dalam kehidupan. Sehingga, saat waktu kita tiba; kita akan puas berucap: “Telah usai waktunya bagi saya, untuk melakukan dan mewariskan kebaikan dalam tahapan kehidupan saya yang penuh misteri Ilahi”. Semoga!