Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, atau menyerang tubuh dan fungsi reproduksi seseorang hingga menghilangkan kesempatan untuk melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal (Permendikbud no. 30, 2021). 

Kekerasan seksual mencakup tindakan verbal, nonfisik, fisik, atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Kasus kekerasan seksual yang terjadi menimbulkan keresahan bagi masyarakat hingga menjadi trending topic di berbagai media sosial. 

Pelaku yang terlibat tidak jarang berasal dari lingkungan akademik. Keberadaan masalah ini mulai mendominasi di kalangan pelajar, mahasiswa, bahkan tenaga kependidikan.

Permasalahan yang mengarah pada kejahatan seksual menyebabkan korban merasa terganggu baik secara fisik ataupun mental. Gangguan yang dialami korban bermacam-macam, mulai dari gangguan ringan sampai gangguan berat. Setiap korban dapat mengalami kasus yang berbeda-beda karena bentuk kekerasan seksual bervariasi.

Berdasarkan laporan hasil survei isu pelecehan seksual di ITB oleh Ganeca Pos pada tanggal 28 Juni 2020, bentuk pelecehan seksual yang sering dilihat oleh mahasiswa di lingkungan kampus yaitu candaan yang menyinggung seksualitas (84 orang), perilaku menggoda (76 orang), pelecehan gender (56 orang), pelanggaran seksual (26 orang), ancaman pemaksaan seksual (11 orang), penyuapan seksual berupa imbalan (9 orang), dan lain-lain (5 orang). 70 orang diantaranya merasa pernah mengalami pelecehan seksual di lingkungan kampus. Pelaku yang terlihat yaitu satu angkatan (87 kali), kakak tingkat (55 kali), adik tingkat (20 kali), dosen (15 kali) dan staff (6 kali).

Kasus kekerasan seksual dalam lingkungan akademik dapat terjadi karena beberapa faktor. Pertama, pelaku merasa superior atau memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada korban. 

Hal ini menyebabkan korban merasa takut untuk melapor. Isu kekerasan seksual yang seperti ini menjadi hal yang cukup tabu untuk dibicarakan. Korban yang berani angkat bicara justru disalahkan oleh masyarakat sekitarnya.

Anggapan masyarakat juga didukung oleh faktor yang kedua yakni perilaku genit yang dilakukan oleh korban seperti memancing para pelaku. Persepsi penggunaan baju yang cukup terbuka dianggap mendorong terjadinya kekerasan seksual pada korban walaupun sebenarnya kasus yang beredar banyak pula memakan korban yang mengenakan pakaian tertutup.

Dunia kampus kini sering tercoreng melalui aksi kekerasan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa bahkan yang termasuk aktivis kampus sekalipun. Mahasiswa yang ingin menempuh pendidikan sering kali masih menjadi aktor utama dalam aksi tersebut. 

Salah satu kasus yang cukup menggemparkan media terjadi pada salah satu kampus ternama di Indonesia, Universitas Diponegoro Semarang. Pengurus BEM FPIK (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan) diduga melakukan aksi kekerasan seksual kepada lebih dari 2 korban. 

Terduga pelaku, MZ telah terbukti melakukan pelecehan seksual secara fisik kepada dua korban. Tiga orang lainnya juga melapor kepada pihak BEM FPIK Undip setelah dua minggu kemudian. MZ akhirnya dipecat dengan tidak hormat dari jabatannya di BEM FPIK Undip dan dilarang mengikuti kegiatan yang bersangkutan.

Kekerasan seksual harus dipahami penyebab dan cara penanganannya. Pihak perguruan tinggi harus turut andil dalam menyuarakan pencegahan kasus tersebut. Pasal 6 ayat (1) Permendikbud nomor 30 tahun 2021 berbunyi “Perguruan Tinggi wajib melakukan pencegahan kekerasan seksual melalui pembelajaran, penguatan tata kelola, dan penguatan budaya komunitas, mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan”. Kebijakan yang dibuat oleh perguruan tinggi harus menyinggung tentang dukungan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. 

Pendidik dan tenaga kependidikan juga berperan penting, salah satunya dengan membatasi pertemuan dengan mahasiswa di luar jam operasional kampus selain kepentingan pembelajaran juga aktif dalam pencegahan kasus kekerasan seksual. 

Mahasiswa sebagai pemegang peran penting juga harus berperan aktif dalam mencegah kasus seperti ini. Semua pihak kampus yang saling bekerja sama akan membuat kasus kekerasan seksual di lingkungan akademik akan berkurang.

Penanganan yang dilakukan apabila telah terjadi isu kekerasan seksual sudah diatur dalam Pasal 10 Permendikbud nomor 30 tahun 2021. Perguruan tinggi wajib melakukan penanganan kekerasan seksual melalui pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administratif pada pelaku, dan pemulihan korban. 

Pendampingan dapat berupa konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi, dan bimbingan sosial serta rohani. Perlindungan yang diberikan pada korban atau saksi yakni jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan dengan aman dan nyaman bagi mahasiswa, lanjutan pekerjaan, perlindungan dari ancaman fisik dan nonfisik, kerahasiaan identitas, perlindungan korban dari tuntutan pidana, perlindungan atas keamanan dan bebas dari ancaman sebagaimana diatur dalam pasal 12.

Pemimpin perguruan tinggi juga wajib memantau dan mengevaluasi pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh satuan tugas. Laporan hasil pemantauan dan evaluasi diserahkan kepada kementerian paling sedikit satu kali dalam enam bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan sesuai dengan pasal 54 Permendikbud nomor 30 tahun 2021. 

Isi laporan memuat kegiatan pencegahan kekerasan seksual, hasil survei yang dilaksanakan oleh satuan tugas, data laporan kekerasan seksual, kegiatan penanganan kasus, dan kegiatan pencegahan berulangnya kekerasan seksual yang terjadi.

Mahasiswa sebagai agen perubahan harus menggalakkan kampanye stop kekerasan seksual. Kampanye yang dilakukan bisa melalui media sosial atau sosialisasi langsung kepada mahasiswa. 

Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi terulangnya kasus kekerasan seksual. Mahasiswa yang merupakan penggerak perubahan ke arah yang lebih baik harus memiliki prinsip dari mahasiswa yang membela, oleh mahasiswa yang menjadi korban, dan untuk keadilan seluruh mahasiswa.

Peran mahasiswa sebagai agen perubahan membuat mahasiswa memiliki tanggung jawab untuk menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas. Masa depan bangsa Indonesia berada di tangan mahasiswa. 

Tanggung jawab yang dimiliki seharusnya menyadarkan mahasiswa untuk mempersiapkan diri dengan menjaga nilai-nilai baik seperti kejujuran, gotong royong, empati, dan keadilan. Penjaga nilai di garda terdepan harus menjadi contoh bagi lingkungan sekitar dengan menjaga nama baik almamater.

Mahasiswa juga dikenal sebagai kekuatan moral dalam menjaga nilai-nilai baik dalam masyarakat. Moral yang mulai menyimpang dari jati diri bangsa harus diperbaiki dengan memanfaatkan teknologi semaksimal mungkin agar kepribadian bangsa tetap melekat. 

Mahasiswa memiliki peran penting sebagai pengontrol sosial terhadap kehidupan masyarakat dengan memberikan saran, kritik, dan solusi bagi isu kekerasan seksual. Harapan bagi mahasiswa untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar, terutama dalam lingkup kampus. 

Kampus tidak selalu menjamin keamanan dalam kegiatan pembelajaran sehingga mahasiswa harus selalu waspada dan dapat memilah pergaulan yang tepat.