Malam ini, ditemani oleh musik favorit saya Queen, setelah pekerjaan selesai, juga dalam suasana hujan --yang tidak berkesudahan, saya kembali menulis setelah kurang lebih 3 tahun vakum (Red: terakhir menulis di blog pribadi). Dan saya cukup menikmati setiap suara "ketikan" pada keyboard kantor. Seperti bernostalgia pada masa 3 tahun silam.

Terlalu banyak ide dalam otak ini yang belum terkeluarkan --ataupun bisa disebut tersalurkan. Ya... Tersalurkan. karena dari kesibukan dengan intensitas yang luar biasa, berubah dan menuanya pola pikir, atau mainstream anak muda sekarang disebut menjadi "Budak Korporat", maka itu dijadikan alasan, juga pembenaran untuk tidak aktif menulis. Padahal, saya pribadi mengakui tumbuh dan berkembang dalam tradisi literasi yang cukup kental. Itulah mengapa sebelum seperempat abad saya hidup, telah menggunakan kacamata sebagai alat pembantu dalam beraktivitas sehari-hari.

Karena diparagraf atas saya menyebutkan "Terlalu banyak ide" untuk disalurkan sedangkan waktu saya luang tidak sebanyak dulu, maka saya coba uji dalam konteks tulisan ini. itulah alasan judul dari esai yang saya tulis, dan mengapa itu terasa penting?

Ketika kita berbicara tentang milenial, apa yang terlintas dari pikiran kalian? Muda? Enerjik? Produktif? Rambut bergelombang? Sepatu Vans? haha, tentu saja dua kata terakhir adalah sebuah candaan. Tapi, untuk kita yang mengerti bahwa milenial adalah sebuah usia dan semangat muda, bagaimanakah milenial Indonesia sekarang?

Generasi Milenial (Orang dalam rentang usia 22-37 tahun; Pew Research Center) di Indonesia jumlahnya sangat berlimpah, itulah mengapa ada sebuah gerakan "Indonesia Emas 2045" dengan asumsi pemuda Indonesia memiliki potensi luar biasa --dimasa depan. Tapi, realitas kah jika pemuda Indonesia sekarang memilik potensi sebagus itu. Tentu, kita harus optimis beserta bangun dalam realitas.

Seorang kawan pernah berbicara terhadap saya: ''Him, pemuda kita ni banyak nang bisa setengah-setengah, lamun ditakuni; begitar bisa lah?! bisa ai sadikit, main ball bisa lah, bisa ai sedikit?! merasa bisa berataan tapi sedikit-dikit ja!'' ucap dia. lalu aku menyahut sembari berkata "heeh ley, bubur bejanar bujur banar (jokes khas warga kalsel) kenapa kada nang kebiasaan nang ahli ja diasah, kada usah pina kamaruk'', timpal saya.

Lalu setelah kami berpisah menuju rumah masing-masing, saya masih terngiang apa yang teman saya ucapkan tadi "Bujur banar apa jer inya tadi, ih" ucap saya dalam hati. Dan saya mengerti Integritas kawan saya, dan yang keluar adalah sebuah kebenaran yang susah dibantah.

Jika kita komparasi saat ini, maka sudah cukup banyak pemuda yang sukses dalam semua level. Rich Brian dalam musik, Kevin Sanjaya dalam Badminton, atau Mardani Haji Maming dalam Politik (Red: Pernah menjadi Bupati Termuda) tentu sebuah contoh yang baik dalam kita menggapai di keahlian masing-masing.

Masalahnya apa? Masalahnya adalah pada realita Mainstream pemuda kita itu sendiri. Seperti ''Masih bingung jika lulus kuliah mau ngapain''. Lalu ada yang "Punya jiwa entrepreneur tapi takut mencoba karena paranoid akan kegagalan lebih tinggi'' ditambah dengan ''nongki sambil main game bisa setiap hari tapi abai akan hal produktif''. Bagaimana akar masalah yang sebenarnya itu-itu saja ini bisa diatasi?

Saya sering meliat youtube Joe Rogan, Podcasting dari U.S, dan meliat segala bintang tamu dari semua level di sana, hingga sampai pada kesimpulan: kualitas manusia kita --pemuda tentunya, kalau soal pintar, sepertinya tidak kalah. Tapi kalau soal Hobbit, nah, kita sepertinya, masih tertinggal.

Tentu saya terlalu naif membandingkan dengan U.S. Tapi dalam konteks ini saya menggaris bawahi soal kebiasaan milenial kita. yang sebenarnya patut menjadi renungan kita untuk bisa saling maju guna mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Bila Passion kita terhadap sesuatu besar, lakukanlah. jangan takut gagal! dan berani memilih circle yang nyaman untukmu, karena jika kamu salah circle, apa yang kamu lakukan --hanya akan jadi bahan tertawaan oleh mereka.

Dan kurangi ragumu, atau ambil hal positif dari kebiasaan kamu sebelumnya. Semisal kamu adalah orang yang nongkrong setiap hari memakai sepatu converse dengan jaket kulitnya, maka setiap cafe yang kamu kunjungi, adalah sebuah peluang sekurang-kurangnya untuk kamu belajar. Belajar bagaimana tentang Customer Service, kelola Manajemen keuangan, Dan menjadi Barista --ataupun hal yang berhubungan dengan kafe tersebut.

Tentu saja saya subjektif, tapi jika saja pemuda kita 70% melakukan hal demikian, maka obrolan dan kebiasaan para milenial kita akan lebih meningkat. Sebagai orang yang agak ''old school'' dalam setiap nongkrong dengan kerabat atau teman (karena lebih menyukai ngomong dibanding main gadget) saya sangat-teramat meyakini itu.

Optimis saya mungkin berlebihan. Karena pesimis hanya akan mempertinggi tempat jatuh. Tapi, bolehkan kita bermimpi: ''kita yang membaca tulisan inilah bagian Indonesia Emas 2045?''.