Hari Perempuan Sedunia yang selalu diperingati setiap tanggal 8 maret menjadi pengingat bagi kita semua bahwa ada ketidak-adilan berbasis gender. Ketidiak-adilan ini berdampak buruk bagi kelompok gender tertentu yaitu perempuan. Ketidak-adilan ini sebagaimana yang kita pahami bersama berangkat dari system yang mengakar, yakni system yang patriarch. Dalam perkembangannya, apakah kita akan mengkategorikan bahwa perempuan itu hanyalah manusia yang dilengkapi dengan vagina beserta alat reproduksi lainya saja? Apakah pembatasan secara gerak, ruang, waktu dan kiprah terhadap perempuan hanya dilakukan secara fisik atau psikis, atau lebih luas lagi? Ini juga perlu menjadi catatan penting bagi pembela hak asasi perempuan.

Upaya-upaya untuk membatasi perempuan mendapatkan hak nya sebagai manusia utuh terus dilakukan, kebencian terhadap perempuan atau misoginisme menjadi salah satu alat mainstreaming yang paling manjur. Lebih luas lagi dapat kita lihat dalam situasi yang akhir-akhir ini merebak yaitu kebencian terhadap kelompok minoritas seksual, identitas dan ekspresi gender, dalam hal ini kelompok tersebut dikenal sebagai lesbian, gay, transgender & intersex (LGBTI). Kebencian yang dibangun terhadap kelompok ini juga tak urung dilandasi oleh kebencian terhadap perempuan.

Landasan kebencian terhadap perempuan dalam memandang LGBT ini dapat kita lihat dalam surat edaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) No 203/K/KPI/02/16. Surat edaran ini sarat akan nuansa kebencian terhadap perempuan. Point dari surat edaran ini adalah media baik TV maupun Radio dihimbau untuk tidak menampilakan talent yang berbicara, berjalan, bergerak-gerik seperti perempuan.

Niatan awal KPI adalah melakukan pembatasan ekspresi terhadap kelompok LGBT, namun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kebencian terhadap perempuan. Dalam surat tersebut dapat kita simpulkan bahwa menjadi seseorang yang berpenampilan seperti perempuan adalah tindakan asusila, melanggar tata kesopanan dan tidak sesuai dengan norma agama, adat dalam masyarakat kita.

Kegagalan paham masyrakat kita dalam memandang ekspresi & identitas gender dalam berkehidupan mungkin juga disumbang oleh kerja-kerja advokasi mainstreaming gender yang biner, dimana hanya ada laki-laki dan perempuan yang berperan dalam tata kelola bermasyarakat.

Penerjemahan perempuan adalah yang bervagina dan memiliki alat repoduksi yang dapat digunakan untuk memproduksi keturunan membuat posisi transeksual perempuan dan trans* perempuan (Waria) terpinggirkan. Hal ini juga harus menjadi perhatian bersama.

Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meski belum mengeluarkan dokumen resmi yang menyebut waria adalah perempuan sosial, adalah bentuk kemajuan yang patut diapresiasi. Komnas Perempuan mulai melakukan pemantauan kekerasan yang dialami oleh perempuan lesbian, perempuan biseksual dan perempuan soSial (waria) per tahun 2014.

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2015 melaporkan bahwa pada tahun 2014 tercatat 37 kasus kekerasan yang dialami oleh Lesbian, Biseksual Peempuan & Transgender (Waria). Jumlah tersebut memang telihat sedikit disbanding jumlah yang tidak tercatat dan terlaporkan ke Komnas Perempuan.

Penelitian yang dilakukan oleh Arus Pelangi, Komunitas Sehati Makassar (KSM), PLUSH pada tahun 2013 yang dirangkum dalam buku Menguak stigma, kekerasan, dan diskriminasi pada LGBT di Indonesia menunjukkan bahwa 49% kelompok waria mengalami kekerasan seksual.

Sementara itu tahun 2014, Sanggar Swara melakukan survey terhadap 224 waria muda dampingan berusia dibawah 30 tahun di wilayah DKI Jakarta dimana 20% dampingan berada di Jakarta Utara, 21% berada di Jakarta Selatan, 12% di Jakarta Pusat, 21% berada di Jakarta Barat dan 26% berada di wilayah Jakarta Timur; dan berasal dari 17 Provinsi di Indonesia yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Bengkulu, Jawa Tengah, Banten, Yogyakarta, Jawa Timur, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan NTB (Sanggar SWARA, 2015).

Jakarta menjadi tempat pilihan bermigrasi kelompok waria karena mengalami pengusiran dan kekerasan domestik yang dilakukan oleh keluarga dan atau dilakukan oleh masyrakat di lingkungan sekitar tempat tinggal. Kekerasan yang dialami oleh individu dengan identitas & ekspresi gender yang terlihat nampak lebih rentan daripada kelompok dengan orientasi seksual berbeda, namun demikian bukan berarti tidak terjadi kekerasan di dalamnya.

Kekerasan tersebut semakin meningkat jumlahnya pasca serangan-serangan melalui pernyataan inkonstitusional yang dilakukan oleh pejabat Negara, lembaga Negara dan anggota legislatif di Negara ini. Pernyataan tersebut menjadi ligitimasi tindakan kekerasan yang terjadi terhadap kelompok minoritas seksual, ekspresi dan identitas gender.

Organisasi pembela Hak LGBT terus mendokumentasikan kasus kekerasan berupa pengusiran, ancaman, pemecatan dari tempat kerja, perilaku bunu diri, ujaran kebencian setelah pernyataan inkonstitusional terus menerus terlontar dari berbagai pihak.

Oleh karenanya, menjadi pekerjaan bersama kita untuk mengingatkan bahwa ketidak-adilan, ketimpangan terhadap manusia berdasarkan gender, ekspresi & identitas gender harus terus dilawan. Mendorong dan mendesak Negara untuk melakukan tugas nya dalam melindungi, memenuhi & mempromosikan Hak Asasi Manusia berdasarkan Konstitusi Negara tanpa pandang bulu.

Tulisan ini saya tutup dengan mengucapkan selamat Hari Perempuan se-Dunia bagi seluruh perempuan uga laki-laki yang tak sedikitpun berfikir bahwa perempuan adlah lebih rendah. Mari terus bersama melawan penindasan terhadap perempuan, baik perempuan secara biologis maupun sosial.

Sekaligus mengajak semua kawan-kawan untuk turun bersama dalam aksi damai Peringatan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2016 dimulai dari depan patung kuda rally sampai titik akhir depan Istana.