Manusia merupakan makhluk yang istimewa. Memiliki akal untuk berpikir, Hak Asasi Manusia ketika lahir, hingga  kemerdekaan yang sifatnya abadi. Dengan ini, dapat dikatakan bahwa manusia lebih istimewa dari makhluk lain.

Hak Asasi Manusia yang diperoleh setiap manusia ketika lahir bukanlah hak yang sifatnya sementara. Hak ini didapatkan setiap manusia, dan dicabut haknya ketika manusia tersebut wafat. Dalam artian, ini adalah hak setiap manusia ketika masih hidup.

HAM ini memiliki kaitan erat dengan yang namanya kemerdekaan manusia. Tidak ada yang dapat melangkahi itu, tidak ada yang dapat membatasi itu. Dari beberapa pandangan, ada anggapan bahwa merdeka adalah bebas sebebas-bebasnya, ada pun anggapan bahwa merdeka ialah bebas tapi dibatasi kebebasan orang lain.

Contoh sederhananya seperti, ada manusia yang melakukan sesuatu sesuai kehendaknya sendiri, ada manusia yang melakukan sesuatu tapi masih menghargai orang lain, dan juga ada manusia yang melakukan sesuatu sesuai kehendaknya sendiri dan bertanggung jawab atas risiko yang dia lakukan.

Banyaknya pendefinisian merdeka ini membuat manusia kurang tepat mendefinisikan tentang arti sebenarnya dari merdeka. Hingga hal-hal yang melewati konteks merdeka pun mulai terjadi. Contoh tindak kriminal yang merupakan pelanggaran atas hak orang lain.

Kriminal diartikan sebagai suatu tindak kejahatan atau pelanggaran hukum yang dapat dihukum menurut undang-undang yang ada misalnya, pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, pemukulan, korupsi, kekerasan seksual, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, dan banyak hal lainnya.

Kekerasan seksual menjadi salah satu contoh  tindakan kriminal. Kekerasan seksual dapat diartikan sebagai setiap tindakan, baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki.

Menurut badan kesehatan dunia, World Health Organization atau WHO, kekerasan seksual dapat diartikan sebagai segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa mendapatkan persetujuan, dan memiliki unsur paksaan atau ancaman.

Pelaku kekerasan seksual tidak terbatas oleh gender dan hubungan dengan korban. Dalam kekerasan seksual ada dua aspek penting yang pertama ialah aspek pemaksaan dan aspek tidak adanya persetujuan dari korban. Dapat disimpulkan bahwa kekerasan ini merupakan pemaksaan kehendak dari pelaku kepada korbannya

Menurut Komnas Perempuan, ada beberapa bentuk kekerasan seksual di antaranya yaitu perkosaan, intimidasi seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, dll.

Laporan yang dipaparkan Indra Iskandar selaku Sekjen DPR RI, tercatat 58% dari 3.602 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah publik. Kasus-kasus itu meliputi pencabulan sebanyak 531 kasus, perkosaan 715 kasus, pelecehan seksual 522 kasus, persetubuhan 176 kasus, dan sisanya percobaan perkosaan dan persetubuhan. 

Banyak yang menganggap bahwa pemerkosaan hanya dapat dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan. Itu merupakan pandangan yang salah, karena dalam pemerkosaan itu bisa terjadi kepada siapa saja tanpa kenal gender, usia, pakaian, dan tak pandang bulu.

Tindak perkosaan itu dapat dibagi menjadi beberapa jenis seperti perkosaan pada orang yang difabel, perkosaan oleh anggota keluarga, perkosaan anak di bawah umur, perkosaan dalam hubungan, dan perkosaan antar kerabat.

Perkosaan yang terjadi pada orang difabel ini karena orang difabel memiliki keterbatasan kemampuan atau tidak bisa mengungkapkan persetujuan mereka untuk terlibat dalam aktivitas seksual, sehingga pelaku dapat menggunakan keterbatasan orang difabel itu sebagai sebuah kesempatan.

Perkosaan oleh anggota keluarga ialah perkosaan yang terjadi ketika pelaku dan korban sama-sama memiliki hubungan sedarah atau biasa sering disebut inses. Perkosaan ini bisa terjadi antara ayah dan anaknya, kakak dan adiknya, atau antar keluarga lainnya.

Perkosaan anak di bawah umur/statutory rape merupakan tindak perkosaan seseorang kepada anak di bawah umur yang belum memasuki umur 18 tahun. Dimana pelaku perkosaan ini adalah orang dewasa tapi tidak menutup kemungkinan pelakunya merupakan anak di bawah 18 tahun juga.

Perkosaan dalam hubungan/partner rape, jenis ini dapat terjadi ketika ada dua individu yang sedang menjalin asmara antara pacaran maupun telah menikah. Yang di mana kategori ini bisa dijelaskan bahwa ketika ada pemaksaan penetrasi dengan cara apapun .

Perkosaan antar kerabat ini bisa terjadi ketika adanya dua orang teman tak peduli sedekat apapun hubungan pertemanannya di mana salah satunya melakukan pemaksaan hubungan seks dengan korbannya. 

Dari pembagian jenis pemerkosaan, dapat diperjelas bahwa pemerkosaan ini tidak menutup kemungkinan untuk siapapun dapat menjadi pelaku dan siapapun dapat menjadi korban. Dari perempuan yang auratnya terbuka hingga perempuan yang menutup seluruh auratnya. 

Dalam jurnal Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica (AOGS) tahun 2017, mencatat bahwa sejumlah 70 persen korban perkosaan mengalami sensasi seolah seluruh tubuhnya lumpuh. Akibatnya, mereka pun tak mampu bergerak, apalagi untuk melawan serangan pelaku.

Sensasi seolah tubuhnya lumpuh disebabkan oleh efek trauma yang dirasakan setiap korban pemerkosaan. Sensasi kelumpuhan ini dikenal dengan istilah tonic immobilitiy.

Korban yang merasakan sensasi kelumpuhan ini tidak bisa melakukan berbagai aktivitas seperti berteriak meminta pertolongan, melarikan diri, ataupun melawan pelaku karena efek tonic immobility ini. Pelaku yang mengetahui efek ini pasti akan menggunakan kesempatan untuk memerkosa korban.

Pelaku yang tidak paham dengan efek tonic immobility ini pasti mengira korban pasrah dan akan mengikuti alur permainan pelaku padahal sebenarnya korban telah hilang kendali atas dirinya sendiri.

Setelah terjadinya pemerkosaan pada korban, ada beberapa dampak yang pasti membekas pada diri korban. Ada yang namanya dampak fisik dan dampak psikologi.

Dampak fisik antara lain seperti memar, sulit untuk berjalan, sakit pada bagian vagina, pendarahan di vagina atau organ lainnya, bahkan bisa sampai berujung kematian.

Dampak psikologi yang dapat membekas sangat lama pada diri korban. Yang umumnya memiliki wujud seperti syok, mengisolasi diri karena ketakutan & malu, depresi, PTSD, dan beberapa dampak lainnya. 

Kasus perkosaan yang terus bertambah berasal juga dari tindak lanjut pemerintah yang lambat menangani kasus yang ada. Membuat korban perkosaan ini kian hari kian bertambah.

Dibutuhkan peran dari pihak-pihak seperti Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, dan organisasi-organisasi lain agar supaya antara masyarakat dan pemerintah dapat bersinergi membumi hanguskan yang namanya kasus perkosaan dalam negeri.

Sri Irawati Mukhtar, Ketua Bidang Kajian dan Advokasi Kohati PB HMI  dalam Kelas Advokasi Batch  1 yang dilaksanakan secara virtual pada 24 Juli 2021 mengatakan bahwa kasus -kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia kerap kali tidak adanya penyelesaian yang tuntas.

Hanya sebanyak 19,2% yang berhasil mengawal kekerasan seksual sampai pelaku dihukum. Ini merupakan salah satu contoh nyata di mana sebenarnya harus diadakan sosialisasi edukasi seperti ini agar supaya tingkatan kasus ini dapat mengurang.

Kaitan eratnya dengan kemerdekaan setiap individu. Yang di mana setiap orang memiliki kemerdekaannya sendiri, tapi dunia bukan hanya terdiri dari diri kita sendiri melainkan milyaran orang. Jadi secara tidak langsung, kemerdekaan yang hari ini kita punya terbatasi dengan kemerdekaan orang lain.

Ketika kita melangkah atas dasar kemerdekaan pribadi kita pun harus paham konsekuensi yang harus ditanggung. 

Semoga pemerintah dapat mengambil langkah hingga dapat membumihanguskan kasus-kasus kekerasan seksual ini agar salah satu keresahan masyarakat dapat dituntaskan.