Beberapa waktu yang lalu, kepala sekolah di tempat saya bekerja mengirimkan surat edaran perihal Pemberitahuan Bimtek Karya Tulis Ilmiah dari Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga di whatsaap group guru dan karyawan sekolah. Dan, salah satu syarat bisa mengikuti bimtek tersebut adalah mempunyai draft naskah artikel ilmiah.

Singkat cerita, saya iseng bertanya pada beberapa rekan guru. Baik guru yang mengajar di satu sekolah maupun guru yang mengajar sekolah lain. Baik pada guru yang mengampu satu mata pelajaran yang sama, maupun guru yang mengajar pada mata pelajaran yang berbeda.

Intinya, saya bertanya, apakah mereka telah membaca dan berminat mengikuti bimtek tersebut? Hampir semua menjawab sudah membaca, tetapi belum berminat untuk ikut.

Ketika saya bertanya lagi, kenapa? Sudah bisa ditebak, ya benar. Jawabannya beraneka ragam, tapi satu yang membuat saya tertegun, yaitu tentang kepolosan mereka menjawab dengan jujur bahwa mereka belum pernah menulis artikel ilmiah. 

Boro-boro artikel ilmiah, karangan bebas saja belum pernah. Satu-satunya karya tulis ilmiah yang pernah mereka buat adalah skripsi, sebagai salah satu syarat kelulusan dan untuk mendapatkan gelar sarjana.

Sejenak saya merenung, memikirkan sebuah kabar tentang minat menulis pada siswa di Indonesia yang tergolong rendah.

Tiba-tiba saya teringat kelompok ekstrakurikuler klinik sains yang baru pertama kali saya ampu. Sebagai pemanasan, saya minta siswa membuat sebuah tulisan pendek dengan tema bebas. Saya tunggu sepuluh menit, tidak ada respons. Lalu saya tambahkan, dengan membuat batasan menulis tentang suka duka mengikuti pembelajaran daring selama pandemi. Akhirnya ada yang mengirim, sekitar tujuh dari 33 siswa.

Apakah kasus yang terjadi pada beberapa guru dan kelompok ekstrakurikuler yang saya ampu ini cukup bisa dijadikan representasi? Atau, hanya sebuah kebetulan?

Jujur saja, ya. Bagi saya, tidak ada sebuah kebetulan. Siswa malas menulis atau kesulitan menulis bukan sebuah kebetulan. Guru belum pernah atau belum bisa membuat artikel ilmiah atau sebuah naskah, itu juga bukan sebuah kebetulan.

Bagi saya, kedua hal tersebut sama seperti ketika kita ditanya, mana yang duluan, ayam ataukah telur? Sulit, kan, menjawabnya? Yang pasti, semua ayam berasal dari telur, tetapi telur belum tentu menjadi ayam. Sama halnya dengan guru, ia pasti pernah menjadi seorang siswa, tetapi seorang siswa belum tentu menjadi guru.

Jadi, mungkin saja ketika seorang guru memiliki minat menulis yang rendah, maka dapat menyebabkan minat menulis siswanya pun menjadi rendah. Kemudian, pengalaman menulis yang kurang di saat sekolah bisa menyebabkan rendahnya minat menulis ketika siswa telah menjadi seorang guru di kemudian hari.

Satu benang merah yang bisa saya tarik dari kedua fakta di atas adalah, perlunya seorang figur yang secara konsisten memberikan teladan pada siswa berkaitan dengan kebiasaan menulis. Tapi bagi saya, figur itu tidak hanya guru saja. Termasuk di sana ada orang tua dan orang-orang yang berada dalam komunitas atau lingkungan siswa.

Jangan sampai sebagai guru dan orang tua hanya mampu menyuruh. Siswa butuh teladan, mereka butuh diberi contoh. Jika guru dan orang tua gemar menulis, niscaya siswa akan bisa meniru dan menikmatinya. Siswa akan melihat apa yang dikerjakan gurunya termasuk orangtuanya, bukan hanya mendengar apa yang disampaikan. Dan biasanya, apa yang dilihat akan lebih menguatkan, ketimbang apa yang hanya didengar.

Seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungannya, begitu pula siswa. Agar jadi orang baik, guru dan keluarga harus menyediakan lingkungan yang baik pula untuk siswa. Demikian pula dengan menulis, seorang penulis harus berada di dalam lingkungan yang banyak memberikan suplemen motivasi menulis. 

Komunitas menulis bisa menjadi labuhan bagi para penulis yang tepat, khususnya bagi penulis pemula yang berada pada tahap belajar. Setidaknya sebagai penulis pemula, berada di dalam satu komunitas menulis bisa membuat siswa lebih mudah diarahkan.

Namun faktanya, memberikan teladan bukanlah suatu hal yang mudah. Pasalnya, dalam proses menanamkan kecintaan siswa terhadap dunia menulis, bukanlah semata-mata tentang memberi mereka bukti sebuah hasil karya atau membuat mereka mengetahui bahwa gurunya pandai membuat berbagai tulisan. Tetapi juga tentang berbagai keteladanan yang memungkinkan dapat berpengaruh terhadap minat belajar menulis siswa, selama berada pada fase mengenal dan mencintai dunia menulis.

Ketika guru dan orang tua menuntut anak membuat tulisan yang sempurna, pada siswa yang sedang berproses mencintai dunia kepenulisan, sebenarnya mereka tengah menunjukkan sebuah kerangka berfikir yang buruk. Alih-alih mengasah kreativitas dan sikap kritis siswa, hal itu justru memasung ide dan gagasan yang ingin mereka kembangkan.

Terburu-buru memberikan saran dan kritikan pada pemula, adalah hal yang sia-sia. Untuk siswa yang sedang berproses mencintai dunia menulis, hal paling tepat yang seharusnya mereka dapatkan atas hasil karyanya adalah pujian. Pujian yang diberikan sepantasnya dan tidak berlebihan akan meningkatkan rasa percaya diri untuk lebih maju dan melakukan perbaikan-perbaikan yang cukup berarti.

Keteladanan selanjutnya yang dapat diberikan adalah dengan menunjukkan rasa ketertarikan pada hasil karya siswa, dan tidak memaksa siswa menulis sesuatu di luar ketertarikan mereka. Kalaupun seandainya mereka bisa, kemungkinan besar hasilnya akan jauh dari yang diinginkan. Berilah siswa kepercayaan untuk menulis apa yang mereka sukai dan hargailah.

Selanjutnya, memberi contoh siswa berproses menulis dengan banyak membaca. Dengan banyak membaca, siswa juga dapat menemukan ide dan gagasan yang dapat digunakan untuk mengatasi kesulitannya dalam menentukan tema atau topik sebuah tulisan. 

Banyak membaca juga sangat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuannya dalam hal ketatabahasaan. Namun, hanya dengan menyuruh siswa gemar membaca, jika tidak disertai keteladanan guru dan orang tua adalah suatu hal yang tidak bisa diharapkan terlalu banyak hasilnya.

Teladan selanjutnya adalah membiarkan siswa mengetahui bahwa guru mereka tetap melakukan pengembangan diri dan update ilmu dengan cara mengikuti banyak pelatihan, workshop, bimtek, bahkan mengikuti lomba-lomba di berbagai event perlombaan. 

Setidaknya, saat guru menyuruh siswa mengikuti sebuah lomba, maka mereka akan mikir dua kali untuk menolak. Pengembangan diri dan perlombaan yang diikuti siswa, akan meningkatkan kualitas kepenulisan sesuai jam terbangnya.

Terakhir memberi siswa keteladanan masalah kebesaran hati. Siswa harus melihat gurunya sebagai seorang penulis yang senantiasa berbesar hati untuk setiap saran dan kritikan. Termasuk apabila dalam setiap event perlombaan, belum beruntung menjadi pemenang. 

Guru harus memberi siswa contoh bagaimana sikap seorang penulis bersabar atas kritikan, dan bersyukur atas pujian. Jadi semuanya tidak akan berpengaruh terhadap semangatnya dalam berproses mencintai dunia menulis dan berkarya.

Dengan adanya kerjasama guru, orang tua, dan komunitas atau lingkungan dalam berpadu memberikan keteladanan, diharapkan dapat meningkatkan minat siswa dalam hal menulis yang berakibat pada peningkatan prestasi siswa sehingga dapat menciptakan gerenasi penerus bangsa yang unggul dan berkualitas.

Tidak ada yang mustahil, jika kita mau mencoba.