Berbagai kasus pelecehan seksual terhadap perempuan yang terjadi belakangan ini membuat kaum feminis bersuara dan memperjuangkan feminisme. Di sisi lain, terdapat kelompok yang menyuarakan gerakan anti-feminisme. Hal ini menampilkan sisi patriarki bangsa ini serta penolakan terhadap feminisme.
Mayoritas penentang feminisme memandang feminisme sebagai faham batil dari Barat. Feminisme dianggap tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia serta ajaran Islam.
Benarkah demikian? Apakah segala yang berasal dari barat itu salah? Apakah mereka yang menolak tegas feminisme telah betul-betul memahami apa itu feminisme? Saya berani menjawab tidak.
Apa Itu Feminisme?
Gerakan feminisme secara umum merupakan suatu reaksi atas ketimpangan dan ketidakadilan yang dihasilkan oleh suatu tatanan sosial yang patriarki (Mustaqim, 2008:88). Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.
Pada masa itu, perempuan merupakan makhluk yang tertindas secara sosial. Mereka tidak memiliki hak atas pendidikan, pekerjaan, harta waris, dan berbagai hak lain yang hanya dimiliki kaum Adam.
Lebih lagi, terdapat kaum yang memandang perempuan hanya objek seks semata. Feminisme hadir untuk memperjuangkan keadilan dan kebebasan perempuan atas hak dan kehormatannya.
Inti dari feminisme ialah kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Dalam hal ini, kiranya kata ‘kesetaraan’ perlu digaris-bawahi agar tak disama-artikan dengan ‘kesamaan’. Kesetaraan memiliki arti bahwa perempuan memiliki hak sebagai manusia yang sama dengan laki-laki.
Contohnya, hak atas pendidikan, pekerjaan, hak milik, hak berpolitik, dan lain sebagainya. Walaupun setara, dalam kodratnya perempuan masih memiliki perbedaan dengan laki-laki. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, feminisme memperjuangkan keadilan bagi perempuan dan adil tidak berarti harus sama.
Kesalahpahaman lain mengenai feminisme ialah bahwa feminisme mengajarkan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Dengan kata lain, femminisme merendahkan kaum laki-laki.
Hal ini tidaklah benar. Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, yang diperjuangkan dari feminisme ialah kesetaraan. Feminisme lahir dari penindasan terhadap kaum perempuan yang menjadikan mereka haus keadilan.
Feminisme bukanlah upaya pemberontakan terhadap laki-laki, upaya melawan pranata sosial, ataupun upaya perempuan untuk mengingkari kodratnya, melainkan upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan.
Dalam hal ini, sasaran feminisme bukan sekadar masalah gender, melainkan memperjuangkan hak-hak kemanusiaan. Gerakan feminisme merupakan gerakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur sosial yang tidak adil menuju keadilan bagi kaum laki-laki dan perempuan (Fakih, 2007:78-79).
Feminisme memperjuangkan keadilan, yang mana keadilan merupakan impian segala umat. Semua agama termasuk Islam tentu mendorong terwujudnya keadila. Semua bangsa termasuk Indonesia tentu menginginkan keadilan. Oleh karena itu, feminisme tidaklah bertentangan dengan ajaran Timur maupun ajaran Islam.
Penyebab Miskonsepsi Feminisme di Indonesia
Kiranya beberapa konflik intoleransi dan fenomena ‘mabuk agama’ yang rutin terjadi akhir-akhir ini mampu memperlihatkan karakter buruk masyarakat kita.
Pertama, kebiasaan memandang segala hal secara hitam dan putihnya saja. Masyarakat Indonesia terbiasa menilai suatu hal antara baik seluruhnya atau buruk seluruhnya. Mengabaikan bahwa setiap hal memiliki sisi positif dan negatif sekaligus.
Feminisme mulai dikenal di Indonesia pada akhir abad 19. Feminisme memang sudah dicap buruk sejak era kolonial sebab berasal dari Barat. Pada masa itu, segala hal yang identik dengan penjajah atau Barat selalu dinilai buruk.
Pandangan buruk tersebut terus lestari hingga kini seiring dengan lestarinya ajaran hitam-putih suatu hal. Mereka memilih disebut womanist. Pada masa kini, sebagian dari mereka yang anti feminisme mungkin didorong oleh pandangan orang tua mereka mengenai feminisme yang sudah salah sejak awal.
Selain itu, terdapat beberapa oknum yang membuat feminisme terlihat begitu ‘bebas’. Mereka salah dalam mengartikan feminisme namun turut memperjuangkan feminisme berdasarkan definisi mereka sendiri.
Merekalah kaum yang membuat feminisme seolah-olah menjadikan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki, menjadikan perempuan keluar dari kehormatan naturalnya. Ditambah lagi dengan budaya malas membaca dan menggali kebenaran informasi pada masyarakat kita. Kesalahpahaman terhadap feminisme makin berkembang di negeri ini.
Memperjuangkan Feminisme
Mengapa feminisme perlu diperjuangkan? Jawabannya sama dengan penyebab munculnya feminisme: melawan patriarki dan menegakkan keadilan. Di Indonesia, patriarki masih berkembang dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan hasil survei Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP) Kemendikbud tahun 2013 yang menunjukkan, persentase perempuan pengajar perguruan tinggi sebesar 40,58%, sementara pengajar perguruan tinggi laki-laki sebesar 59,42%.
Kemendikbud memandang, adanya persepsi bahwa perempuan hanya bertanggung jawab dalam urusan domestik membuat mereka kurang termotivasi untuk mengambil gelar S2 atau S3 sebagai syarat pengajar perguruan tinggi. (Tirto.id, 2017)
Tengoklah ke pelosok-pelosok daerah negeri ini, berapa banyak masyarakat yang menganggap perempuan tidak berhak atas pendidikan, hak milik, dan berbagai hak lain yang seharusnya dimilikinya sebagai manusia. Berapa banyak perempuan korban pelecehan seksual yang tidak mendapat keadilan. Berapa banyak perempuan yang dituntut menuruti kemauan laki-laki bahkan atas tubuhnya dan karakternya sendiri.
Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan menunjukan terdapat 406.178 perempuan yang mengalami kekerasan seksual dan KDRT selama tahun 2018. Hal ini menunjukkan betapa perempuan masih berada di posisi yang lemah dan perlu diperjuangkan untuk dapat menjadi manusia sejatinya, tidak kurang dan tidak lebih.
Feminisme dapat diperjuangkan melalui berbagai cara. Tidak, bukan dengan membela LGBT. Anda tidak perlu membela LGBT untuk dapat dikatakan sebagai feminis karena tidak semua feminis setuju pada LGBT. Cara yang paling sederhana ialah dengan membiasakan menggunakan kata ‘perempuan’ dari pada ‘wanita’. ‘Perempuan’ berasal dari kata ‘empu’ yang bermakna dihormati.
Sementara ‘wanita’ berasal dari Bahasa Jawa ‘wani ditata’ yang berarti perempuan sebagai makhluk yang hanya bisa diatur dan disuruh. Aksi lebih nyata yang dapat dilakukan ialah dengan membantu memberikan pendidikan bagi perempuan, tidak melakukan victim blaming terhadap perempuan korban pelecehan seksual, serta bergabung dengan komunitas yang menyuarakan keadilan bagi perempuan.