Semua sudah paham bahwa hukum harus mengandung prinsip “berkeadilan” yaitu kesamaan hak dan kewajiban bagi rakyat. Hukum sekali lagi tidak pernah memihak kepada pemilik modal dan penguasa. Bahkan rakyat jelata pun memiliki hak untuk memperoleh keadilan hukum. 

Namun ironis memang, prinsip itu terkungkung dalam definisi atau fungsi prinsipil yang jauh dari dimensi implementasi atau realitas. Ketika hukum telah kehilangan “keadilan” karena diakal-akali, maka ujungnya negara dan rakyat dirugikan; tumbal atas kekejaman lingkaran pihak atau elite itu sendiri. 

Contoh sederhana atas ketidakadilan hukum yang perlu diulas adalah seputar tanah yang seharusnya dimiliki dan dikelola sepenuhnya oleh warga Indonesia. Yang terjadi sebaliknya, tanah telah didominasi dan dikuasai pihak asing. Oleh sebab itu, hak memeperoleh  keadilan yang seharusnya dimiliki segenap bangsa ditindas atau bahkan dirampas pihak atau oknum pengendali. 

Keadilan yang dimaksud di sini adalah hilangnya kesempatan putra terbaik untuk membangun dan menguasai lahan strategis di tanah sendiri. Tapi akibat penguasaan asing, kesempatan itu hilang akibat dari penegakan hukum yang telah kehilangan prinsipnya.  

Akhirnya, hukum kadang-kadang seperti bilah pedang, ia tak lagi dapat digunakan untuk menumpas ketidakadilan, justru “dimanfaatkan” untuk ambisi menumpas golongan lemah; Rakyat jadi budak di tanah sendiri, sementara elit bernostalgia menikmati bidak catur itu.

Bila merujuk pada asas nasionalitas yang tercantum dalam Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang menegaskan bahwa hanya warga negara Indonesia yang memiliki hak milik, itu artinya kepemilikan tanah di Indonesia seharusnya dikendalikan oleh rakyat. 

Namun, di lapangan, saya menemukan banyak wisatawan asing yang datang punya maksud  untuk menguasai aset strategis suatu wilayah. Dalam konteks ini, negara dan rakyat jelas telah dirugikan.

Seputar Nominee di Indonesia

Dalam kamus hukum, Nominee didefinisikan sebagai one designated to act for another as his representative in a rather than limited sense; it is used sometimes to signify an agent or trustee. Seorang ditunjuk bertindak atas pihak lain sebagai perwakilan dalam pengertian terbatas dan ditandatangani oleh agen atau orang kepercayaan.

Jadi, secara umum, Nominee merujuk pada suatu ikatan untuk mewakili seseorang untuk bertindak dan berbuat atas sesuatu hal. Misalnya, keinginan orang asing untuk membeli tanah di Indonesia dengan cara meminjam nama orang Indonesia. Saya  belum menemukan instrumen hukum yang dapat mencegah persoalan pinjam nama (nominee) ini.

Saya kembali pada poin utama, tentang prinsip hukum “berkeadilan”, bagaimana prinsip keadilan itu hilang pada persoalan pinjam nama (nominee) ini, sebab kedua-duanya terlibat, di mana asing dan pihak (oknum) sama-sama diuntungkan. Lalu konteks ketidakadilan seperti apa yang dimaksud?

Menurut hemat saya, ada beberapa pihak yang dirugikan dalam kasus ini. Pertama, dari sisi negara. kenapa negara dirugikan? Dalam transaksi jual beli yang dilakukan, seharusnya ada pajak yang harus dibayar pada negara. 

Tapi yang terjadi adalah penyelundupan hukum sebab terdapat peluang hukum yang timbul karena tidak ada aturan perundang-undangan yang mampu mengatasi perjanjian nominee. Semua itu akan terungkap apabila dari pihak (Indonesia) mengklaim tanah miliknya. Baru akan terjadi gugatan asing ke pengadilan. 

Namun, faktanya banyak putusan pengadilan justru memenangkan salah satu pihak terutama pihak (asing) yang sejatinya tidak memiliki hak atas tanah.

Selain itu, putusan-putusan serupa telah melanggar Pasal 26 Ayat (2) UUPA yang intinya bahwa “Setiap penyelundupan hukum maka tanah harus dinyatakan jatuh kepada negara”. ketidakadilan itu justru tercermin pada putusan pengadilan yang memenangkan pihak asing. Aneh!!

Kedua, implikasinya tentu berimbas pada investor dalam negeri. Peluang atas kepemilikan tanah diambil alih  asing.

Sulit memang untuk mengungkap kasus seperti ini karena melibatkan banyak kalangan. Ibarat seperti dinding kokoh, dinding itu tersusun rapi namun dibaliknya adalah permainan, intrik dari berbagai pihak (oknum) yang berakibat besar pada kerugian negara.

Menurut saya solusi mendasar atas kasus Nominee ini adalah perubahan instrumen hukum dalam artian harus dijelaskan bentuk-bentuk penindakan yang diperutukan bagi BPN (Badan Pertanahan Nasional) mencegah penyelundupan hukum atas hak milik tanah. 

BPN harus diberikan hak penuh sebab menurut hemat saya terdapat akta autentik notaris yang tidak bisa diakses oleh siapapun tanpa seizin dari Majelis Kehormatan Notaris. Jadi BPN saja makin sulit mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan. 

Lalu bagaimana kita mewujudkan keadilan hukum agar negara dan rakyat tidak lagi dirugikan dalam konteks ini? Maka kita harus berbenah dengan memperbaiki sistem. Saya memandang, ada empat hal yang perlu diwujudkan untuk menciptakan keadilan hukum. 

Pertama, dari sisi Yudikatif, adanya putusan yang sesuai dengan keadilan sehingga bisa menjadi pedoman hukum. Kedua, dari sisi legislatif mampu membuat peraturan perundang-undangan yang memberikan kekuasaan penuh kepada penegak hukum untuk menindak suatu penyelundupan hukum. 

Ketiga, dari sisi eksekutif (pemerintah). Pemerintah harus mampu mensosialisakan hukum kepada masyarakat. Keempat, masyarakat itu sendiri, seharusnya memiliki kesadaran dan pemahaman hukum, menolak dan mencegah setiap perbuatan yang bertujuan melanggar hukum.