Di musim kampanye politik seperti sekarang ini, selain dikepung dengan berbagai baliho, spanduk, dan pamflet dari berbagai sudut, rakyat pun dikepung dengan tawaran janji-janji manis dari para politisi yang berkompetisi memperebutkan kursi calon legislatif (tingkat pusat dan daerah) dan kursi calon presiden-calon wakil presiden. 

Apalagi masa kampanye pileg dan pilpres 2019 ini memakan waktu yang panjang, yakni sekitar 7 bulan. Hampir pasti janji-janji politik banyak bertebaran ke berbagai penjuru wilayah tanah air. 

Janji politik lumrah disampaikan oleh para politisi dalam aktivitas kampanye. Tujuannya tidak lain untuk memikat hati rakyat agar dirinya dipilih. 

Setidaknya ada empat tipe janji politik yang biasa diungkapkan oleh politisi. Pertama, janji politik yang diucapkan tapi politisi yang bersangkutan tak tahu bagaimana cara merealisasikannya.

Ia sekadar mengobral janji manis, seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis, atau harga-harga bahan pokok murah,tapi tak paham secara mendalam bagaimana melakukan penetrasi politik kebijakan untuk merealisasikan janjinya tersebut jika kelak terpilih.

Kedua, janji politik yang mungkin dilakukan tapi tak relevan dengan prioritas kebutuhan masyarakat yang menjadi konstituennya. Untuk hal ini, Nikita Krushchev, mantan pemmpin Uni Soviet, punya ungkapan terkenal: 

Politisi, di mana-mana, sama saja. Mereka berjanji membangun jembatan, bahkan ketika tidak ada sungai sekalipun.”

Ungkapan tersebut menggambarkan laku para politisi yang menjanjikan sebuah kebijakan atau program yang tampak hebat, tapi sesungguhnya tak dibutuhkan masyarakat.

Contohnya pernah penulis alami saat mengajar salah satu sekolah di pulau terpencil di Kabupaten Kepulauan Anambas. 

Di sana pemerintah mengadakan program bantuan pengadaan 20 unit komputer untuk digunakan di sekolah, padahal di sekolah tersebut tak ada pasokan listrik yang memadai. Alhasil, bertahun-tahun bantuan komputer tersebut hanya menjadi rongsokan mewah karena tak dapat digunakan.

Ketiga, janji politik yang memang pada dasarnya hampir mustahil diwujudkan. Salah satu contohnya ialah pernyataan politisi PKS sekaligus Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Mardani Ali Sera, yang mengusulkan pemberian gaji sebesar 20 juta rupiah bagi guru. 

Menurutnya, kebijakan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan sekaligus kualitas guru (Kumparan). Walaupun niat usulan kebijakan tersebut mulia, tetapi hal itu terlalu sulit diwujudkan mengingat kapasitas anggaran negara yang belum memadai. 

Tak perlu muluk-muluk memberi gaji guru 20 juta rupiah, sekadar memberi gaji guru honorer minimal sesuai Upah Minimum Regional (UMR) saja pemerintah saat ini masih ketar-ketir.

Keempat, janji politik yang rasional dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Jenis janji politik inilah yang paling ideal harus disampaikan oleh para politisi.

Sebelum mengobral janji, ia tentu harus mempelajari terlebih dahulu masalah-masalah kebutuhan yang dihadapi masyarakat yang hendak dilayani/dipimpinnya kelak.

Berangkat dari masalah tersebut, ia kemudian membuat rancangan program atau kebijakan yang relevan dan potensial untuk diwujudkan melalui kewenangan yang akan diembannya nanti. Dengan begitu, janji yang diucapkan tak sekadar asal obral, tetapi dilakukan melalui kalkulasi yang matang dan terencana.

Rakyat Harus Cerdas

Sejak era reformasi, bangsa Indonesia sudah melaksanakan Pemilihan Legislatif sebanyak 4 kali, yaitu tahun 1999, 2004, 2009, dan 2014. Sementara Pemilihan Presiden sudah dilaksanakan sebanyak 3 kali, yaitu tahun 2004, 2009, dan 2014.

Dari beberapa pengalaman pileg dan pilpres tersebut, rakyat Indonesia mestinya sudah belajar banyak untuk tidak mudah termakan janji-janji manis para politisi. Tak sedikit rakyat yang apatis terhadap berbagai aktivitas pemilu karena pernah dikecewakan oleh janji-janji politisi yang tak ditepati. 

M. Lutfi Khafadho dalam penelitiannya (2017) mengungkapkan bahwa terjadinya apatisme politik di kalangan sebagian masyarakat tidak bisa dilepaskan dengan pengalaman masa lalu. 

Pejabat negara hasil pemilu sebelumnya dianggap tak mampu menjaga kepercayaan publik serta tak menetapi janji-janji politik yang disampaikan di masa kampanye.

Maka dari itulah, sebagai pemegang hak suara dalam pemilu, rakyat harus memilah dan menilai setiap janji politik yang ditawarkan para politisi. Berdasar tipe-tipe janji politik yang penulis uraikan di atas, rakyat dapat melakukan tiga hal dalam memilah dan menilai janji politisi.

Pertama, teliti kompetensi dan kapabilitas politisi yang bersangkutan. Pastikan bahwa politisi tersebut memiliki kemampuan dan kecakapan untuk bekerja keras mewujudkan janji yang ia sodorkan.

Kedua, pastikan janji politik yang ditawarkan rasional untuk diwujudkan. Dan ketiga, pastikan janji politik yang ditawarkan relevan dengan prioritas kebutuhan masyarakat. 

Jika sosio-geografis masyarakat adalah masyarakat pertanian, maka contoh janji politik yang relevan adalah penyediaan pupuk bersubdisi, perbaikan irigasi, dan digitalisasi proses produksi dan distribusi.

Pertaruhan Moral Politisi

Persoalan bertebarannya janji politik di masa kampanye pileg dan pilpres seperti saat ini semestinya tidak hanya menjadi kewaspadaan rakyat sebagai pemilih, para politisi sebagai aktor pun harusnya memiliki kewaspadaan yang sama agar tak sembarangan mengobral janji politik.

Para politisi seyogianya menyadari bahwa kemampuannya menepati berbagai janji politik yang diucapkan kepada rakyat saat nanti terpilih merupakan pertaruhan moral politiknya. Bagaimanapun rakyat akan mengawasi dan menilai kinerja politisi yang telah diberikan amanah.

Jika politisi tersebut mengingkari janjinya, rakyat secara otomatis melihat ia sebagai politisi tak bermoral. Seperti diungkapkan Sri Widowati Herieningsih dalam makalahnya yang berjudul “Komunikasi Politik dan Etika Komunikasi dalam Kampanye Pilkada”. 

Ia menyatakan bahwa kebiasaan politisi membuat janji-janji pada saat kampanye untuk mencari dukungan sebanyak-banyaknya tanpa pernah dipertanggungjawabkan setelah yang bersangkutan terpilih adalah perilaku tak bermoral.

Siapa pun politisi yang mengingkari janji politiknya pasti akan mengecewakan rakyat yang dipimpinnya. Dampaknya, rakyat tersebut meluapkan kekecewaannya dengan tidak memilihnya kembali di kesempatan berikutnya. 

Dampak lain yang mungkin bisa terjadi—dan ini yang berbahaya bagi demokrasi—ialah rakyat menjadi apatis terhadap aktivitas politik. 

Karena merasa pernah kecewa dan tak mau dikecewakan lagi, rakyat lantas memilih absen dari berbagai macam aktivitas politik, termasuk pemilu. Tentu kita tidak berharap hal itu terjadi.